
Umroh dan haji adalah dua ibadah yang diinginkan dan diimpi-impikan oleh seluruh umat Islam. Namun, persiapan untuk melakukan kedua ibadah tersebut tidak lah semudah yang dipikirkan. Seseorang harus mampu secara fisik maupun finansial, visa, paspor, dan beberapa biaya lain yang tidak sedikit juga perlu disiapkan.
Baru-baru ini, pengguna media sosial, seperti Instagram dan Tiktok dibuat heran dengan aksi beberapa orang yang hendak melakukan perjalanan ke Mekkah dengan menggunakan sepeda, perahu rakit, bahkan ada yang berjalan kaki.
Seperti yang dilakukan seorang warga berusia 60 tahun bernama Katori yang menggunakan sepeda ontel dari Indramayu. Dilansir dari akun Tiktok @Detik.com, Kasi Penyelenggara Haji dan Umroh (PHU) Kemenag Indramayu, Effendy mengatakan tidak mengetahui persiapan yang telah dilakukan Katori. Padahal, seseorang yang hendak melakukan ibadah haji harus mengurus beberapa surat dan terdaftar sebagai jemaah haji Indonesia.
Aksi lain dari akun @Abahkholily1, dua pemuda asal Banyuwangi yang melakukan perjalanan ke Mekkah menggunakan perahu rakit seadanya dari kayu dan galon bekas. Selain itu ada juga dua warga Madura yang melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Mereka sering melakukan live di Tiktok dan menceritakan perjalanannya. Di video postingannya, terlihat mereka beberapa kali berhenti untuk beristirahat. Bahkan ada video yang menunjukkan, mereka diberi uang dari penduduk yang disinggahi ketika beristirahat.
Namun, ada juga beberapa aksi yang berhasil dilakukan, seperti dari akun @hendycs17 dan @danii_mhd06. Keduanya memulai perjalanan dari Indonesia, Selasa (12/11/2024) dan sudah sampai Thailand, Kamis (6/3/2025). Hendi dan Dani secara aktif membagikan video perjalanan mereka dan sering melakukan live. Dari live tersebut, tak jarang mereka mendapat gift dari penonton. Hingga beberapa netizen berkomentar bahwa aksi tersebut dilakukan hanya untuk mendapatkan gift atau uang semata.
Fenomena pergi ke Mekkah dengan bermodalkan nekat ini akhirnya memunculkan opini dan merubah persepsi bahwa usaha yang dilakukan untuk beribadah mulai berubah menjadi tren viral demi mencari popularitas. Publikasi berlebihan untuk menarik perhatian masyarakat yang akhirnya sampai mengirimkan gift atau memberi uang saku memunculkan peluang komersialisasi agama. Dalam hal ini, komersialisasi agama mengacu ke arah negatif karena memanfaatkan kekuatan sosial masyarakat dengan dasar agama hanya untuk keuntungan pribadi.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Prof. Dr. Bagong Suyanto menyoroti bahwa dalam beberapa kasus tren haji jalan kaki hanya untuk mencari simpati masyarakat yang memicu eksploitasi terhadap donasi.
Muncul pemikiran, apakah ini bentuk solidaritas sosial di tengah masyarakat atau keadaan ekonomi yang terdesak mendorong masyarakat mencari uang dengan memanfaatkan praktik ibadah?
Tren ini dapat dikaitkan dengan salah satu dari 3 jenis otoritas dalam teori Max Weber, yaitu otoritas karismatik karena berlandaskan pada daya tarik atau pengaruh emosional seseorang terhadap masyarakat. Pengaruh mereka di platform, seperti TikTok menunjukkan bagaimana otoritas karismatik dapat menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi, baik dalam bentuk dukungan moral maupun material.
Teori Max Weber mengenai tindakan tradisional yang dilakukan karena kebiasaan dari generasi ke generasi dapat dilihat dari banyaknya pemberitaan mengenai keberhasilan perjalanan ke tanah suci dengan tujuan yang sama dari beberapa tahun ke belakang. Salah satunya berita seorang warga Banyuwangi, Sayudi Prastopo yang berhasil tiba di Madinah menggunakan sepeda. Ia menempuh perjalanan selama hampir 8 bulan, tepat pada Selasa (7/5/2024) ia sampai di Madinah. Namun, ia tak bisa menunaikan ibadah haji karena visa yang dimiliki adalah visa turis bukan visa haji.
Eksklusifitas Ibadah
Ibadah haji atau umroh menjadi salah satu ibadah yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk menjalaninya. Dalam sidang yang dilakukan oleh Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Abdul Wachid menyepakati biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sekitar 55 juta rupiah. Selain biaya, waktu yang dibutuhkan seseorang ketika telah mendaftar ibadah haji tidaklah sebentar. Bagi haji regular, seseorang bahkan harus menunggu waktu puluhan tahun untuk mendapatkan gilirannya. Dua hal ini membuat ibadah haji ke Kota Mekkah menjadi begitu eksklusif.
Keeksklusifan ini dapat menjadi salah satu faktor munculnya fenomena masyarakat Indonesia yang pergi ke Mekkah bermodalkan jalan kaki ataupun dengan cara ekstrim lainnya. Bagi masyarakat menengah ke bawah, ibadah haji menjadi sesuatu yang terus sulit untuk digapai. Sehingga keinginan yang luar biasa untuk melakukan ibadah haji ke Mekkah tidak dapat dibarengi dengan biaya yang mencukupi.
Kapitalisasi ibadah haji menjadi bukti dan menambah kejelasan adanya ketimpangan ekonomi di masyarakat menengah ke bawah karena semakin sulitnya untuk melakukan ibadah haji bagi mereka. Menunaikan haji atau umroh benar-benar harus memiliki persiapan yang matang. Rukun Islam kelima ini sudah menyatakan bahwa “naik haji bagi yang mampu”, kata “mampu” di sini berarti seseorang harus benar-benar mampu atau sanggup untuk melakukan ibadah haji dengan dirinya sendiri, jika ada kebutuhan yang lebih mendesak, seperti keluarga yang kelaparan, utang yang menumpuk, maka tidak berkewajiban untuk melaksanakan ibadah haji.
Penting untuk diingat bahwa ibadah haji bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga kesiapan mental, spiritual, dan finansial. Jika dorongan utama lebih mengarah pada tren viral atau keuntungan pribadi, maka makna ibadah itu sendiri bisa bergeser.
Pada akhirnya, perjalanan ke Tanah Suci seharusnya dilakukan dengan niat yang tulus dan persiapan yang matang, bergeser menjadi sebuah konten atau ajang pencarian popularitas. Masyarakat perlu lebih kritis dalam melihat fenomena haji jalan kaki apakah benar-benar murni untuk ibadah atau sekadar strategi konten untuk mendapatkan popularitas dan keuntungan pribadi.
Penulis: Nailatul Fitroh