
Bagaimana perasaanmu ketika harus mendengar suara tangis yang merintih setiap hari? Kekhawatiran tentu akan tumbuh, atau sebagian besar dari kita akan ikut iba. Seperti itu juga yang dikisahkan dalam cerita pendek (cerpen) berjudul Ada yang Menangis Sepanjang Hari (2007) karya Agus Noor, menceritakan tentang munculnya tangisan seorang wanita yang terdengar sampai ke seluruh penjuru negeri.
Tangisan yang terdengar oleh warga hingga Presiden itu tak hanya mengundang rasa iba. Orang yang mendengarnya bahkan merasa seperti sedang dicabik-cabik secara nurani. Tangisan yang berhasil membuat siapa pun yang mendengarnya tidak bisa untuk tidak ikut menjatuhkan linangan matanya. Warga, RT, RW, Lurah, Camat, Menteri bahkan Presiden mencoba mencari apa penyebab rintihan tangisan tersebut. Namun, setiap orang tak berhasil mengetahui siapa gerangan sosok wanita yang menangis tersebut.
Ketidaktahuan dan rasa penasaran kemudian membuat orang-orang yang mendengarnya berspekulasi bahwa tangisan itu berasal dari sebuah tragedi mengerikan yang pernah terjadi dilingkungannya. Suatu kejadian mengandung kesedihan yang diam-diam ingin mereka lupakan. Warga sampai pejabat negara silih berganti mengira dan menuduh bahwa tangisan tersebut berasal dari korban-korban yang mengalami kehilangan, kematian, ketidakadilan, hingga kesengsaraan. Bahkan mereka mengira bahwa suara tangisan itu berasal dari seorang bayi tidak berdosa yang kelaparan.
Melalui cerpen Ada yang Menangis Sepanjang Hari yang pernah terbit di Kompas, Sastrawan asal Tegal ini seolah tengah menyampaikan kritiknya terhadap sosial. Keresahan para warga di dalam cerita di gambarkan Agus Noor melalui kasus-kasus yang berasal dari masyarakat kecil hingga besar.
Melihat latar belakang Agus Noor sebagai lulusan Institut Seni Yogyakarta yang aktif dalam berbagai pementasan seni teater dan menulis naskah lakon, membuat namanya masyhur kala itu di masa Orde baru. Tak heran jika seorang Agus Noor mampu mengangkat isu-isu kehidupan sosial atau kegelisahan-kegelisahan yang dialami masyarakat melalui karya-karyanya.
Dehumanisasi buntut kapitalisasi
Dari sekian banyak kasus yang sajikan dalam cerpen Ada yang Menangis Sepanjang Hari, Agus Noor seakan-akan ingin menarik pembaca untuk mengernyitkan dahi dan melihat bagaimana tindakan-tindakan tidak manusiawi terjadi di masyarakat, atau yang kerap disebut dengan dehumanisasi.
“Mendadak saja mereka teringat Sidat yang ketangkap mencuri jagung rebus, kemudian dibantai ramai-ramai. Belum puas melihat Sidat bonyok dan ringsek, seseorang menyiramkan bensin ke tubuh suami Kumirah itu. Sidat mengerang-erang terkapar…”
Tentang dehumanisasi sosial ini, Agus Noor terus merangsang mata nurani pembaca untuk segera menyadari tragedi dan ironi yang sebenarnya telah menjadi nomena di kehidupan sosial. Kemanusiaan telah mengecil hingga menjadi organisme yang tidak terlihat oleh mata telanjang. Agus Noor menggambarkan situasi di mana kemanusiaan terdegradasi dengan adanya kekejian dan kebringasan yang terjadi di antara manusia. Jika kita tarik ke masa Orde baru, saya mulai ditampar fakta bahwa keji dan beringas memang benar-benar terjadi kala itu.
Di tahun-tahun tersebut sempat terjadi pembakaran gereja, main hakim sendiri, atau bahkan hutan-hutan di Sumatra dan Kalimantan yang mengalami pengalihan fungsi lalu dibakar menjadi lahan kelapa sawit. Atau yang menariknya lagi, menurut ABC NEWS tahun 2007, artinya tepat saat cerpen ini dibuat, terjadi juga pembunuhan seluruh anggota keluarganya oleh seorang pelaku. Persis seperti yang terdapat dalam salah satu kasus di cerpen Agus Noor. Kondisi ini juga dikenal dengan familicide.
“… Barangkali yang terus-terusan menangis itu dari kampung sebelah. Seminggu lalu memang ada warga kampung dekat pembuangan sampah yang mati gantung diri setelah membunuh istri dan keempat anaknya yang masih kecil.”
Tindakan keji yang sajikan Agus Noor tersebut seolah menunjukkan bahwa telah terjadi ketumpulan pada nurani manusia. Keserakahan akan kehidupan membuat mereka kehilangan kesadarannya sebagai makhluk yang memiliki perasaan. Teringat pernyataan Thomas Aquinas bahwa tumpulnya nurani ternyata dapat juga disebabkan oleh materialism, sekuralism, hedonism, konsumerisme, dan sebagainya.
