
Semarang, Amanat.id- Grup Whatsapp salah satu mata kuliah (makul) di handphone Safitri mendadak senyap. Usai makalah dikirim, tak ada satu pun respon dari peserta kuliah online yang menanggapi isi dari materi yang disampaikan.
Waktu itu, adalah pekan ke dua Safitri mengikuti kuliah online sejak Kemendikbud mengeluarkan surat edaran untuk seluruh Lembaga Pendidikan melangsungkan pembelajaran dari rumah.
Selang beberapa saat, dosen pengampu makul tersebut mengirimkan sebuah pesan.
“Jika lelah, silahkan istirahat. Tidak usah dipaksakan mengikuti perkuliahan apalagi mengikuti diskusi,” kata Safitri membacakan pesan dari dosennya, Kamis 16 April 2020.
“Saya paham, teman-teman lelah dan bosen kuliah daring.”
Di awal pelaksanaan kuliah virtual, Grup Whatsapp Safitri, selalu penuh dengan percakapan. Namun, semakin hari percakapan tersebut kian menyusut, di hampir seluruh grup makul yang ia ikuti.
Seolah ada kebosanan yang dirasakan Safitri dan semua temannya.
“Awalnya seneng-seneng aja. Toh juga hanya sekedar dua minggu. Tapi ternyata sampai satu semester,” kata mahasiswa salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Kota Semarang itu.
Perkuliahan daring dilaksanakan akibat imbas dari Corona Virus Desease (Covid-19) yang semakin berkembang pesat di Indonesia. Berdasarkan peraturan Kemendikbud Nomor: 36962/MPK.A/HK/2020 tertanggal (17/03/2020) tentang Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari Rumah dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19, seluruh proses pembelajaran dialihkan ke media daring.
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta memberlakukan kegiatan belajar mengajar dengan metode daring yang pelaksanaannya dimulai pada Senin (16/03/2020). Pemberlakuan kuliah daring selanjutnya, diikuti oleh Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung pada Rabu, (18/03/2020). Tak ketinggalan, sejumlah universitas lain juga turut mengikuti aturan itu. Di UIN Walisongo Semarang, penetapan kuliah daring diterapkan pada tanggal 16 Maret 2020 hingga 27 Maret 2020, sebelum akhirnya diperpanjang selama satu semester, meski sebetulnya masih perkiraan.
Belum adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas dari pembelajaran tatap muka ke daring menimbulkan banyak permasalahan. Dunia pendidikan Indonesia, sepenuhnya tergagap dengan peralihan budaya akademik itu. Ada yang kemudian menggunakan medium Google Meet Up dan Zoom. Ada pula yang hanya menggunakan sarana grup Whatsapp.
Yang menjadi pertanyaan adalah, sampai kapan proses pembelajaran virtual dilaksanakan dan apa dampak terburuknya?
Krisis Kesehatan Mental
Apa yang dirasakan Safitri seolah menjadi gambaran kebanyakan pelajar hari ini. Hasil survei Forum Anak Jateng bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB Jawa Tengah) mengungkapkan, ketika siswa diminta mengisi kuesioner tertutup, sekitar 80 persen menyatakan bosan belajar dari rumah.
Ada penelitian menarik yang dikeluarkan Quarterly Journal of Economies pada 2015. Ekonom Stantford University Nicholas Bloom melakukan uji coba kontrol acak pada 1.000 karyawan Ctrip, sebuah perusahaan perjalanan China. Eksperimen ini mengungkapkan bahwa bekerja dari rumah selama periode Sembilan bulan menyebabkan peningkatan kinerja 13 persen.

Hasil penelitian itu seolah menjadi kabar gembira jika dapat diterapkan di kondisi hari ini. Bukan hanya pada dunia kerja, namun juga dunia pendidikan tentang design pembelajaran daring yang efektif dan efisien.
Namun, jangan terburu-buru senang.
Meski menghasilkan peningkatan produktivitas kerja, saat karyawan ditanya apakah tetap ingin bekerja dari rumah, separuh menjawab tidak. Mereka ingin bekerja di kantor meskipun harus menempuh jarak yang jauh.
“Jawabannya adalah perusahaan sosial,” kata Bloom. “Mereka melaporkan merasa terisolasi, kesepian dan tertekan di rumah. Jadi saya khawatir masa kerja yang Panjang dari rumah tidak hanya akan membunuh produktivitas kantor tetapi juga membangun krisis Kesehatan mental.”
