Agaknya hingga saat ini Indonesia masih kesulitan untuk mengentaskan kemiskinan. Sebagai negara berkembang, salah satu permasalahan yang masih menjadi perhatian hingga saat ini adalah tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Sedangkan, untuk mencapai Indonesia Emas 2045 diperlukan tingkat penduduk miskin yang rendah.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat statistik (BPS) pada tahun 2024 kemiskinan di Indonesia berada pada 9,03 persen atau 25,22 juta orang. Nilai tersebut turun dari tahun 2023 yang berada pada 9,36 persen atau 25,90 juta orang. Bahkan hingga tahun 2021 persentase kemiskinan tetap berada di nilai 9 persen.
Dalam hal ini, jika penduduk miskin tidak berubah maka cita-cita menjadi negara maju akan sulit digapai karena salah satu syarat menjadi negara maju adalah tingkat penduduk miskin yang rendah. Sebagaimana disebutkan dalam artikel ilmiah berjudul Sinergi Indonesia Menuju Negara Maju dalam Prosiding Webinar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan “Strategi Dunia Usaha Menyikapi Status Indonesia Sebagai Negara Maju: Pra dan Pasca Covid-19” bahwa ada lima indikator sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara maju, salah satunya adalah jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin dijadikan indikator dengan menilai tinggi rendahnya jumlah penduduk miskin, jika jumlah penduduk miskin rendah maka dapat dikatakan rakyatnya sejahtera dan juga sebaliknya.
Teori kemiskinan
Dalam tipologi kemiskinan disebutkan ada empat bentuk kemiskinan, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural. Keempat bentuk tersebut mengklasifikasikan sebab akibat kemiskinan, seperti halnya kemiskinan absolut sebagai sebuah kemiskinan yang bahkan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri. Kemiskinan relatif dikatakan sebagai sebuah kemiskinan di mana pendapatannya di bawah rata-rata sebuah wilayah, maka dirinya relatif dapat dikatakan berkecukupan ketika berada di wilayah yang pendapatan rata-ratanya lebih kecil dari pendapatannya sendiri.
Lalu, ada kemiskinan struktural yang terjadi akibat ada ketimpangan struktur dan tidak terimplementasikannya kebijakan pemerintah dengan baik sehingga sulitnya akses terhadap sumber pendapatan. Kemudian, ada kemiskinan kultural yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya masyarakat yang mengakibatkan kemiskinan itu sendiri.
Menilik fenomena yang terjadi akhir-akhir ini jika dihubungkan dengan tipologi kemiskinan, beberapa kelompok masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai miskin yang diakibatkan oleh nilai budaya mereka sendiri. Artikel ilmiah yang berjudul Culture of Poverty dalam Internasional Encylopedia of the Social and Behavioral Sciences tahun 2001, menyebutkan kemiskinan kultural pertama kali disebutkan oleh Oscar Lewis pada tahun 1960-an.
Dirinya merupakan seorang Antropolog Amerika Serikat yang terkenal akan teori kemiskinan kulturalnya. Dirinya menganggap bahwa masyarakat yang mengalami kemiskinan akan menyesuaikan dengan budaya yang ada, tercerminkan dari sifat putus asa, ketergantungan, dan ketidakberdayaan.
Budaya dalam kemiskinan kultural merujuk pada tingkah laku buruk yang secara terus menerus dilakukan hingga akhirnya menjadi sebuah kebudayaan itu sendiri. Perilaku malas, tidak memiliki etos kerja, tidak ada keinginan untuk merubah nasib menjadi salah satu dari banyaknya faktor yang menyebabkan kemiskinan kultural. Ditegaskan juga oleh Oscar Lewis bahwa jika kemiskinan kultural muncul maka cenderung akan terus terjadi ke generasi-generasi selanjutnya, seperti halnya anak dari perkampungan kumuh dengan usia 6 atau 7 tahun cenderung akan menerima nilai dan sikap dari kebudayaan perkampungan kumuh. Jika, dirinya tidak didukung akan pemikiran-pemikiran untuk merubah hidupnya menjadi lebih baik, maka anak tersebut akan menjadi penerus dari kemiskinan kultural tersebut.
