Bangunan di Jalan Sumbawa No. 40 Kelurahan Jetis, Kabupaten Blora, Jawa Tengah itu terlihat berbeda. Tidak seperti rumah pada umumnya. Ketika melintas pandangan orang-orang akan tertuju pada plang besi berwarna cokelat yang telah kusam dimakan usia. Plang itu menjadi penyangga tulisan di halaman rumah. Tulisanya ‘Perpustakaan Pataba‘.
Bangunan tembok bercat putih kombinasi kuning hijau itu adalah rumah masa kecil sastrawan kenamaan Indonesia Pramoedya Ananta Toer. Anak sulung dari pasangan Mastoer dan Siti Saidah itu sudah beberapa kali meraih penghargaan Nobel. Di sanalah Pram kecil tinggal bersama kedelapan adiknya.
Kini rumah warisan itu ditinggali adik keenam Pram, Soesilo Ananta Toer atau yang akrab dipanggil Soes menyulapnya menjadi sebuah perpustakaan. Perpustakaan itu didirikan bertepatan dengan meninggalnya Pram pada 30 April 2006 yang lalu. Soes dan keluarga berinisiatif menamai perpustakaan itu Pataba untuk mengenang Pram dan keluarga. Kata Pataba menurut Soes adalah akronim dari Pramodya Ananta Toer Anak Semua Bangsa.
“Saya menamai sesuai buku yang pernah ditulis Pram yakni Anak Semua Bangsa,” kata Soes ketika ditemui di rumahnya, Kamis (19/01/2020).
Sekilas bangunan itu nampak kurang terawat. Di pelataran Anda akan temui beberapa kambing dan ayam yang bebas berkeliaran. Ceceran kertas koran, kardus, dan plastik dari hasil mulung Soes dibiarkan begitu saja hingga dikerubuti lalat sudah menjadi pemandangan biasa.
Sebelum memasuki perpustakaan, papan bertuliskan “Bacalah bukan Bakarlah” terpampang jelas seperti menampar para pengunjung yang enggan membaca. Di sana beberapa barang peninggalan keluarga Pramodya dipajang rapi. Tak hanya koleksi buku sastra, politik, hukum, atau filsafat saja. Di dalam perpustakaan itu juga dipajang lukisan, kliping, dan mesin tik tempo dulu yang digunakan Pram menulis juga menjadi barang koleksi di perpustakaan ini.
Bagi Soes, Pataba bukan perpustakaan yang pertama kali ia rintis, ia bercerita bahwa sebelum mendirikan Perpustakaan Pataba di Blora, ia sudah lebih dulu mempunyai rintisan perpustakaan di Bekasi.
“Dulu buku sangat murah, apalagi belinya di Pasar Senen dan Jatinegara,” kata pria kelahiran 17 Februari 1937 itu.
Macam-macam buku yang dibelinya ia kumpulkan ketika masih bekerja sebagai Rektor di Universitas Bakti Pertiwi dan Dosen di Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Jakarta.
“Separuh gaji saya dulu buat beli buku dan separuhnya lagi untuk traktir mahasiswa,” katanya.
Namun di tahun 2004 adik keenam Pram ini memutuskan untuk pulang dan meninggalkan segala aktivitasnya di Bekasi.
Mendapat Mimpi
Sebelum pindah ke Blora dan mendirikan perpustakaan, Soes bermimpi bertemu sang ayah dengan wajah tersenyum. Ia menafsirkannya sebagai isyarat perintah untuk menjaga rumah warisan orangtuanya ini.
“Rupanya saya harus menjaga warisan rumah orangtua. Banyak orang salah mengira kalau ini rumah Pram,” kata Soes.
Mastoer, sang bapak membangun rumah pada tahun 1923. Pada tahun 1950 ia meninggal dunia. Baru pada tahun 1955 rumah tersebut direnovasi memakai uang pensiunannya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Pada tahun 1965-an, saat isu komunis sedang gencar-gencarnya melanda, rumah tersebut hampir dibakar oleh penduduk karena Pram dianggap masuk dalam golongan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun pembakaran itu berhasil diurungkan.
“Pada saat itu mereka yang ingin membakar mengira kalau di rumah ini ada Pram,” ucap pria berjenggot putih itu.
Setelah melalalui pembenahan oleh Soes pada tahun 2004, letak perpustakaannya pun berubah, yang semula berada di samping bekas dapur kini dipindah. Kiranya hampir 10 ribu buku disimpan di Perpustakaan Pataba. Keluarga Toer menggratiskan bagi siapa saja yang berkunjung ke perpustakaannya.
“Dulu perpustakaanya tidak disini, dulu ada disamping bekas dapur. Sekitar 7-8 ribu buku ada, kalau nggak dimakan rayap bisa sampai 10 ribuan,” jelasnya sambil menunjuk bangunan yang berdiri persis di samping rumah.
Yang terakhir, tahun 2018 Pataba direvitalisasi lagi oleh Pemerintah Kabupaten Blora dengan tujuan akan dijadikan cagar budaya. Hal ini relevan dengan keinginan pemerintah yang akan menjadikan Blora sebagai Kota Sastra.
Reporter: Rizki Nur Fadhilah
Editor: Ibnu A.