Para peneliti menduga dampak ini bisa dirasakan langsung oleh mahasiswa yang menjadi bagian dari makhluk sosial. Meski direkomendasikan, namun kebiasaan seperti berkumpul, bersosialisasi, kini harus dijaga intensitasnya. Skenario terburuknya, mereka mengalami gangguan Kesehatan mental. Meskipun itu tidak akan berlaku bagi mahasiswa introvert.
“Menjaga jarak atau social distancing menjadi rekomendasi untuk cegah virus corona. Tapi dampaknya bisa memengaruhi kesehatan mental,” kata Dr. Tracy Alloway, Profesor Psikologi dari University of North Florida, seperti dilansir Indozone.id, Rabu (18/3/2020).
Sementara, Kepala bagian klinis di Newport Academy, Barbara Nosal menyebut masyarakat kini hidup dalam teknologi yang canggih tapi juga tidak lepas dari berbagai sentuhan dengan yang lain. Pembatasan interaksi fisik menurut Nosal, justru akan mengakibatkan kesepian.
“Penting juga diingat bahwa pengurangan aktivitas karena bekerja di rumah atau libur sekolah dapat menambah frustasi sedih ataupun marah,” ucap Nosal, sebagaimana dikutip dari Kumparan.com, Minggu (15/03/2020).
Epidemi Kesepian
Setelah sosial distancing digalakkan di seluruh penjuru, Indonesia saat ini terus memperluas Lockdown terbatas (PSBB) di daerah yang berdekatan dengan ibu kota Jakarta yang menjadi episentrum Covid-19. Lebih dari 15 juta orang yang tinggal di Bekasi, Bogor dan kota-kota yang berbatasan dengan Jakarta telah menerapkan PSBB.
Pekanbaru adalah wilayah di luar pulau jawa yang menerapkan aturan tersebut. Menurut Badan Mitigasi Bencana Nasional, PSBB akan berpengaruh terhadap 34 juta masyarakat Indonesia di daerah yang memberlakukan.

Mereka akan dihadapkan pada sejumlah langkah ketat seperti, larangan pertemuan publik lebih dari lima orang, acara sosial keagamaan, dan mewajibkan penggunaan masker.
Para penghuni rumah yang kesepian dan tertekan tidak menyadari bahwa sekelompok pasukan tak kasat mata sedang mengintai dan bersiap menyerang mereka. Membunuh produktivitas kerja dan membangun krisis kesehatan mental secara bertahap.
Administrasi Sumber Daya dan Layanan Kesehatan Amerika memperingatkan bahwa kesepian dapat merusak Kesehatan seperti halnya merokok 15 batang sehari. Perasaan terisolasi dan kesepian dapat meningkatkan kemungkinan depresi, tekanan darah tinggi, dan kematian akibat penyakit jantung.
Mereka juga dapat mempengaruhi kemampuan sistem kekebalan tuguh untuk melawan infeksi yang relevan selama pandemi ini. Sebuah penelitian di Amerika menunjukkan bahwa kesepian dapat membuat peradangan kronis dan mengurangi kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri dari virus.
Selain itu, hubungan sosial yang buruk juga dapat mengakibatkan peningkatan resiko penyakit jantung coroner dengan presentase 29 persen. Sementara, angka lain memungkinkan 32 persen orang berpotensi mengalami stroke.
Dalam ilmu Psikologi, jika hal ini terjadi secara terus menerus maka dapat mengarah kepada gejala obsesif kompulsif. Suatu bentuk gangguan mental yang menyebabkan penderitanya merasa harus melakukan suatu tindakan secara berulang-ulang. Bila tak diindahkan, maka yang bersangkutan akan diliputi kecemasan atau ketakutan.
Menggunakan strategi coping adaptif bisa menjadi alternatif ampuh melawan kecemasan bagi penderita maupun masyarakat luas. Metode ini menekankan pada pengolahan situasi stress menjadi hal yang positif.
Apabila perasaan cemas, khawatir dan tertekan dapat diolah dengan tepat maka, bisa mengarahkan penderita pada reaksi untuk melindungi diri dengan tepat. Bahkan, hal ini bisa meningkatkan hubungan religiusitas yang lebih dekat dengan Tuhan.
Permasalahannya, di Indonesia, terjadi sebuah framing pembentukan pengetahuan yang salah terhadap virus Corona. Masyarakat terlanjur menganggap sebagai virus menular mematikan yang belum ditemukan obatnya. Cukup hanya sebatas itu!
Penulis: Agus S.