Siapa yang tak kenal dengan Letnan Kolonel Untung Syamsuri? Seorang prajurit TNI yang terkenal handal dalam medan tempur di zaman Soekarno?
Ya, dalam catatan sejarah Indonesia nama Letnan Kolonel Untung Syamsuri atau yang biasa dikenal dengan Letnan Kolonel Untung mencuat ke permukaan. Namanya melejit semenjak ia menjadi komandan operasi ketika peristiwa penculikan 6 Jenderal dan 1 Perwira Pertama TNI pada tanggal 30 September 1965 atau Pemberontakan G30S/PKI.
Keterlibatanya dalam Pemberontakan G30S/PKI cukup membuat publik geram. Letkol Untung memiliki peran vital pada peristiwa malam jahanam tanggal 30 September 1965 tersebut. Tak main-main, Untung diberi mandat menjadi Komandan Batalion 1 Kawal Kehormatan Cakrabirawa dan memimpin langsung operasi penculikan para Jenderal dalam Pemberontakan G30S/PKI.
Setidaknya ada 6 Jenderal dan 1 Perwira Pertama TNI yang menjadi korban penculikan yang kemudian disiksa, dibunuh dan dimasukan ke dalam sumur di daerah Lubang Buaya.
Lalu, siapa sebenarnya Letkol Untung yang disebut sebagai pemimpin G30S/PKI?
Letnan Kolonel Untung lahir di Desa Seruni, Kedung Bajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 23 Juli 1926. Dia memiliki nama kecil Kusmindar atau Kusman. Semasa kecil, kedua orang tua Untung berpisah. Hal itulah yang membuatnya harus diasuh oleh adik dari ayahnya di Solo. Adik ayahnya itu bernama Syamsuri. Oleh karena itu, Untung juga dikenal dengan nama Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri (Untung Syamsuri).
Untung sempat mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (SR) Seruni di Desa Bojongsari Kecamatan Alian, di Kebumen Jawa Tengah sampai kelas 3. Kemudian, saat usianya menginjak 18 tahun, ia sempat bergabung dengan Heiho; salah satu organisasi militer untuk memperkuat pertahanan Indonesia.
Perjalanan hidup Kusmindar alias Kusman semakin menunjukkan taringnya saat masuk ke Akademi Militer (AKMIL) di Semarang. Di tempat itu pula, nama Kusmindar alias Kusman berubah menjadi Untung. Bahkan saat lulus dari AKMIL, Untung mendapatkan predikat lulusan terbaik AKMIL pada tahun tersebut. Disebutkan dalam buku Gerakan, Pahlawan, dan Petualang (2010) Semasa perang kemerdekaan, Untung juga sempat bergabung dengan Batalion Sudigdo di Wonogiri. Kompas.com (29/09/2020).
Bahkan, pasca kemerdekaan, Untung pernah ikut Operasi Militer Mandala pada 14 Agustus 1962 dan dalam operasi tersebut Untung menjadi Panglima Mandala untuk membebaskan Irian Barat. Setelah pulang dari operasi militer tersebut, Untung mendapatkan kenaikan pangkat istimewa langsung menjadi Letnan Kolonel yang sebelumnya ia berpangkat Mayor.
Misi pemberontakan?
Sebelum melakukan penculikan, Untung yang disebut menjadi dalang pembantaian, melakukan propaganda kepada anggotanya dengan isu tentang Dewan Jenderal. Saat itu, Dewan Jenderal menjadi bola panas menjelang peristiwa G30S/PKI dengan dalih bahwa, sekelompok Perwira Tinggi Angkatan Darat akan mengambil alih kekuasaan kala Soekarno sakit.
Untung yang merupakan anak buah Soeharto, dan dekat dengan kelompok PKI merasa terancam dengan isu Dewan Jenderal tersebut. Strategi PKI yang selama ini memanfaatkan perlindungan Presiden, berubah. Ditambah lagi, Angkatan Darat mulai melancarkan ‘serangan’ dan di kalangan masyarakat, riak-riak anti PKI mulai menyebar. Namun, bermunculan kabar juga bahwa justru PKI lah yang sebenarnya akan melakukan kudeta terhadap Soekarno.
Tepat malam hari tertanggal 30 September 1965, Untung berangkat ke daerah Lubang Buaya untuk mengondisikan pasukan. Di sinilah proses pembantaian dilakukan. Rentetan tembakan menggema dan menembus satu per satu tubuh keenam jenderal dan satu perwira tersebut.
Dalam buku Jejak Sang Ajudan: Sebuah Biografi Pierre Tendean yang dituis oleh Ahmad Nowmenta Putra dan Agus Lisna, disebutkan bahwa sekelompok orang bersenjata menggiring mereka (baca: keenam Jenderal dan satu perwira) menuju sumur tua dan dilempar ke dalam. Pemandangan mengerikan itu diakhiri dengan rentetan tembakan yang mengarah ke dalam sumur tempat mereka ditindas.
Akhir riwayat Letnan Kolonel Untung
Letnan Kolonel Untung yang menjadi komandan operasi saat Pemberontakan G30S/PKI itu lantas melarikan diri ke berbagai daerah untuk menghindar dari pengejaran aparat yang sedang gencar-gencarnya melakukan sweeping kepada pengikut PKI di seluruh Indonesia.
Nahas, Untung tertangkap di Kota Tegal saat melarikan diri menggunakan bus. Saat itu, Untung tak menyadari jika ternyata di dalam bus tersebut ada tentara yang sedang menyamar. Alih-alih melompat dari bus untuk menghindar dari tentara tersebut, Untung justru menabrak tiang listrik di pinggir jalan. Warga sekitar yang melihat kejadian itu mengira bahwa Untung adalah copet yang kabur dari bus. Untung pun dihakimi massa saat itu juga. Akhirnya, Untung mendapatkan hukuman dari Pengadilan Militer karena tindakanya saat memimpin operasi penculikan para Jenderal TNI pada 30 September 1965.
Untuk mengadili Letnan Kolonel Untung, maka diadakan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang diadakan di Gedung Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Putusan Mahmilub saat itu, memberhentikan dengan tidak hormat Letnan Kolonel Untung dari pangkat dan jabatanya terhitung mulai 30 September 1965.
Putusan tersebut tercantum dalam Surat Keputusan Presiden nomor Keputusan Presiden/Pangti ABRI/KOTI/Nomor 171/KOTI/1965. Yang ditanda tangani per 4 Desember 1965. Pada tanggal 6 Maret 1966 Mahmilub juga memvonis mati Untung.
Sehari setelah vonis itu diputuskan, keluarlah surat keputusan dari Menteri Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Soeharto, menyetujui keputusan dan eksekusi mati terhadap Letnan Kolonel Untung. Untung pun sempat mengajukan grasi, namun ditolak. Hingga akhirnya Letnan Kolonel Untung dieksekusi mati di Cimahi tahun 1966.
Penulis: Burhanuddin Robbany
Editor: Agus