Amanat.id- Kabar sering terjadinya Rob, sempat menjadi kekhawatiran tersendiri bagi kami. Bagaimana tidak, perjalanan tak begitu dekat jika kami harus membasuh ulang motor ketika terkena air asin di desa Morodemak, Bonang, Demak.
Rob sendiri merupakan naiknya air laut ke daratan, bahkan sering kali menelan daratan yang dijangkaunya. Ketika air Rob terkena mesin motor, jika tak kunjung dicuci dengan air tawar, tidak ada harapan banyak untuk motor tersebut melawan karatan yang dengan cepatnya menggerogoti mesin.
Dengan wajah penuh keyakinan, kami mencoba menepis kekhawatiran yang telah singgah di pikiran, Kamis (12/10). Tekat kami kuatkan demi mencari ‘bintang’ di sana.
“Harus ketemu bintang,” ucap kami untuk membakar semangat.
Sematang mungkin, perlengkapan kami siapkan. Saya yang menobatkan diri sendiri sebagai pemimpin kelompok terus memperhatikan keselamatan dan kondisi kendaraan yang digunakan menerjang perjalanan.
Liku Jalan Terjal
Tepat pukul 15.40 WIB, kami bertiga (Saya, Eva, dan Erin) berangkat dari Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Jogoloyo, Demak. Kami mengambil rute Demak Kota, Kecamatan Bonang, dan masuk ke Desa Morodemak.
Sebelumnya, saya sudah dua kali ke Desa Morodemak, ambil arah Demak Kota, Karang Tengah, Bonang. Tapi, karena saya anggap rute itu terlalu jauh, akhirnya kami mengikuti arahan Erin selaku warga lokal desa.
Waktu itu kami patuh dengan arah yang diberikan, lantaran rasa percaya yang begitu tinggi, kami pun langsung melaju 70 km per jam dengan sepeda motor Supra X 125 dan Beat tahun 2012 tanpa henti, meskipun sempat terbesit keraguan akan medan yang akan kita lalui.
Hal di luar dugaan pun mengagetkan kami. Dari yang awalnya kita merasa takut akan banjir Rob yang akan menerjang kami, ternyata nihil. Begitu pula dengan jalan yang awalnya kami kira sudah hampir keseluruhan sudah dibeton dan mulus.
Mata terpana kami mulai terlihat ketika motor yang kami naiki menempel di jalan Desa Morodemak. Bagaimana tidak, ada beton yang terangkat sebelah, jalanan tanah yang terjal, jalan setapak, bahkan jalan penghubung ke jembatan dengan tinggi hampir dua sepeda motor dengan jalan utama.
Surga Dunia
Lantaran tak mungkin tetap mempertahankan kecepatan yang sama dengan awal perjalanan, kami pun memutuskan untuk lebih hati-hati dan menjaga kewaspadaan.
Di tengah fokus kami pada jalanan yang begitu terjal, tak sengaja kami sempat menghiraukan beberapa sapaan warga sekitar. Entah berapa kali sapaan yang tak kami dengar. Namun, satu sapaan terakhir masih teringat jelas di pikiran sebelum kami beranjak menghilangkan jejak dari pandangan beberapa warga yang menyapa kami.
“Hati-hati mas, mbak,” sapa warga sekitar.
Tidak lama setelah itu, kami pun mulai mencoba menikmati pemandangan yang ada di sekitar. Kami pun tampak takjub pada berbagai para nelayan yang sedang membersihkan jala di atas kapal. Begitu dekat dengan kami posisi kapal tersebut, rasa-rasanya tak ada lima meter dengan jarak kami yang berada di atas motor.
Tidak lebih dari 10 menit, kami pun sampai di tempat singgah Erin selaku warga lokal asli yang ikut bersama kami menjelajah bumi yang nyaris tenggelam ini. Hembusan nafas istirahat mulai kami rasakan dengan tenang, sambil mendengarkan beberapa bakwan yang baru dimasukkan ke wajan.
Setelah 5 menit kami asyik mengobrol, berbagai hidangan tiba-tiba mengagetkan kami, yang sontak membuat kami berhenti untuk berbincang. Berbagai hidangan itu pun disajikan untuk kami selaku tamu di situ. Bakwan, mendoan, ikan goreng, dan botok ikan yang masih terlihat jelas uap panasnya dihadapkan di depan kami.
Pukul 16.48 WIB, seketika kami harus mengurungkan niat untuk mengisi penuh perut kami dengan santapan yang telah tersaji. Peralatan alat salat kami kumpulkan satu-persatu, sebelum beranjak meninggalkan tempat singgah itu.
Tak jauh dari tempat singgah itu, kami pun bergegas menuju masjid terdekat untuk melaksanakan ibadah salat. Di luar ekspektasi kami, masjid yang tampak kumuh dan kurang terawat dari luar, tampaknya begitu terawat dan memiliki banyak inovasi di dalamnya.
Seperti saat kami baru masuk ke area wudunya. Mata berkaca-kaca seraya terpana pada pemandangan tempat wudunya. Lukisan dan bangunan dengan suasana pedesaan di area pegunungan tempat wudu itu, terasa menghipnotis kami. Desain dinding yang tampak akan bebatuan dan awan-awan yang menyatu dengan masjid, serasa kami tak percaya jika itu masjid awal yang kami kira kumuh.
“Bagus banget,” ucap kami.
Berbagai bangunan kayu yang menghiasi di dalam masjid pun terasa bersih dan menenangkan menurut kami.
Kekhawatiran
Menurut cerita para warga, Rob paling tinggi sering terjadi pada malam hari. Jika tak beruntung, mungkin masyarakat yang bukan warga asli akan terjebak selama satu malam hingga Rob nya mulai turun.
Mendapati kabar itu, kami pun bergegas menyiapkan diri ketika telah selesai melaksanakan salat magrib. Karena rasa takut terjebak di tengah jalan karena air Rob yang semakin membesar, pukul 18.30 WIB kami pun bergegas pamit dan langsung mengendarai sepeda motor motor Supra X 125 dan Beat tahun 2012 tadi.
Dengan jantung yang berdetak semakin kencang di setiap perjalanan, ditambah jalanan desa berubah menjadi sepi membuat rasa takut kami mulai membesar. Para nelayan yang awal kami datang masih sibuk dengan jaringnya, ketika pulang sudah raib dan tinggal berbagai kapal kosong tanpa pengemudi.
Karena ketakutan terus menghantui pikiran kami, bahkan tak sempat menemukan pemandangan bintang yang awalnya kami cari. Bahkan, hanya sekadar foto pun kami tak menyempatkannya. Namun, berbagai keindahan yang telah kami lalui sebelum pulang, kami rasa sepadan dengan niat awal yang hanya mencari bintang di desa ini.
Penulis: Nur Rzkn