Kehidupan perempuan dalam dunia buruh hampir selalu berujung pada penindasan. Kondisi ruang kerja dan kecilnya gaji yang diterima tidak sebanding dengan semangat mereka dalam melakukan pekerjaan. Tak ayal, gerakan perlawanan pun ramai-ramai mereka lakukan demi terciptanya sebuah keadilan.
Nahas, aksi yang mereka lakukan tidak berjalan mulus sesuai apa yang diperkirakan. Aparat keamanan yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi bumerang bagi mereka. Serangan represif pun bertubi-tubi menyambut ratusan buruh perempuan yang sedang asyik menggelar demonstrasi. Hal inilah yang kemudian memicu serangkaian gerakan perempuan di tengah gelombang ekspansi ekonomi di berbagai belahan dunia.
Berbagai gerakan yang muncul tersebut ternyata menyisakan sebuah sejarah megah. Sebagian buruh imigran perempuan, tak terkecuali Indonesia terpaksa harus meregang nyawa akibat kerasnya jalan perekonomian suatu bangsa.
Awal tahun 2018 lalu, seorang buruh perempuan asal Nusa Tenggara Timur harus merelakan satu-satunya nyawa yang ia punya. Adelina Sau harus tewas setelah disiksa secara brutal oleh majikannya di Malaysia (Kompas.com, 10/2/18).
Adelia Sau bukanlah satu-satunya imigran perempuan Indonesia yang harus bernasib tragis di negeri orang. Data dari Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) menyuguhkan pemandangan yang amat mengerikan. Betapa tidak, 35 imigran asal Indonesia harus meninggal dalam periode Januari-Mei 2018. Mirisnya, 34 imigran tersebut tak bernyawa di tangan majikannya di Malaysia dan satunya di Afrika Selatan.
Jika sudah demikian, mengapa tidak kita hentikan saja pengiriman TKW ke luar negeri? Atau masih mau menunggu korban keganasan kapitalisme selanjutnya?
Kapitalisme membunuh feminisme?
Kapitalisme itu tidak hanya menimbulkan ketidakadilan (khususnya dalam ranah ekonomi), tetapi sistem tersebut juga dapat merenggut hakikat kemanusiaan yang seharusnya dijaga satu sama lain. Begitulah kata Karl Max tentang kritiknya terhadap kapitalisme.
Adanya ketiadakadilan dalam sistem kapitalisme tersebut terjadi karena kapitalisme lebih mendewakan produksi yang memungkinkan laki-laki untuk berpartisipasi ke dalamnya. Sementara, perempuan sendiri direduksi menjadi kekuatan prokreasi.
Jika berkaca pada kasus di atas, agaknya benar apa yang dikatakan oleh Karl Max. Kaum pemilk modal mempunyai kuasa di atas segala dan bersikap semena-mena terhadap kaum buruh perempuan.
Bentuk kesewenangan itu terlihat ketika kaum pemilik modal secara tegas membangun sebuah segregasi terhadap buruh perempuan. Tak ayal, kesetaraan upah pun menjadi dalih kaum Borjuis (baca: pemilik modal) kala itu.
Memang, menjadi pemilik modal seperti halnya menjadi seorang penguasa. Ya, dengan uang yang berlimpah, mereka bisa melakukan sesuatu sesuai keinginannya. Penindasan dan perampasan kebebasan adalah bukti nyata dari bentuk manipulasi uang. Tak jarang, mereka (baca: buruh) seringkali tiarap dan tak berani melawan kuasa kaum pemilik modal.
Jika sudah demikian, apakah kaum buruh harus selalu ditindas tanpa melakukan perlawanan?
Penulis: Agus Salim Irsyadullah