
Tak lari dikejar. Tak melawan dipukuli. Tak bersenjata ditembaki. Itulah sikap militer di lapangan ketika menghadapi mahasiswa yang melakukan aksi.
Tengok saja “tragedi Trisakti”, 12 Mei lalu. Empat mahasiswa tewas diterjang peluru yang dimuntahkan oleh militer secara membabi buta. Atraksi kegagahan militer juga didemonstrasikan saat menghadapi gelombang demonstrasi sepanjang Februari-Mei lalu. Dengan gas air mata, pentungan dun tusukan belati, militer (waktu itu) melumuri tangannya dengan darah mahasiswa yang sedang aksi.
Di Sulawesi Selatan, seorang mahasiswa mati ditembak militer, ketika demonstrasi menentang “kewajiban memakai helm” pada tahun 1988. Masih di wilayah yang sama, kita juga diingatkan tentang tragedi “Makassar berdarah”, April 1996, dimana mahasiswa didrel begitu saja oleh militer, hingga menyebabkan tiga mahasiswa tewas hanya karena tidak sependapat dengan SK Wali kota Ujungpandang tentang kenaikan tarif angkutan umum. Peristiwa tersebut jaga telah merendahkan otonomi kampus.
Belum lagi kekerasan-kekerasan berdarah yang dialami para demonstran dalam kasus-kasus yang bersinggungan dengan kekuasaan, misalnya kasus Malari, Dema, Marsinah, Kedung Ombo, Golput, PRD serta lainnya.
Dan masih banyak lagi tragedi berdarah akibat kekejaman militer kepada kaum intelektual, baik di dalam maupun di luar kampus. Tragedi yang sekaligus menambah daftar kelam kejahatan politik Orde Baru yang menang selalu diwarnai dengan darah dan nyawa dalam memaksakan kebijakannya.
Jika ditelusuri, kekerasan dan pembunuhan terhadap intelektual muda (baca: mahasiswa) selama Orde Baru, bukan hanya terjadi pada peristiwa di atas saja, masih banyak lagi kasus serupa yang bisa diselidiki. Bahkan Orde Baru sendiri, meminjam istilah Dr. George Aditjondro; dibangun di atas mayat seorang mahasiswa UI, Arief Rachman Hakim.
Alat Politik
Menurut pengamat militer, Salim Said, seringnya kekerasan fisik yang dilakukan ABRI, karena di masa Orde Baru ABRI sudah menjadi alat politik penguasa. Dalam analisa Aditjondro, militer telah berkembang menjadi alat dari partai yang memerintah, bukan lagi anak kandung rakyat. Partai yang memerintah itu sendiri telah menyempit menjadi alat pelestari kekuasaan suatu oligarki, yaitu persekongkolan segelintir keluarga yang menguasai seluruh ekonomi Indonesia.
Militer, demikian Aditjondro mengalami metamorfosa dari suatu perang gerilya menjadi pendudukan di daerah-daerah yang jadi potensi gerakan separatis Di era Orde Baru ada yang tidak ditolerir ABRI yaitu: sikap anti pancasila dan UUD 45, menghina presiden, dan merongrong pemerintah, baik makar maupun separatisme. Galibnya, semua itu hanya didasarkan pada interpretasi pihak ABRI saja.
Dalam prakteknya memang, kata ZA Maulani, pengamat militer, semua perlawanan di era Orde Baru selalu diselesaikan dengan peluru.
Misalnya dalam meredam gerakan separatisme di Aceh, Timor Timur dan Irian Jaya, militer tidak segan-segan menumpahkan darah, sehingga tak terbilang rakyat yang jadi korban kebejatan militer, baik yang diperkosa, dibunuh maupun dikubur hidup-hidup (lihat kasus Aceh), Padahal, kata Salim Said, yang terjadi di sana sekedar ketidakpuasan terhadap pemerintah yang tidak bisa mendistribusikan hasil ekonomi secara merata di daerah Pengerahan militer yang berlebihan di tiga wilayah tersebut justru membuat rakyat marah.
Hal yang sama diterapkan terhadap mahasiswa, dinamika mahasiswa dalam lingkungan sosialnya selalu ditangkap dari dimensi doktrinal di atas, sehingga ABRI menilai demonstrasi yang dilakukan akan mengganggu pemerintahan dan merongrong pemerintah. Maka seperti biasanya, ABRI menghadapi mahasiswa sebagal musuh, sehingga harus dihadapi dengan kekuatan senjata.
Dengan begitu, seolah ABRI ingin mengatakan bahwa dalam situasi tertentu masuh ABRI adalah mahasiswa. Realitasnya, dimana ada komunitas aksi yang melibatkan mahasiswa, selalu diawasi, dicurigai dan setiap saat siap menyergap aktivis mahasiswa dengan tindakan koersif.
Era Reformasi
Ketika harapan banyak ditambatkan pada pemerintahan transisi, lalu bagaimana dengan pola represivitas militer terhadap mahasiswa, adakah perabahan dibanding dengan Orde Baru?
Tampaknya masyarakat tidak banyak melihat perbedaan yang berarti antara Habibie dengan Soeharto, guru besarnya. Pasalnya, pola represivitas ala Soeharto terhadap aksi demonstrasi, masih dipakai Habibie. Yaitu pola kekerasan aparat untuk meredam kritik terhadap penguasa termasuk kritik yang dilakukan mahasiswa melalui demonstrasi.
Sebagaimana diketahui, sampai kini aksi demonstrasi menolak Habibie masih marak dilakukan mahasiswa, sehingga Habibie pun kian merasa terusik kedudukannya.
Akhimya, belum lama ini Habibie menginstruksikan kepeda ABRI untuk menindak tegas para demonstran. Terhadap jajaran perwira tinggi ABRI, ia megatakan bahwa aksi unjuk rasa akhir-akhir ini cenderung agitatif dan provokatif.
Bukan hanya itu, upaya memulai represivitas juga dibawa ke sidang kabinet bidang Polkam. Hasilnya, Menkeh Muladi, manakut-nakuti dengan ancaman pasal makar bagi lawan-lawan politiknya, serta upaya pemberlakuan Perpu nomor 2/1998 yang akhirnya dicabut kembali karena ditentang rakyat. Jurus selanjutnya adalah pemberian cap komunis kepada aksi mahasiswa, sebagaimana yang dikatakan Menhankam Pengab Wiranto Korban perdananya adalah Forkot (Forum Kota) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).
Sementara itu, mesti sudah era reformasi, pada saat berhadapan dengan ABRI, mahasiswa sering merasa kehilangan hak kebebasan untuk bersuara. Dalam menghadapi aksi, ABRI hanya menggunakan pendekatan keamanan, yakni hanya menuntut mahasiswa segera bubar, tanpa memberi hak bicara.
Memang benar yang dikatakan Bennedick Anderson, bahwa demokrasi susah ditegakkan dalam institusi militer. Hal ini disebabkan dalam tradisi militer hanya mengenal satu garis komando yang harus segera diselesaikan.
Penulis: Frin Encus
Tulisan pernah diterbitkan di Tabloid Amanat Edisi ke-75