Apa itu Cinta? Pengertiannya selalu bias. Sesuatu yang tak akan pernah selesai. Suatu keadaan di mana perdebatan panjang antara perasaan dan logika bertempur begitu sengit. Tentu, orang yang tuna asmara seperti Saya tidak akan mampu menjelaskan secara rinci, alih-alih mendalam. Tetapi orang pada umumnya selalu meletakkan cinta di atas semua alasan untuk melakukan hal-hal yang terkadang tak masuk akal dan cenderung konyol.
Saya menduga, barangkali cinta adalah sesuatu yang membuat individu merasa bahagia, tetapi bagaimana dengan orang yang terluka dengan alasan yang sama? Bukankah cinta seringkali membikin bahagia dan terluka pada waktu yang sama? Baiklah, mari saya lanjutkan.
Jujur, cinta memang rumit bagi Saya. Kadangkala cinta menyuguhkan semangat hidup yang menyala-nyala tapi di sisi yang lain bisa seketika meredupkan atau bahkan mematahkan semangat hidup. Bagi Saya sendiri, cinta seperti anak kecil yang nakal, yang selalu berhasil melarikan diri dari semua orang tua. Kita tidak bisa untuk sekedar menebak-nebak bagaimana seseorang bisa jatuh cinta. Orang Sains boleh saja menjelaskan bahwa cinta merupakan reaksi biologis ketika tubuh mengeluarkan zat endorphine guna memicu benih cinta turun dari mata menuju ke hati. Tapi Saya tak peduli dengan penjelasan seperti itu.
Pada sebuah angkringan tempat kami biasa berkumpul dan memesan kopi, selalu terjadi diskusi-diskusi ringan. Satu-satu berdatangan, pola diskusi yang dibangun beragam dan selalu berbeda. Dari filsafat, politik, budaya, agama, bahkan sampai hal-hal yang paling pribadi. Seperti cerita sederhana setelah bertemu kekasih masing-masing misalkan, atau membicarakan seorang teman yang selalu dipatahkan oleh cinta. Lantas apa yang tersisa? Hanya rasa perih yang beranak-pinak hingga ke dasar hati. Semuanya kembali menjadi sebuah dinding tinggi bernama kesepian.
Ketika itu datang seorang teman mahasiswa, lucu ketika diingat sekarang, bagaimana sebuah angkringan menjadi tempat peraduan mahasiswa-mahasiswa muda yang diperdaya cinta. Ia bercerita jika cinta yang dialaminya selalu tentang kepedihan yang tak kunjung usai. Perjalanan panjang yang tak pernah menemui batas tujuan dan melulu berakhir dengan kekecewaan. Saat itu saya hanya berpikir, mengapa atas nama cinta seseorang rela terluka, dan memaafkan penyebab lukanya atas nama cinta pula? Dua peristiwa yang diselesaikan dengan satu alasan: Cinta! Biarpun begitu, Saya tidak menyarankan teman Saya agar memilih tindakan paling dramatis dalam dunia percintaan: bunuh diri.
Tapi tenang! Saya tak ingin berbagi kisah menye-menye teman Saya di sini. Saya akan mempertegas bagaimana cinta seringkali mempengaruhi kita dalam bersikap, bertindak dan seringkali membawa kita menuju ke arah kehancuran. Lalu bagaimana seharusnya mencintai itu?
Sekali lagi, mencintai bukanlah perkara sederhana. Selalu ada bahaya-bahaya yang lain yang siap mematahkan. Boleh dibilang, rasa cinta bisa disembunyikan, tapi cinta tidak bisa dibungkam.
Setiap orang berhak menafsirkan sekaligus mendefinisikan model cinta jenis apa yang ia pahami. Mereka sah-sah saja bertanya apakah yang sedang mereka alami benar-benar cinta atau hanya sekadar nafsu? Karena mungkin, para pecinta pun tak tahu perasaan apa yang sedang ia alami.
Cinta hanya bisa dipersembahkan
Saya menyadari, bila peristiwa jatuh cinta ternyata membawa pada perasaan ingin memiliki satu sama lain. Sayangnya, jatuh cinta seringkali meletakkan pada satu kondisi dimana seseorang terkadang gampang terlena dan mudah terbuai, seperti tak ada wajah lain selain wajah kekasih. Apapun yang bersumber dan berasal dari orang yang dicintainya selalu tampak mengagumkan, nyaris tanpa kekurangan. Seandainya ada masalah yang datang dari orang yang dicintainya, ia akan menganggap sebagai “ujian cinta” yang membuat jiwanya semakin yakin atas pilihannya.
Konsekuensinya adalah cinta dianggap tidak ada jika balasan dari objek yang dicintainya tak kunjung bersambut. Kita seakan lupa, bila yang sering kita jumpai dalam kehidupan ini adalah cinta tak berbalas. “Karena cinta ternyata tak dapat dituntut, ia hanya bisa dipersembahkan,” demikian kata penyair Ahmad kekal hamdani dalam sebuah tulisannya, kiblat kebahagiaan. Apakah cinta seorang manusia pada manusia lainnya, bisakah ia diminta? Tidak, namun ia sangat bisa kita persembahkan. Jadi, tak peduli apapun, engkau cinta atau tidak, yang penting bagiku adalah “aku mencintaimu”, aku akan senantiasa merawat persembahan-persembahanku padamu.
