
Hari ini, lalu lalang di jagat maya dipenuhi foto di tempat-tempat mewah, cafe, restoran, hotel, tidak lupa, di atas meja cafe itu terletak satu buket bunga indah lengkap dengan cokelat di sebelahnya. Tidak jarang pula, pasangan itu memasukkan gambar tangan mereka yang sedang erat berpegangan.
14 Februari dirayakan sebagai Hari Valentine atau hari kasih sayang. Akan sering kita temukan adegan-adegan romantis di film, menjadi berusaha dipraktekkan oleh para pria, bunga yang disembunyikan di belakang tubuhnya dan seorang wanita yang matanya ditutupi kain.
Adegan-adegan semacam itu adalah pemandangan yang wajar di hari yang katanya adalah hari kasih sayang.
Sejarah Valentine
Perayaan Valentine bermula dari Romawi ketika Kaisar Romawi Claudius II melarang semua pasangan untuk melakukan pernikahan. Kaisar itu beranggapan, menikah hanya akan membuat para prajuritnya menjadi malas dan lemah. Seorang pendeta bernama Santo Valentinus tidak setuju dengan kebijakan yang dibuat kaisar. Dirinya terus menerus menikahkan pasangan secara diam-diam. Saat Kaisar Claudius II mengetahui tentang apa yang dilakukan Santo Valentinus, sang pendeta langsung dijebloskan ke penjara hingga meninggal.
Akan tetapi sejarah lain mengatakan, pada perayaan musim semi, orang-orang yang masih lajang akan dijodohkan, perayaan ini disebut Festival Romawi Lupercalia. Hingga akhir abad ke-5, Paus Gelasius I mengganti Lupercalia dengan Hari St. Valentine.
Versi lain juga menyebutkan masyarakat Inggris dan Perancis di abad pertengahan percaya bahwa tanggal 14 Februari adalah awal dari musim kawin burung. Kepercayaan-kepercayaan diatas menambah bumbu-bumbu romantis tentang tanggal 14 Februari.
Kapitalisasi emosional pada Hari Valentine dimulai di abad ke-19. Ketika Cadbury mulai membuat coklat dengan bungkus berbentuk hati tepatnya pada tahun 1868. Cadbury melihat potensi bisnis dengan memperdaya perasaan tepat pada tanggal 14 Februari itu.
Konsumerisme kaum Borjuis
Di jalanan, banyak orang-orang terlihat menenteng bungkus, yang mungkin berisi hadiah demi merayakan Valentine. Wajah senyum bahagia saat meromantisasi hari yang bahkan sebagian besar dari mereka tidak mengerti esensi dan substansinya. Jelas, penggerogohan kepada dompet mereka pada Hari valentine, hanya berdasarkan alasan subjektif. Fenomena ini disebut sebagai masyarakat konsumerisme oleh Jean Baudrillard.
Menurut Jean, masyarakat konsumerisme adalah konsekuensi dari post modern. Maksudnya adalah fenomena-fenomena yang disebabkan oleh post modern juga berakibat pada perubahan sosial.
Media sosial adalah pengaruh terbesar atas konsekuensi ini, keinginan untuk mengungguli orang lain dalam menunjukan cinta dan kasih sayang mendorong sebuah persaingan semu. per individu menjadi sering membandingkan dirinya dengan kehidupan orang lain yang dilihat lewat dunia maya.
Begitupun saat Hari Valentine, standarisasi rasa kasih sayang diukur dengan pemberian bunga dan cokelat, semakin banyak bunga dan cokelat semakin besar pula perasaan kasih sayang seseorang. Masih berhubungan dengan faktor pertama, faktor individu yang mulai kabur tentang realitas juga menyumbang sebagai faktor pendukung ketika masyarakat bersikap konsumerisme. Bias antara fakta dan fake tidak lagi menjadi urgensi utama saat menelan informasi.
Akibatnya, semua yang melewati linimasa mereka di media sosial dianggap sebuah kenyataan. Di Amerika setiap gegap gempita Valentine terjadi, Menurut Statista, pembelian barang demi perayaan Valentine akan menghabiskan sekitar $6,5 miliar untuk perhiasan, $5,4 miliar untuk keluar malam, $5,4 miliar untuk bunga dan permen, dan “hanya” $1,4 miliar untuk kartu ucapan.
Valentine tidak untuk kaum miskin
Perayaan Valentine bukanlah satu-satunya perayaan yang berpotensi terjadinya konsumerisme. Identifikasi Valentine sebagai perayaan kasih sayang adalah perlombaan yang diikuti oleh orang dengan penghasilan mapan. Sebagian kecil orang, atau 1% dibanding seluruh masyrakat Indonesia, bahkan sampai membeli kendaraan dan perhiasan mewah demi ikut dalam arus yang entah dimana ujungnya. 99% Masyarakat lainnya hanya bisa berada di kamar kecilnya, menjadi penonton di layar gawai mereka, menggigit jari, teralienasi.
Bagi orang-orang ini, kasih sayang mereka tidak dapat diakumulasikan hanya pada tanggal 14 februari. Setiap hari pikirannya penuh untuk memikirkan bagaimana gaji yang sebatas UMR dapat mencukupi kebutuhan pokok keluarga. Menurut penelitian yang dilakukan Haushofer, J., & Fehr, E. (2014). “The Economic Consequences of Poverty“, orang yang hidup dalam kemiskinan selalu dihadapkan dengan masalah yang rumit setiap hari, seperti mencari pekerjaan dan memenuhi kebutuhan dasar, akibatnya fokus mereka terbagi sehingga sulit memperhatikan hal eksternal dari dirinya.
Orang-orang miskin ini, boro-boro membeli bunga dan cokelat, bisa makan layak 3 kali sehari saja mereka sudah sujud syukur. Bukan artinya pula mereka tidak punya kasih sayang, masing-masing dari mereka bahkan rela dieksploitasi demi mencukupi kebutuhan rumah.
Bukankah itu lebih romantis dibanding bunga dan cokelat?
Penulis: Tegar Ezha