Mereka berpeci. Bajunya religius. Rajin menjalankan syariat agama dan suka menolong orang lain tanpa pamrih. Dihadapan orang banyak, mereka menyebutnya sebagai orang saleh.
Tampilan penuh religius itu benar-benar terpancar dalam diri mereka. Sayangnya, semua itu hanya drama—meminjam istilah Baudrillard—simulacra. Mereka memandang rendah orang-orang yang berbeda identitas dengannya. Bahkan—jika mungkin—mereka tak segan-segan menindas.
Peristiwa pembantaian di Sigi tempo hari adalah bukti nyata kekejian dan kebiadaban mereka. Tak ada belas kasihan. Sesosok Iblis telah merubah wajah ’suci’ mereka menjadi keji dan beringas. Seolah, baju religius mereka hanya berfungsi sebagai pelindung dari darah orang-orang tak bersalah.
Inilah kejahatan orang saleh. Menggunakan wajah agama demi suatu kepuasan bersama. Bahkan, hidup beragama tak lagi dibarengi dengan peningkatan kepekaan terhadap alam dan orang lain.
Entah mengapa, orang-orang saleh—seperti di atas—seringkali menjadikan agama sebagai topeng dalam berperilaku. Agama tidak lagi dijadikan sebagai penuntun kebenaran. Agama berubah menjadi sebuah cita-cita mewujudkan kehidupan beragama sesuai kehendaknya, bahkan dengan jalan menghalalkan kekerasan pun.
Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah, apakah orang semacam ini layak mendapat predikat saleh, seperti yang mereka agung-agungkan?
Ketika penulis merujuk pada Alquran dan hadits nabi tentang orang saleh, tidak ada satu term pun yang menyebutkan karakteristik orang saleh seperti di atas. Dalam surat Ali-Imran ayat 113-114 dan Al-Ankabut ayat 9 misalnya, karakteristik orang saleh adalah orang yang senatiasa membaca Alquran di waktu malam, melaksanakan shalat malam (tahajjud), beriman dan beramal shalih, menyuruh kepada kebaikan, mencegah perbuatan mungkar dan bersegera mengerjakan kebajikan.
Ini sah-sah saja jika mereka menyebut diri mereka adalah orang saleh mengingat, dunia di abad 21 telah berubah haluan menuju zaman kejahatan. Sebuah zaman di mana hanya ada kejahatan yang bahkan (bisa saja) bersembunyi dan mengintai di balik sebuah kebaikan.
Di abad ini pula, setan tidak lagi bertanduk dan bertaring, melainkan menggunakan dandanan religius, dan pandai berbicara soal kesalehan. Mereka berdoa dengan keras dan menggemakan takbir di seluruh pelosok negeri. Seolah, mereka adalah sang juru selamat di tengah kekalutan zaman.
Pemikir Jerman, Hannah Arendt, menyebut ini sebagai banalitas dari kejahatan (Banalität des Bösen). Kurangnya kepekaan, dan tajamnya kebiasaan yang dibangun lama, membuat kemunafikan menjadi hal biasa. Di negara demokrasi seperti Indonesia, kemunafikan menjadi hal lumrah yang dipertontonkan di depan orang banyak. Bahkan, agar terlihat saleh dan suci, fenomena ini seringkali dibalut dalam upacara keagamaan.
Dari sini, penulis jadi teringat dengan Umberto Uco, filsuf kebangsaan Italia yang menyebut jika kejahatan itu bisa datang dari orang-orang saleh.
Sekarang, setelah Nabi Muhammad meninggalkan kita, dunia seakan kembali berada dalam kegelapan. Tidak peduli dari kalangan beragama mana pun, manusia berlomba-lomba menjadi sang juru selamat.
Penulis: Agus