Agus Noor adalah seorang penyair, esais, cerpenis juga penulis naskah kelahiran Tegal tahun 1968. Ia telah lama melintang di dunia seni. Korie Layun Rampan memasuk dia sebagai sastrawan angkatan 2000. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah naskah monolog Matinya Toekang Kritik yang kemudian diadaptasi menjadi program Sentilan Sentilun di salah satu Stasion televisi swasta nasional.
Buku Barista Tanpa Nama (2018) ini merupakan kumpulan sajak Agus Noor yang dibuatnya antara tahun 2010 s.d 2017. Dalam karya yang satu ini, ia melakukan eksploitasi yang luar biasa terhadap kopi.
Kita dapat jumpai sajak yang membahas tentang penantian dalam Percakapan Kopi, kisah tentang kerinduan dalam Mengingat Jalan-Jalan yang Dilupakan, romansa dalam Sajak-Sajak Secangkir Kopi dan masih banyak yang lainnya. Ia memadukan antara kopi dan kesendirian, kopi dan duka, kopi dan luka, kopi dan kesunyian, menjadi pemaknaan yang terus mengalir tanpa muara. Sebuah pemaknaan (baca: sajak) yang bernada sendu, diciptakan untuk mewakili zaman yang pilu.
Agus Noor menulis;
Di tempat yang jauh,
Tuhan menyeka pipinya yang tiba-tiba basah
Benar saja, pada lembar demi lembar selanjutnya, penulis mulai meliar dengan membahas kondisi sosial, politik, dan agama. Tentu dengan gaya satire khas Agus Noor; Yang lantang, namun tak jarang dapat membuat pembaca terpingkal.
Seperti dalam puisi Anjing dan Bir Kesembilan. Di sana Agus menggambarkan kehidupan keberagamaan yang sudah begitu jauh dari agama. Atau, jika menggunakaan istilah Karl Marx, kini, orang banyak yang terserang candu agama. Tentu dalam konteks yang berbeda.
Agus melukiskan itu dengan ungkapan, anjing dalam botol bir. Ia megkritik cara keberagamaan hari ini, yang tidak lagi menemukan Tuhan dalam keheningan, namun berkoar-koar di jalan sebagai wujud eksistensi keimanan. Kejadian seperti ini sangat lekat dengan apa yang terjadi di masa sekarang.
Agus Noor menulis;
Tapi, di kota penuh pendusta
siapa lebih jaddah:
anjing gila ataukah kita?
lebih mengerikan mana, wabah anjing gila
atau kegilaan atas nama agama?
“kita bisa mendongeng
anjing berjanggut
berkeliaran di jalan kota”
Di antara karyanya, terdapat beberapa puisi yang dibuat khusus untuk seseorang. Di antaranya, Melankolia Mella, Peggy Melati Sukma, Sudjiwo Tejo, serta Umbu Landu Paranggi.
Seperti yang ditulis di awal, kopi menjadi topik utama dalam kumpulan puisi Agus Noor. Ia seakan paham dengan karakter pembacanya. Di mana gaya hidup ngopi semakin digemari kawula muda, berbanding lurus dengan tingginya rasa sepi di hati. Ya, saya sedang berbicara tentang kegalauan manusia modern.
Misal saja dalam potongan puisi yang berjudul Kedai Kopi, Agus Noor menulis;
ia kembali untuk secangkir kopi
dan apa yang tak akan ditemukan lagi
menggambarkan seseorang yang tetap kembali meskipun ia tau apa yang dicarinya tak dapat lagi ia temui. Dilanjutkan dengan bait selanjutnya mengenai suasana sunyi yang dirasakan.
kursi-kursi yang kosong
seperti punggung bersandar
pada kesunyian
Kumpulan sajak ini merupakan buku yang patut dibaca. Mungkin bersama kopi hitam dalam kehidupan yang kelam. Atau, dalam tawa di heningan malam. Guna meresapi kembali, apa yang sudah terjadi, dan bagaiman yang selanjutnya. Tentang sikap kita dalam beragama dan memandang kehidupan.
Judul Buku: Barista Tanpa Nama
Penulis: Agus Noor
Penerbit: DIVA Press
Tahun terbit: 2018
Tebal: 171 halaman
Resentator: Afridatun Najah