Infiltrasi gerakan radikalisme agama anti Pancasila telah marak di dunia kampus. Gerakan mereka yang kerap disebut sebagai kaum jihadis melibatkan mahasiswa sebagai peran utama. Secara kontinyu, mereka masif melakukan doktrin-doktrin agama dengan mengusung ideologi Khilafah Islamiyah.
Ibarat pada dunia pewayangan, di pentas kelompok jihadis mahasiswa menjadi lakon yang dikendalikan sepenuhnya oleh dalang. Setelah kendali berada pada otak sang dalang, wayang-wayang itu kemudian menjadi boneka yang bebas digerakan kemana saja. Bahasa yang lebih dikenal di masyarakat yaitu cuci otak, otak para mahasiswa itu dicuci dan dicekoki oleh paham- paham Islam radikal.
Dalam panggung perpolitikan kelompok jihadis, mahasiswa menjadi agen perubahan untuk mengawal gerakan propaganda mereka. Berbagai informasi seputar Islam, mengenai ibadah, akhlak atau prilaku keseharian mereka siarkan melalui konten- konten menarik. Jargon- jargon itu mereka tunjukan untuk genarasi milenial yang cenderung menyukai komunikasi visual via media sosial. Melalui akun media, anjuran- anjuran didasari tafsiran Al- Quran dan Hadits tekstual mereka publikasikan. Lambat laun, seiring giatnya rutinitas kajian yang diikuti, mahasiswa akan terdoktrin dengan basis ideolgi kelompok mereka.
Jika ditelusuri, gerakan radikalisme agama sarat ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan politis kelompok Islam garis keras. Mereka selalu mencampuradukan agama dengan isu- isu yang berkembang, kaitannya hubungan antara nasionalisme- agama atau budaya- agama. Bagi mereka, mengakui Pancasila sebagai ideologi negara serupa menjadikan simbol burung garuda seperti berhala. Begitupun terhadap kekayaan budaya, mereka mengaggap tradisi yang ada sebagai perbuatan bidah.
Dengan mengusung ideologi Khilafah Islamiyah, mereka yakin konstitusi berdasarkan Syariat Islam akan menghentikan prilaku dzalim pemerintah. Padahal, ideologi dengan mengusung Khilafah Islamiyah di Indonesia justru akan mengancam perpecahan antar umat dan etnis.
Secara historis, ideologi Khilafah Islamiyah awalnya dikenal dengan Pan- Islamisme, sebuah paham politik yang lahir pada saat Perang Dunia II (April 1936). Paham politik yang awalnya mengikuti karya al-a’mal al-Kamillah dari Jamal-al-Din Afghani, kemudian berkembang menjadi gerakan untuk mempersatukan umat Islam di bawah satu negara Islam yang disebut kekhilafahan.
Mendoktrin Mahasiswa
Dilansir dalam laman TEMPO.CO, Budi Gunawan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) saat menjadi pembicara dalam Kongres IV BEM PTNU se-Nusantara 28 April 2018 mengungkapkan, sekitar 39 persen mahasiswa dari jumlah perguruan tinggi telah terpapar paham radikal. Penelitian ini dilakukan oleh BIN pada 2017, pasca penelitian ada 15 provinsi di Indonesia menjadi perhatian BIN sebagai wilayah pergerakan radikalisme agama.
Dari survei yang dilakukan BIN, diperoleh data 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam. Kondisi tersebut mengkhawatirkan, karena telah jelas mengancam keberlangsungan NKRI.
Secara sederhana radikalisme dapat diartikan sebuah pemikiran atau sikap bercirikan empat tanda berikut, yang sekaligus menjadi karakteristiknya. Pertama, sikap intoleransi dan tidak menghargai pendapat serta keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik yang selalu merasa benar dan menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusi membedakan diri dari kebiasaan orang kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner yang cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan (Jurnal Islamuna: 2014).
Ada tiga cara kelompok radikalisme agama dalam menyebarkan doktrin kepada mahasiswa. Pertama, penyebaran paham radikal melalui pertemuan- pertemuan secara langsung. Melalui forum berupa pengajian tertutup dengan jumlah terbatas, akan memaksimalkan pencekokan doktrin serta mencegah terjadinya debat argumen dari orang berpaham agama.
Kedua, mereka memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Melalui publikasi foto dan video ajakan berhijrah atau jihad di beberapa akun media sosial seperti, facebook, twitter, instagram, dan sebagainya, mereka menyebarkan benih- benih radikal disertai hadits untuk meyakinkan masyarakat awam. Ketiga, mereka menyebarkan propaganda di media massa buatan kelompoknya. Isu demi isu mereka sebarkan untuk menarik simpati dan perhatian publik.
Tantangan PT Menangkal Islam Radikal
Pada Agustus 2016, Pernah terjadi sebuah kasus bom bunuh diri di Gereja Katolik Santo Yosef Sumatera Utara. Setelah dilihat identitas KTP pelaku, diketahui serangan itu dilakukan oleh mahasiswa bernama Ivan Armadi Hasugian (18 tahun).
Hal terpenting dari penyebaran radikalisme agama terletak pada proses transfer ideologi. Solusi yang tepat dengan menerapkan metode dari disiplin ilmu komunikasi, karena metode ini melihat ideologi sebagai akar permasalahan. Mengutip ungkapan V. Harnack dan T. Fest, komunikasi menjadi proses interaksi di antara orang untuk mencapai tujuan integrasi intrapersonal dan interpersonal. Dari sudut pandang ilmu komunikasi, ada beberapa unsur yang terlibat dalam transfer ideologi seperti, pengiriman informasi, konten informasi, penerima media dan konteks sosialnya.
Dalam upaya penanganan radikalisme agama di perguruan tinggi, ada lima cara yang dapat dilakukan oleh rektor dan jajaran birokrasinya. Pertama, menetralisir orang- orang yang berpotensi menjadi sender atau yang bertugas merekrut anggota. Kedua, melemahkan ideologi radikal yang mereka coba sebarkan dengan membuat ideologi tandingan yang bersifat moderat. Ketiga, menyebarkan ideologi tandingan tersebut kepada kelompok masyarakat yang rentan menjadi sasaran radikalisme agama. Keempat, melakukan pengawasan media yang menjadi sarana penyebaran paham radikalisme agama. kelima, memahami konteks sosial dan budaya yang ada di setiap lapisan masyarakat.
Selain itu, pihak birokrasi kampus perlu menata ulang penanaman empat pilar kebangsaan di antaranya, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Undang- Undang Dasar 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penataan ulang itu dapat dilakukan dengan menambah muatan SKS pendidikan kewarganegaraan, atau mengadakan sosialisasi pada keseluruhan mahasiswa dalam bentuk dialog dan seminar. Dengan begitu, paham radikalisme agama dapat dicegah dengan melekatnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan wawasan kebangsaan yang dimiliki mahasiswa.
Fajar Bahruddin Achmad
Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga
Universitas Islam Negeri Walisongo