Tak bisa dipungkiri lagi, tindakan hujat-menghujat antar sesama, sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan masyarakat. Ada yang merasa kecewa dengan kondisi hidup dan membutuhkan sesuatu untuk melampiaskannya. Namun, ada juga yang hanya sekedar mencari sensasi semata.
Akan tetapi seiring berkembangnya teknologi, tindakan hujat-menghujat ini menjadi semakin marak dan berkembang di media sosial. Ya, media sosial kini sudah menjadi media yang umum digunakan seseorang untuk mencari informasi maupun menyebarkan informasi. Kemudahan itulah yang akhirnya membuat banyak penggunanya untuk saling menghujat.
Mungkin awalnya kita berpikir bahwa, ketika orang gemar melontarkan kritikan secara terus-menerus pada orang lain, artinya mereka sedang berusaha menyampaikan suatu pesan kepada orang tersebut. Namun, kenyataannya pemikiran tersebut salah kaprah. Banyak kritikan yang tidak lagi bersifat membangun, dan malah cenderung mengarah kepada bentuk penghinaan dan hujatan.
Fenomena semacam ini menjadi semakin mengerikan manakala dibumbui dengan aroma politik. Di media sosial, politik menjadi bola panas yang saling dilemparkan. Yang satu menganggap landasan politisnya paling benar, dan menganggap partai politik lain tidak sesuai dengan falsafah Pancasila. Akhirnya, aksi saling menghujat pun tak terelakkan lagi.
Hari ini, konflik di masyarakat terjadi akibat terprovokasi hujatan di media sosial. Mobilisasi massa pun menjadi semakin besar dan memuncak dalam satu kebencian.
Jika hal ini terus terjadi, bukan tidak mungkin keberagaman masyarakat Indonesia akan terganggu. Terlebih lagi, pagelaran Pilpres 2019 telah membuat perpecahan luar biasa hanya karena ujaran dan perilaku kebencian.
Propaganda media sosial
Era demokrasi Indonesia saat ini tak lepas dari peran media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan Instagram. Beragam isu pun terdengar dan akhirnya menjadi agenda penting di masyarakat yang disuarakan melalui media sosial dan didengungkan oleh media massa.
Ya, inilah era dimana para propagandis lebih mudah menyebarkan kebencian. Media sosial telah membuka ruang yang lebih luas untuk menyetir isu dan opini publik, serta memantau perkembangannya dengan lebih terstruktur.
Lebih parah, isu tersebut mampu mendapatkan perhatian besar dari masyarakat. Hingga akhirnya, para aktor yang terlibat di balik layar akan mengklaim bahwa, hanya dengan mengacu ke media sosial saja, mereka berhasil mendapatkan dukungan publik.
Selain itu, maraknya tindakan hujat-menghujat yang dilakukan oleh aktor propagandis, juga turut melahirkan fenomena Name Calling. Ya, Name Calling telah memberikan label buruk kepada seseorang/lembaga/gagasan agar orang lain menolak atau membencinya tanpa memeriksa atau mencari bukti-bukti terlebih dahulu. Ditambah lagi, pemberian label buruk ini juga bertujuan untuk menjatuhkan atau menurunkan derajat seseorang atau kelompok tertentu.
Meski pelarangan ujaran kebencian telah tertera dalam perubahan UU Informasi dan Transaksi Elektronik 2016, namun sifatnya telah berubah dari delik umum menjadi delik aduan. Pada delik aduan, pelaku ujaran kebencian hanya bisa diproses apabilanada pengaduan atau laporan dari orang yang merasa menjadi korban dari penyebaran informasi tersebut.
Penulis: Agus Salim I.