Sebab itulah penulis menyampaikan lebih dulu di awal, mencintai bukan persoalan yang sederhana. Betapa banyaknya orang yang mengira kalau mencintai hanya sebatas persoalan mencari dan mendapatkan objek yang menarik untuk dimiliki, bukan sebagai upaya lain untuk memahami, menerima dan berbagi. Dalam artian, kemampuan untuk memahami, menerima dan berbagi sebagai perwujudan persembahan suci bahwa persoalan mencintai tidak terletak pada keinginan untuk memiliki dan dicintai, melainkan sebuah wujud agung dari persembahan cinta pada sesama manusia.
Karena sejatinya, dalam tindakan memberi (persembahan) tersimpan suatu makna yang konkret sebagai rasa saling berterima kasih. Manusia harus mampu membebaskan diri dari penjara keinginannya sendiri dengan cara memberi, bukan dengan harapan untuk selalu menerima. Dalam cinta, memberi dapat menyelamatkan manusia dari kesadaran akan keterpisahan. Menyelamatkan dari kemungkinan-kemungkinan terburuk jika cintamu bertepuk sebelah tangan.
Demikianlah cinta yang diliputi dengan persembahan-persembahan agung menjelaskan, mengapa laki-laki yang menguasai cara-cara sederhana mengangkat harga diri seorang perempuan dan menyenangkan suasana hatinya, bisa memperoleh kasih sayang yang tulus dari perempuan meskipun secara fisik laki-laki itu tidak terlalu tampan. Tapi mampu membuat senyum perempuan pecah, dan itulah satu-satunya senjata paling mematikan sejagad raya yang dimiliki oleh perempuan.
Dinding-dinding cinta yang rapuh
“Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kau lemparkan sembarangan seperti sebutir batu.”
Puisi di atas adalah mutiara-mutiara kearifan atau bait-bait cinta gubahan Jalaluddin Rumi. Bagi penulis, Rumi bukan sekedar simbol dari cinta. Melainkan Dialah cinta itu sendiri, cinta yang senantiasa membasahi jiwa-jiwa yang gersang dan alpa akan cinta.
Cinta erat hubungannya dengan rasa ingin memiliki, yang ujung-ujungnya diisi dengan rasa ketakutan akan sepi. Banyaknya manusia-manusia yang takut akan kesepian, tak terkecuali penulis (hihi), membawa alam bawah sadar pada pemahaman bahwa cinta harus memiliki. Dalam konteks inilah petikan puisi cinta Rumi sebagaimana terekam di atas, sangat menarik diselami lalu direnungkan. Ketika orang-orang begitu mudahnya menawarkan hidangan anggur cinta kepada setiap lawan jenisnya. Tanpa berpikir secara jernih, apakah itu benar-benar cinta atau hanya sekedar nafsu belaka? Cinta yang hanya sebatas permukaan, cantik atau tampan.
Ada pertanyaan penting ketika dihadapkan pada pokok pembahasan dari cinta: Kenapa orang-orang selalu menetapkan standar-standar tertentu dalam menghadapi proses untuk mencinta? Semisal dia seorang laki-laki, maka akan mencari perempuan berwajah cantik, betubuh langsing, berambut panjang dan seterusnya. Begitupun sebaliknya, jika perempuan dia akan menetapkan kriteria-kriteria tertentu. Pernahkah kita bertanya kenapa bisa demikian? Karena cinta tidak terjadi secara spontan atau tiba-tiba. Saya mencintaimu karena ini, kamu mencintai dia karena itu, dia mencintai kekasihnya karena….
Nah! Fondasi cinta yang seperti itulah yang, menurut penulis merupakan dinding-dinding cinta yang rapuh dan mudah runtuh. Jika diandaikan dua orang yang mulanya tidak saling kenal satu sama lain, kemudian bertemu dan bersepakat membangun dinding kebersamaan. Setelah dinding kepercayaan itu mereka bangun dengan susah payah, mereka mulai merasa saling memiliki, merasa satu, dan seolah-olah peristiwa itu adalah pengalaman yang paling mengembirakan dan memesona dalam hidupnya. Padahal semua itu hanyalah tipu muslihat, ketika keduanya telah merasa benar-benar begitu dekat, keintiman yang awalnya dirasa memesona dan menyenangkan tersebut mulai memudar dan terasa hambar. Kemudian timbul ledakan-ledakan kecil, pertentangan, atau perbedaan yang sebenarnya sepele. Rasa cinta menjadi sirna, rasa senang menjadi kecewa. Karena Cinta yang dibangun dengan dinding yang rapuh, sangat rentan dan mudah sekali hancur.
Begitu menggemaskannya jatuh cinta yang semula sangat menyenangkan itu kemudian membawa berbagai hal yang sangat meruwetkan. Harus siap tak dicintai lagi atau menjalani hubungan yang tidak sehat, penuh dengan kesedihan, harus siap melupakan sedangkan yang dicintainya sibuk memupuk cinta dengan yang lain.
Jadi keisimpulannya adalah, mencintai bukan persoalan memiliki dan tidak memiliki, melainkan sebuah kemampuan menangkap cinta sebagai bentuk kegiatan yang melibatkan jiwa. Jika seandainya kau benar-benar mencintai seseorang, maka kau harus siap mencintai semua orang, mencintai dunia ini, dan mencintai kehidupan. Tapi apa iya kita bisa melakukannya? Kalau penulis sih gak butuh cinta, mau fokus Njomblo dulu. Hehe
Penulis: Hasan Tarowan
Pembaca yang tidak pernah selesai