Setiap libur semester datang, itu berarti saat yang sama ketika yudisium tiba. Tiap mahasiswa pasti penasaran dengan Indeks Prestasi (IP) yang diperolehnya, begitu juga dengan mahasiswa UIN Walisongo hari ini. Mereka tengah meributkan IP yang diperoleh dari hasil kuliah selama satu semester.
Apalagi mahasiswa semester satu. IP pertama seolah awal dari segalanya. Kebanyakan dari mereka sangat mengidam-idamkan nilai tinggi, seperti IP itu harga mati. Hmmm
Yaa… Perasaan senang pasti hinggap jika kita mendapat nilai “A”. Lalu, kita akan mengunggah status Whatsapp tangkapan layar soal transkrip nilai dengan gaya rendah hati. Sebaliknya, jika IP kita jeblok, dengan nada tegar yang dibuat-buat kita akan menulis status, “IP bukan segalanya.” atau, “yang penting adalah proses mendapatkannya.”
Tidak munafik, kegelisahan itu terjadi juga pada penulis, ketika mengetahui mendapatkan nilai yang rendah. Saya pura-pura tegar. Alih-alih menghibur diri dengan menonton televisi, tidak sengaja yang muncul adalah FTV Indosiar. Dalam sebuah adegan diperlihatkan seorang anak menangis lantaran dagangan layang-layangnya tidak laku. Lalu, tokoh ibu menghibur dengan mengatakan, “yang penting kamu sudah berusaha nak.” Dan, saya cukup terhibur mendengar itu.
Pertanyaanya adalah, apakah IP memang sepenting itu, jadi penentu bahagia dan duka mahasiswa?
Kalau dikatakan IP itu penting, tentu jawabannya “iya”. IP merupakan alat ukur pemahaman mahasiswa terhadap suatu mata kuliah yang diambil (idealnya). Jika, mahasiswa tidak mempunyi IP, tentu ia tidak bisa lulus dan mendapat gelar sarjana.
Lalu, dalam dunia kerja, selain asal perguruan tinggi dan program studi yang kita ambil, hal utama yang dilihat perusahaan atau instansi tertentu adalah IPK yang kita dapat.
IP juga merupakan bentuk tanggung jawab kita kepada orang tua, bukti pada mereka kalau kita niat kuliah. Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya kuliah dengan baik. Bahkan, beberapa orang tua mungkin bangga dengan anaknya yang ber IP tinggi, sehingga bisa dipamerkan di depan tetangga.
Tapi apakah kita kuliah hanya untuk mencari IP? Coba renungkan lagi.
Allah SWT dalam Surat Mujadilah/58 ayat 11, berfirman;
يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَـٰتٍ۬ۚ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Ingat ya, orang yang beriman dan berilmu, bukan orang yang ber-IP. Ilmu pengetahuan lebih berharga dibanding nilai, percuma IP tinggi namun tidak mencerminkan apapun selain angka.
Yang dibutuhkan mahasiswa saat ini bukan hanya sekedar IP yang tinggi, tapi juga pengalaman, dan soft skill yang didapatkan selama berproses. Makanya, mengikuti organisasi di kampus untuk mengembangkan potensi yang kamu punya itu akan berpengaruh banyak setelah lulus nanti. Ingat, kesuksesan bukan hanya diukur dari angka saja, tapi potensi apa yang kita miliki untuk dikembangkan ke depan.
Tapi, bukan berarti nilai tinggi itu tidak penting. Maksudnya, jangan hanya terfokus pada nilai. Bayangkan, jika kamu sudah melakukan berbagai cara, mulai dari yang jujur sampai yang nakal untuk mendapatkan IP tinggi, tapi hasilnya malah tidak sesuai dengan ekspektasi? Kecewa, sakit hati, dan menyalahkan diri sendiri, kemudian punya anggapan bahwa diri sendiri sangat bodoh, masa depan tidak jelas.
Bukan begitu. Jika saja kamu tahu, Presiden kita Joko Widodo saat kuliah di jurusan Kehutanan Universitas Gadjah Mada itu mendapatkan IPK 3,05. Tidak percaya? Coba saja kamu cari di Google, akan banyak sekali tulisan yang membahas soal IPK beliau. Jadi tidak usah terlalu gelisah jika IPK kita tidak terlalu tinggi, nikmatilah masa kuliah yang penuh cerita, derita, dan bahagia ini.
Jadilah mahasiswa yang berhati lapang dan berbahagia. Katakanlah pada diri kamu, “Yang penting saya sudah berusaha! Masih banyak hal baik yang saya dapatkan. Seperti pengalaman, ilmu pengetahuan, teman-teman, dan pendewasaan”.
Karena munafik jika bilang IP tidak penting sama sekali. Tapi, naif juga menggantungkan masa depanmu hanya pada angka-angka mati bukan?
Penulis: Rima Dian Pramesti