Jika berkaca dari kasus familicide di atas, motif pelaku membunuh keluarganya sendiri ternyata karena merasa malu tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi. Mungkin juga Agus Noor ingin menyampaikan bahwa keterbatasan ekonomi seringkali menjadi musabab besar atas tragedi yang digambarkan dalam cerpennya.
Kesejahteraan ekonomi menjadi khayalan untuk bisa terimplementasi di sistem yang semakin hari kian kapitalistik. Pasalnya, kapitalisme membuka jurang pemisah antara pemilik modal dan kaum buruh menjadi semakin lebar. Tidak hanya lebar tapi terdapat tembok besar yang sulit sekali mempertemukan keduanya. Pemilik modal yang berusaha meraih untung semaksimal mungkin, sedangkan buruh mendapat upah seminimal mungkin. Hal inilah yang kemudian terciptanya kesenjangan.
Thomas Piketty (2017) yang menuangkan hasil studinya dalam buku Capital in the Twenty-First Century, membenarkan bahwa memang benar adanya kapitalisme adalah penyebab paling besar atas terjadinya kesenjangan. Sehingga masyarakat akar rumput sulit mendapat keadilan ekonomi sebagai modal kehidupan mereka.
Hari ini kapitalisme tidak hanya menyebabkan krisis politik, ekologi, dan kekuasaan. Aspek psikologi juga tidak bisa lari dari jejak kapitalisme-dehumanisasi.
Kritik yang mengendap-endap.
Seperti 23 nama samaran Tan Malaka, Agus Noor juga seolah menyamarkan sesuatu dari balik tulisannya. Ia mengetuk pikiran pembaca dan memberikan pesannya sambil berbisik. Semakin pembaca berselancar, semakin kita dibuat tersedat dalam memahami tiap-tiap diksinya.
Beberapa kritik sosial yang terlontarkan di dalam cerpen ini dari mulai tentang banjir, korban PHK, hingga penggusuran pedagang kaki lima. Hal ini seolah menggambarkan bagaimana media sastra menjadi salah satu opsi dari beberapa pilihan media aspirasi dalam mencapai perannya sebagai pengevaluasi di lingkup sosial.
Agus Noor mungkin pula telah menyelami segala konsekuensi hingga akhirnya menetapkan strategi satir dalam usaha menggapai telinga pendengar dan pemangku kebijakan. Barangkali ia juga merasa geram ketika para kritikus tidak mampu lagi menggemborkan kritiknya di atas podium dengan suara yang menggebu-gebu dan provokatif atau mungkin di mobil komando yang selalu ada saat demonstrasi. Kondisi di mana teriakan subversif dianggap memiliki risiko, membuat masyarakat memilih berbisik tentang apa yang diresahkan. Maka hadirlah satir menjadi sebuah media yang dirasanya paling tepat.
Seperti yang di sampaikan dalam jurnal berjudul What Happened to Jokes? The Shifting Landscape of Humor in Hungary (2016), Lampland dan Nadkarni menyatakan bahhwa di Negara Otoriter, satir menjadi satu-satunya pilihan dalam menyampaikan aspirasi. Oleh karena itu, melalui media sastra lah Agus Noor dengan latar belakang yang dirasakannya. Di kondisi waktu dan tempat yang ia alami, Agus Noor menyalurkan kritik melalui karya-karyanya sebagai bentuk sindiran. Dengan seperti itu juga para kritikus akan lebih aman dari ancaman pasal-pasal yang telah disulap sedemikian rupa menjadi alat pemerintah.
Siapa Wanita itu?
Pembaca tentu mempunyai interpretasi terhadap semua simbol-simbol di dalam cerpen Agus Noor ini, termasuk suara tangis perempuan itu. Hingga akhir tidak disebutkan siapa sebenarnya pemilik tangisan yang meresahkan seisi negeri itu. Bahkan, Agus Noor justru mempertanyakan kembali, “Apakah kita mendengar suara tersebut?”
Menangis di sini tentu diambil untuk menggambarkan perasaan yang dialami sebagai representasi dari kesedihan, kesengsaraan, matinya harapan, hingga segala sesuatu berkonotasi hampa, suram, terisak tak terbahasakan. Digambarkan pula bagaimana ketidakmampuan pejabat hingga keapatisan Presiden dalam meredam suara tangis yang menghantui itu, karena mereka pun tidak mengetahui siapa pemilik kesedihan semacam itu.
Jika menengok pada segala kode-kode yang terlampir di dalam cerpen Agus Noor, suara Tangis itu bisa juga kita tafsirkan sebagai suara ibu pertiwi yang menangis melihat ketidakmanusiaan yang terjadi di negerinya. Agus Noor mencoba memetaforkan suara tangis itu dengan sedih yang mendalam, yang mana di lain sisi semua pejabat telah gagap untuk mereda kesengsaraan suara tangis tersebut. Unsur Pesimisme seorang penulis ulung yang pernah hidup di zaman otoriter Orde baru, turut kita terjemahkan menjadi suatu makna tertentu.
“Apa ya nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?”
Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang menutup jendela
Penulis: Tegar Ezha Pratama