
Indonesia hingga kini selalu disibukkan dengan isu-isu pendidikan. Sejak 2015, pemerintah telah menetapkan program wajib belajar selama 12 tahun. Selama dua belas tahun pemerintah mengelompokan masyarakat dalam tiga jenjang pendidikan. Pertama, jenjang enam tahun di Sekolah Dasar (SD). Kedua, tiga tahun di jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Ketiga, tiga tahun jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Masing-masing jenjang memiliki tingkatan yang berbeda dan batasan usia minimal dan maksimal. Seorang yang berusia 50 tahun tentu saja tidak akan bisa masuk ke sekolah di tiga jenjang tersebut.
Di Indonesia, sekolah dianggap sebagai satu-satunya lembaga yang paling mampu melahirkan kecerdasan masyarakat. Tentu akan lebih jelas karena pendidikan menjadi kunci keberlangsungan kulitas sumber daya manusia Indonesia.
Lembaga pendidikan benama sekolah itu hingga kini tidak berujung membaik, yang dibuktikan dengan banyakanya kritik yang muncul. Sebagai contoh kritik Ivan Illich (1970) dalam penelitiannya berjudul Deschooling Society bahwa negara-negara berkembang seperti Amerika Latin dan Amerika Selatan penerapan sistem pendidikn sekolahnya justru mempersempit ruag belajar masyarakat.
Hal ini relevan dengan kondisi pendidikan Indonesia saat ini dengan munculnya banyak kebijakan. Tentu saja kita mengetahui bahwa sekolah harusnya mendukung pendidikan, tetapi dengan adanya kewajiban belajar, hak setiap orang justru malah dipersempit. Menurut Illich, Sekolah hanya mengelompokan orang dari segi umur, anak harus hadir disekolah, anak harus belajar disekolah, dan anak hanya bisa diajar di sekolah.
Jika diamati, sistem sekolah khususnya di Indonesia saat ini seperti hanya mempersiapkan tenaga buruh. Sistem berangkat pagi, istirahat siang, dan pulang sore mirip dengan pola kerja buruh. Sekolah membatasi kompetensi guru yang hanya sebatas lingkaran kelas saja. Hal ini membuat mereka menyimpan pengetahuan untuk diri mereka sendiri.
Kondisi pendidikan model seperti itu tentu tidak sesuai dengan tujuan awal seorang untuk mengembangkan dirinya. Meminjam apa yang dikatakan oleh Socrates, sesungguhnya pendidikan yang benar yaitu untuk merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental dengan hasil perkembangan intelektual dan standar moral. Karena, output dari pendidikan bukanlah sebuah pengakuan seperti mendapatkan ijazah mauapun sertifikat, melainkan perkembangan ilmu dan daya kritis.
Dehumanisasi di sekolah
Di sekolah, kini manusia justru dijauhkan dari sikap kemanusiaan. Ada perlakuan khusus bagi orang-orang yang memiliki kelebihan di prestasi tertentu sesuai kurikulum yang diterapkan. Sedangkan yang mendapat nilai rendah, ia dianggap sebelah mata dan bahkan sebagian menganggap sebagai produk yang gagal.
Tidak hanya itu, kini sudut pandang ekonomi juga menyeret pendidikan di sekolah dalam kompetisi kegiatan yang cenderung mengarah pada sistem industri. Orang-orang kaya yang memiliki kelebihan finansial bisa memililih sekolah mana yang menurutnya terbaik dengan fasilitas mewah. Semakin mahal biaya yang dikeluarkan, semakain bagus fasilitas yang diberikan. Sebaliknya, orang yang cenderung miskin tidak bisa leluasa memilih sekolah mana yang mau menerimanya.
Padahal keadaan semacam itu tidak sesuai dengan prinsip utama pendidikan seperti pengembangan nalar pemikiran manusia yang seharunya masyarakat juga memiliki hak sama untuk mendapat pendidikan yang setara.
Seolah-olah saat ini sekolah akan menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pandangannya, sekolah kini hanya melayani kepentingan segelintir masyarakat yang konsumtif-konsumeristik dengan mencetak serta memasok tukang-tukang sesuai instruksi sekolah.
Apakah sekolah harus dihapus?
Kritik yang lontarkan oleh Ivan Illich pada sekolah bukan serta merta untuk menghapuskan sekolah dari muka bumi. Ada beberapa tawaran solusi untuk membenahi sistem pendidikan yang ada saat ini.
Sistem sekolah saat ini harus bertransformasi secara total untuk mengembalikan fungsi pendidikan. Pendidikan harus mengajar nalar kritis pada murid-muridanya, nalar kritis ini selanjutnya akan digunakan untuk mengkritisi kenyataan-kenyataan yang ada di lingkungan dan untuk melihat dunia dalam sudut pandang yang lebih luas. Dengan itu, Pendidikan akan mampu mengubah arah ke dunia yang lebih baik.
Lembaga sekolah harus membebaskan hak-hak pelajar untuk belajar kapan dan di manapun. Tidak ada pembatasan umur untuk mereka, begitupun sistem rangking yang hanya di ukur dari nilai semata, ini tentu perlu dihapuskan. Tidak ada intervensi dari lembaga dalam proses belajar mengajar.
Sekolah tidak perlu dihapuskan bila ingin mencapai pendidikan yang lebih ideal. Tetapi bisa dengan membebasakan manusia Indonesia untuk bisa belajar apapun dan tidak dibatasi sesuai kenginan pemerinta. Inilah bagian dari peroses dialektika sekolah untuk penguatan sumber daya manusia yang baik demi mencapai cita-cita pendidikan di Indoensia lebih maju.
Penulis: Mohammad Azzam A