
Saat ini budaya konsumerisme banyak dipengaruhi oleh algoritma media sosial yang seolah menjadi pegangan utama masyarakat dalam menentukan gaya hidup maupun kehidupan sehari-hari. Berbagai iklan produk, endorsement selebriti, serta konten viral di media sosial secara efektif membentuk persepsi masyarakat tentang apa yang dianggap penting dan bergengsi. Contoh nyata, iklan produk kecantikan yang menampilkan influencer dengan kulit sempurna dapat mendorong masyarakat untuk membeli produk tersebut dengan ekspektasi dapat mencapai standar kecantikan yang sama atau konten yang menampilkan selebriti memamerkan barang-barang berharga sebagai simbol kesuksesan.
Narasi yang dibangun media sosial adalah bahwa “kehidupan ideal” dapat dicapai melalui konsumsi barang-barang tertentu. Hal lain juga terlihat dari tren fashion yang mana para influencer memengaruhi followers mereka untuk membeli pakaian atau aksesoris tertentu yang tengah populer.
Dampak dari budaya konsumerisme tersebut berujung pada kebiasaan belanja berlebihan yang memengaruhi kemampuan finansial. Sehingga melupakan realita yang mana hal tersebut dapat menyebabkan permasalahan terhadap keuangan, baik itu sifat boros ataupun hutang. Selain itu, tekanan untuk memenuhi standar gaya hidup yang ditampilkan oleh media sosial dapat menimbulkan perasaan tidak puas, rendah diri, maupun membandingkan diri dengan orang lain sehingga memengaruhi kesehatan mental individu yang mengarah pada hal negatif.
Cara Kerja Media Sosial
Media sosial memainkan peran signifikan dalam membangun stigma dan membentuk persepsi masyarakat. Dengan kemampuannya menyebarkan informasi secara cepat dan luas, media sosial memiliki kekuatan untuk menciptakan dan memperkuat stigma terhadap individu, kelompok sosial, ataupun isu tertentu. Konten yang viral, seperti meme, video, atau artikel, dapat memperkuat stereotip atau pandangan dalam masyarakat.
Dengan penggunaan algoritma yang canggih, media sosial dapat menyebarkan pandangan-pandangan tersebut ke khalayak luas sehingga membentuk opini publik. Stigma ini seringkali menciptakan pengaruh negatif terhadap individu atau kelompok yang menjadi sasaran, memengaruhi cara orang lain memperlakukan mereka, serta memengaruhi citra diri dan identitas mereka.
Instagram dan TikTok, dua platform media sosial yang sangat populer, bekerja dengan cara yang unik untuk memengaruhi masyarakat. Algoritma Instagram dan TikTok dirancang untuk menampilkan konten yang paling sesuai dengan minat dan perilaku tiap pengguna. Cara kerjanya adalah dengan menganalisis aktivitas pengguna seperti jenis konten yang disukai, diikuti, atau dibagikan. Konten yang ditampilkan pada feed atau halaman “For You” sangat personal dan dapat memengaruhi cara pengguna berpikir dan berperilaku.
Misalnya, melihat gaya hidup glamor yang dipamerkan oleh influencer di Instagram dapat mendorong pengguna untuk membeli barang-barang mewah yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. TikTok, dengan video pendek yang mudah diakses, dapat menyebarkan tren dan tantangan yang viral, memengaruhi cara berpakaian, berbicara, atau bertindak. Konten yang sering dilihat dapat secara tidak sadar membentuk standar sosial dan budaya baru, sehingga pengguna cenderung meniru apa yang mereka lihat agar merasa diterima dalam komunitas tersebut.
Dalam artikel Journal of Mandalika Literature yang berjudul Media dan Konsumerisme: Studi Kritis Pahlawan Konsumtif dalam Budaya Populer, algoritma media sosial seperti Instagram, Facebook, atau TikTok berperan aktif dalam membentuk narasi dominan baik dalam konteks politik, budaya, maupun ekonomi. Pengguna akan sering disajikan konten yang sesuai dengan preferensi pribadi mereka sehingga meningkatkan efek konfirmasi bias dan memperkokoh pandangan yang sempit. Individu yang sering terpapar oleh narasi konsumtif dari media massa, mulai mengidealkan gaya hidup instan yang diperoleh melalui konsumsi. Media menciptakan figur konsumtif yang mempromosikan prinsip bahwa kesuksesan dan nilai diri seseorang diukur dari apa yang mereka miliki.
Sebagai contoh, iklan seringkali menggambarkan orang yang membeli barang mewah sebagai individu yang sukses, bahagia, dan dihormati. Narasi ini mengakar kuat di masyarakat, yang kemudian merasa bahwa untuk mencapai kebahagiaan, mereka harus terus-menerus mengonsumsi barang-barang baru yang sebenarnya tidak diperlukan.
Bentuk Resistensi
Di tengah maraknya influencer kapitalis yang menggaungkan budaya konsumerisme, muncul juga tren yang berlawanan di tengah-tengah masyarakat: gaya hidup minimalis. Tren di media sosial tersebut berisikan konten dengan bentuk penyadaran bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup berasal dari kesederhanaan. Terlihat dari berbagai konten yang mempromosikan pengurangan kepemilikan barang, memilih kualitas dibanding kuantitas, dan berfokus pada hal yang benar-benar membawa kebahagiaan.
Platform media sosial seperti TikTok, YouTube, dan Instagram menjadi alat penting dalam menyebarkan narasi alternatif. Aktivis, kreator independen, dan merek lokal memanfaatkan platform tersebut untuk menyampaikan pesan antikonsumerisme dan pentingnya kembali ke nilai-nilai manusiawi. Tagar #nobuychallenge atau #sustainableliving yang ramai di sosial media TikTok misalnya, membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak buruk budaya konsumtif, konten decluttering (membersihkan rumah dari barang-barang yang tidak diperlukan), tips memilih pakaian dengan capsule wardrobe (lemari pakaian minimalis), serta pentingnya memprioritaskan hubungan sosial dibanding materi.
Meskipun narasi alternatif mulai ramai digaungkan, mereka masih menghadapi tantangan besar, yakni dominasi media massa dan iklan global. Industri periklanan menghabiskan miliaran dolar setiap tahun untuk mempromosikan produk dan memprioritaskan pendapatan iklan sehingga memperkuat budaya konsumtif. Namun, narasi alternatif memiliki potensi untuk mengubah paradigma konsumsi masyarakat. Dengan meningkatnya kesadaran tentang dampak buruk konsumsi berlebihan, semakin banyak individu yang mulai mempertanyakan narasi kebutuhan palsu yang didorong oleh media sosial.
Penulis: Azkiya Salsa Afiana