Doktrin agama
Selain dari perilakunya sendiri, penyebab lain dari kemiskinan kultural adalah cara pandang yang salah terhadap agama. Di mana adanya pemahaman yang salah terkait dengan takdir tuhan. Konsep tersebut disalah pahami oleh masyarakat bahwa kemiskinan yang dirasakan saat ini adalah bagian dari takdir tuhan, maka sudah sepatutnya untuk diterima. Dari pemikiran tersebut maka akan muncul rasa malas dan tidak ada keinginan untuk merubah nasib karena sedari awal menganggap kemiskinan tersebut sebagai sebuah karunia. Konsep tersebut disalahpahami oleh masyarakat dengan berlindung di kalimat “tuhan telah menakdirkan kemiskinan kepada kita”.
Padahal dengan memiliki harta yang cukup maka seseorang akan dapat terhindar dari kejahatan dan tentu lebih mudah dalam melakukan apa yang diperintahkan oleh Tuhan. Seperti halnya dalam Islam, dengan harta yang berkecukupan, seseorang akan lebih mudah untuk bersedekah ataupun menunaikan ibadah haji di Mekkah. Sebaliknya, jika berada di dalam kemiskinan maka ibadah-ibadah tersebut akan sulit dilakukan.
Perlu adanya pergeseran paradigma oleh para alim ulama ketika memberikan ceramah kepada masyarakat. Seharusnya masyarakat di “paksa” untuk berkerja keras dan selalu mengingatkan bahwa dengan berkecukupan akan memberikan ketenangan dan menghindarkan diri dari tindak kejahatan. Bukan sebaliknya, masyarakat dijejalkan dengan wejangan keharusan untuk rendah hati, tetap bersyukur, ataupun dalam konteks lebih parah mengatakan “jangan kaya nanti lama hisabnya di akhirat”.
Menurut Akademisi STIE Mujahidin Tolitoli, Rahman Alatas dalam RRI.com mengatakan bahwa ada sebab akibat antara permasalahan ekonomi dan tindak pidana konvensional, seperti pencurian, penipuan, dan perjudian. Di mana jika seseorang tidak memiliki penghasilan, secara sadar dirinya akan mencoba melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, salah satunya adalah dengan melakukan pencurian.
Pandangan yang salah terhadap agama inilah yang kemudian dapat menjadi salah satu penyebab kemiskinan. Dalam hal ini, agama tidak menjadi subjek yang disalahkan, tetapi penganut agama tersebut yang salah memandang ajaran agama itu sendiri. Mentalitas dan kesadaran hidup yang rendah juga mengakibatkan kemiskinan kultural sulit untuk dipotong perpindahan generasinya. Suka berfoya-foya, tidak memiliki etos kerja yang tinggi, dan malas mengakibatkan seseorang memilih menggunakan uangnya untuk berjudi dengan harap akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, walaupun resikonya jauh lebih besar.
Kesimpulan Lewis terhadap budaya yang menjadi penyebab kemiskinan masih dapat diperdebatkan karena pada dasarnya permasalahan kemiskinan sangatlah kompleks. Beberapa tokoh lain juga mengkritik pemikiran kemiskinan kultural Oscar Lewis, salah satunya adalah William Ryan yang mengkritik bahwa Lewis terlalu menyalahkan individu atau kelompok terhadap kondisi miskin mereka. Padahal menurutnya kemiskinan lebih disebabkan karena struktural, seperti kebijakan ekonomi dan ketidaksetaraan akses kepada sumber daya.
Begitu juga disebutkan dalam artikel yang berjudul Konsep Kemiskinan Kultural dalam Jurnal Alhadharah tahun 2017 menyebutkan Herbert Gans seorang Sosiolog Amerika Serikat yang juga mengkritik Lewis bahwa individu atau kelompok miskin tidak disebabkan sepenuhnya oleh faktor kebudayaan saja, tetapi karena adanya faktor situasi yang menekan. Menurutnya latar belakang setiap individu atau kelompok miskin berbeda, sebagian miskin karena mendapatkan warisan kemiskinan dari generasi sebelumnya, tetapi sebagian lain miskin karena periode tertentu.
Solusi yang komprehensif untuk menangani kemiskinan kultural, pendidikan yang intensif dan menyeluruh dapat menjadi solusi utamanya. Hal tersebut untuk memberikan edukasi dan memutus perilaku buruk yang diwariskan dari generasi sebelumnya yang nantinya akan membudaya. William Ryan yang menyebutkan bahwa kemiskinan bukan diakibatkan dari budaya memberikan solusi untuk mengatasi segala diskriminasi, bagi ras, gender ataupun kelas untuk secara adil mendapatkan akses ke sumber daya, meningkatkan program kesejahteraan sosial karena menurutnya struktural yang menajdi penyebab kemiskinan.
Penulis: Gojali