
“Jika politik kotor, puisi akan membersihkannya. JIka politik bengkok, sastra akan meluruskannya”.
Apa yang terlintas dalam benak kita, ketika membaca ungkapan Jhon F. Kenedy tersebut? Jika kita kaitkan dalam kondisi Indonesia kini, tentu ungkapan itu jauh membumi. Puisi yang seharusnya menjadi yang diharap menyelamatkan malah menjadi yang dirusak.
Ya, ini soal fenomena ‘puitisasi politik’ yang belum juga selesai. Arusnya yang santer pada Pemilu 2014 lalu, kembali terulang pada tahun politik kali ini.
Di penghujung Februari ini misalnya, publik tengah digegerkan dengan doa puisi munajat yang dibacakan Neno Warisman dalam acara malam munajat 212. Puisi itu menjadi sorotan lantaran isinya yang mengandung kontroversi dari berbagai pihak. Doa yang dipanjatkan dalam puisi Neno Warisman tersebut dianggap bernada mengancam bahkan dicap sebagai kampanye terselubung, sebab dirinya merupakan ketua presidium relawan #2019GantiPresiden.
Neno Warisman bukan tokoh publik pertama yang menjadi perbincangan fenomena ‘puitisasi politik’ ini, jika kita menilik beberapa tahun silam, sejak Pemilu 2014, perang puisi sudah marak terjadi. Fadli Zon, pernah menulis lima puisi yang digunakan sebagai alat serang lawan politiknya. Kelima puisi tersebut yakni Air Mata Buaya, Sajak Seekor Ikan, Sandiwara, Boneka, dan Aku Raisopopo.
Ketika itu, kubu lawanpun jelas tidak mau kalah. Dengan cara yang sama, Fahmi Habcy menulis beberapa puisi balasan untuk menyerang Fadli Zon.
Mengapa, semakin ke sini gejala itu tak jua kunjung surut? Padahal kita tahu, sejak 2014 kritik tajam terhadap perang puisi sudah dilayangkan oleh banyak pihak.
Bahasa Dada
Sebetulnya, apa yang dilakukan oleh mereka (Baca: para pembuat puisi politik) tidak salah. Objek dari puisi adalah alam semesta dan seisinya, termasuk politik. Namun, jika kita cermati, apakah puisi yang menjadi viral kini pantas disebut sebagai puisi?
Ada tiga unsur utama untuk sebuah karya sastra bisa disebut sebagai puisi. Ia harus mengandung alegori, analogi, dan metafora.
Sebuah karya yang telah memenuhi ketiga unsur tersebut, umumnya menjadi multitafsir lantaran bahasanya yang terselubung. Pembaca akan memahami puisi yang tercipta sesuai dengan perasaannya dan luas pemahamnnya.
Ambil contoh, puisi Sapardi Joko Damono yang berjudul Hujan Bulan Juni. Dalam puisi tersebut, banyak pemahaman yang tercipta. Ada yang berpendapat itu puisi soal cinta, alam, sampai ada yang mengakitkan puisi tersebut dengan suasana Indonesia di Zaman Orde Baru. Dalam konteks itulah, karya sastra bebas berbicara apa saja.
“Puisi adalah bahasa hati. Letaknya di dalam dada. Tanpa suara.“
Lalu, mari kita bandingkan dengan puisi versi Neno Warisman. Apakah kita menangkap pemahaman lain dari yang terucapkan dan tertulis? Jika iya, tentu kritik publik tidak akan seramai seperti sekarang ini. Bahasa yang dia gunakan, hanya memunculkan satu pemahaman tunggal.
Diksi yang dipakai malah dinilai seperti nada ancaman, tidak ada unsur keindahan di dalamnya, tidak menciptakan kekaguman dan perenungan bagi pembacanya. padahal, itulah sebenarnya fungsi karya sastra.
jika mengutip perkataan Agus Noor, bahwa seharusnya puisi itu sebagai ruang kontemplatif, dunia puisi harusnya menjadi jalan keluar dari yang penuh ujaran kebencian dan caci maki. bukan sebaliknya.
Kita sadar satu hal, semakin ke sini kepentingn politik ingin melibatkan semua hal. Tak cukup dengan nama Tuhan, Nabi, dan ulama, namun juga puisi. Semua dilibatkan, semua dikotori.
Penulis: Rima D.P
Editor: Sigit A.F