Tak berapa lama setelah Corona Virus Disease (Covid-19) menyerang Indonesia, pemerintahan Jokowi-Maaruf Amin menjadi ketar-ketir. Mereka kelabakan. Narasi optimisme “Indonesia Bebas Corona” yang gamblang diberitakan sebelumnya, runtuh seketika.
Sontak, kepanikan massal melanda bumi Indonesia. Anak kecil, remaja, dewasa, hingga orangtua berbondong-bondong mencari perlindungan. Namun, virus tetaplah virus. Ia menjelma seperti dewa kematian yang datang dan merenggut satu per satu nyawa manusia, tanpa pandang bulu.
Terhitung per Kamis (02/04/2020), kasus Covid-19 mengalami peningkatan signifikan dengan mencapai 1.790 kasus. Sementara, korban meninggal dunia kini bertambah menjadi 170 orang dan pasien sembuh sejumlah 112 orang. (Kompas.com, 02/04/2020).
Ini menandakan bahwa virus corona memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal itu pula yang membuat pemerintah bergerak cepat dengan membuat beberapa kebijakan baru. Ya, social distancing menjadi salah satu kebijakan yang dianggap mampu meredam penyebaran pandemi corona.
Social distancing sendiri merupakan sebuah strategi untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit di wilayah tertentu. Selain itu, pembatasan sosial juga dilakukan dengan meminta masyarakat untuk mengurangi interaksi sosial dengan tetap tinggal di dalam rumah maupun pembatasan penggunaan transportasi publik.
Namun, yang masih menjadi pertanyaan, apakah kebijakan social distancing (SD) sudah tepat dalam kaca mata kebijakan publik saat ini?
Kebijakan social distancing yang saat ini dipraktikkan oleh negara bisa dibilang belum berada dalam titik maksimal. Saat kebijakan social distancing menggema di seluruh pelosok negeri, justru tidak banyak masyarakat yang mengimplementasikannya.
Masih banyak dijumpai masyarakat yang tetap melakukan hal-hal yang kiranya tidak berdampak dengan penularan covid-19. Bahkan, ada yang nekat berkunjung ke tempat wisata yang belum ditutup, jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, nongkrong hingga melaksankan acara seperti pesta pernikahan.
Mirisnya, social distancing yang diterapkan di Indonesia hanya berhasil diikuti oleh kelompok menengah atas. Sementara, kelompok menengah bawah banyak yang tidak mematuhinya.
Kelompok pengemudi ojek online misalnya, mereka tetap keluar rumah karena penghasilan mereka adalah harian. Lalu, ada pedagang kaki lima, tukang parkir dan masih banyak profesi lain yang berhubungan dengan banyak orang.
Hal ini cukup riskan mengingat, penularan virus corona begitu cepat dan tidak dapat diprediksi. Bahkan, virus yang statusnya telah ditetapkan WHO menjadi pandemi ini mampu menjadi pembunuh berdarah dingin yang terkadang tidak memunculkan gejala secara spesifik.
Jika perilaku masyarakat masih seperti ini lalu, harus dengan cara apa negara menyadarkan rakyatnya?
Dilematis
Kebijakan social distancing yang diterapkan pemerintah memang menimbulkan perasaan dilematis. Di satu sisi, kebijakan ini diprediksi mampu menurunkan angka penyebaran Covid-19. Di sisi lain social distancing menjadi pedang yang menghunus pereknomian masyarakat—terutama kelas menengah ke bawah—menjadi tidak stabil.
Jika pemerintah tetap bersikukuh untuk menerapkan kebijakan ini maka, harus diimbangi pula dengan solusi yang tepat. Negara dalam hal ini pemerintah, tidak bisa begitu saja menelantarkan rakyatnya dalam ‘kelaparan’ ekonomi.
Namun, jika melihat neraca perekonomian negara saat ini, sepertinya mustahil bagi mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan satu per satu rakyatnya. Kalau pun mereka mengambil langkah ekstrem dengan menambah hutang negara untuk menambal defisit anggaran yang semakin menurun, itu pun tidak bisa dilakukan maksimal. Mengingat, pandemi corona bukan lagi menjadi ancaman nasional, melainkan ancaman global di mana, semua negara membutuhkan pertolongan ekonomi.
Belajar dari negara lain
Indonesia, sepertinya harus belajar dari negara lain dalam menerapkan kebijakan social distancing. Di beberapa negara, social distancing dilakukan secara serius dan ketat.
Di Korea Selatan misalnya, mereka menerapkan sanksi pidana dan denda bagi masyaraktnya yang tidak mematuhi kebijakan social distancing berupa sanksi pidana satu tahun atau denda 10 juta won (133 juta) jika menolak karantina atau dirawat di rumah sakit.
Warga Singapura juga tak mau kalah tertib ketika melakukan social distancing. Mereka mengantre dan menyisihkan jarak ketika sedang berada di pusat perbelanjaan publik, hingga ketika makan di warung-warung pinggir jalan.
Mengetahui ketertiban masyarakat dalam melakukan social distancing tersebut, sontak membuat warganet Indonesia mengapresiasinya, bahkan tak jarang yang merasa iri dengan ketertiban tersebut.
Seperti yang ditulis oleh akun @erlinape dalam laman Twitternya pada 16 Maret lalu dengan kalimat “Ya allah pengen nangis liat penanganan corona di negara lain, totalitas banget . Kayanya emang kita gabisa mengandalkan apapun dari pemerintah, kita sendiri yang harus survive buat jaga diri dan keluarga, yok lebih aware dengan kesehatan”.
Begitu pula dengan @aradipity yang menulis komentar, “Di indonesia, mau pemerintahnya udah sekeras apapun percuma kalo warganya nggak bisa di ajak kerja sama. Diliburin malah jalan² kepuncak, ke tempat ramai. Masker dan semuanya yang membantu mencegah dibikin mahal, ujung2nya nyalahin pemerintah lagi”.
Penulis: Ramadhani Sri Wahyuni