Amanat.id- Dari eksentriknya bangunan-bangunan di Kota Lama Semarang, di pojokkan jalan, tepat di tepian sungai berdiri sebuah warung kecil dengan tembok hijau dan pintu birunya yang sudah terlihat usang. Meski hampir tak terlihat seperti warung makan dari kejauhan, rasa penasaran menarik langkah kami untuk menghampiri bangunan tersebut, Minggu (29/9/2024).
Begitu sampai di ambang pintu, seorang pria paruh baya menyambut kehadiran kami dengan suara hangatnya. Mata kami, mendapati gerakan tangan lincah tengah meracik sepiring nasi dengan taburan daging yang kemudian diguyur kuah kuning menghasilkan aroma rempah-rempah gule dan khas kambing yang berpadu mengundang nafsu makan kami.
Ornamen warung gule ini begitu sederhana. Hanya terdapat dua buah meja besar dan beberapa kursi plastik, gosong di dinding mengisyaratkan bahwa tempat ini telah dimakan usia.
Di samping pintu masuk, terdapat gerobak kayu tua, tempat pria tua tadi memasak. Diletakkan di atasnya potongan daging kambing dan bakul nasi yang beralaskan daun pisang. Terdapat juga kuali berisi kuah gulai yang dinanak di atas arang-arang untuk menjaga kuah tetap hangat. Melihatnya mengingat kami pada nuansa hangat rumah di kampung halaman.
Pria tua itu adalah Pak Nur, pemilik sekaligus yang mengelola warung tersebut. Namanya warung “Gule Bustaman Pak No”, bertempat di Jl. Kepodang, Purwodinatan, Kec. Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah. Hampir menginjak setengah abad, secara turun-temurun, kini “Gule Bustaman Pak No” sudah dikelola oleh generasi ke-3.
Pak Nur menjelaskan, bahwa nama warungnya tidak muncul begitu saja. Kata “Bustaman” diambil dari nama sebuah kampung daerah Purnowinatan, Semarang Tengah, Kota Semarang, yang mana kampung tersebut sejak lama dikenal sebagai tempat pemotongan kambing. Sedangkan “Pak No” adalah pengelola generasi ke-2 yang juga merupakan ayah dari Pak Nur.
Tidak serta merta berdiri di tempat yang sama selama 50 tahun lamanya, warung Gule Bustaman Pak No juga sempat melalui lika-liku penggusuran. 15 tahun yang lalu, Lokasi warung tak jauh dari lokasi yang sekarang. Namun karena saat itu terjadi penggusuran oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Pak No terpaksa memindahkan lokasi warung ke tempat yang sekarang ini.
“Dulu awalnya saya jualan di sekitaran sungai, tepat beberapa meter dari warung ini. Karena penggusuran Satpol PP, kami jadi harus pindah ke sini,” jelas Pak Nur saat di wawancarai oleh tim Amanat.id, Minggu (29/9).
Setiap harinya Pak Nur biasa mengolah banyak daging kambing, mulai dari kepala, jeroan, hingga iga. Proses memasaknya juga cukup unik karena menggunakan arang dengan tujuan menambah kemantapan rasa dan kesedapan pada bumbu.
“Sehari tidak menentu, kurang lebih habis 10 kg daging seperti kepala, jeroan, dan iga,” ungkap Pak Nur.
Tak heran jika warung gule ini memiliki banyak pelanggan tetap. Selain karena harganya terjangkau, konsistensi rasa yang disajikan juga tidak pernah berubah sejak warung ini berdiri. Salah satu pelanggan yang sering berkunjung adalah Ivan.
Ivan mengaku sejak kecil dirinya sudah sering mampir ke warung Gule Bustaman Pak No dan berlangganan selama bertahun-tahun.
“Rasanya segar dan memang saya penyuka gule,” ucap Ivan.
Keinginan Pak Nur sesederhana ingin meneruskan usaha yang telah diemban oleh sang kakek dan ayahnya sejak bertahun-tahun. Meski harus pulang-pergi dari Jepara ke Semarang, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk terus mewariskan warung gule tersebut.
“Biasanya yang berdagang bapak saya, tapi karena sudah meninggal, jadi yang mewariskan anak-anaknya,” tuturnya.
Tidak sendirian, saat ini Pak Nur secara bergantian menjaga warung dengan sang adik dan salah satu pegawainya yang tinggal di warung tersebut.
Reporter: Dwi Endang Setyorini
Editor: Tazaka Nafis