Bertahun-tahun tersekat jarak, pertemuan selalu menjadi momen istimewa untuk mengingat masa silam. Saling bersabar coba manfaatkan pertemuan yang sangat sulit dijadwalkan. Dengan seragam kebesaran masing-masing, saling membusungkan dada, menunjukkan pada dunia bahwa ia telah mencapai puncak kesuksesan. Tidak ingin tersaingi oleh yang lain.
Antah berdiri tiga meter dari lokasi. Menyendiri dari hiruk-pikuk pesta reuni. Tidak berani mendekat. Kerinduan pada kawan seperjuangan sudah tidak dapat dibendung. Namun, bagi orang-orang yang tidak memiliki seragam kebesaran seperti dirinya akan selalu disisihkan dalam pertemuan. Bahkan, teman yang dulunya dekat, akan ikut mencibir. Meski maksudnya hanya bercanda.
Ia menatap lekat petak tempat temannya berkumpul. Beberapa wajah masih ia ingat, meski samar. Tapi kebanyakan asing. Entah karena lupa, atau mereka memang orang asing yang menjadi pasangan pesta kawannya.
“Hey!”
Suara itu … Tubuh Antah mendadak beku, tidak kuasa menoleh. Ia sudah berusaha bersembunyi, tapi kenapa ada yang berhasil menangkapnya?
“Antah? Kamu Antah kan?” Antah terpaksa menoleh, menampilkan ekspresi yang tak terdefinisi. Antara kaku, terkejut, dan malu. “Kenapa di sini? Yuk, masuk!”
Antah menggeleng cepat, menimbulkan kerut pada dahi betina di depannya. “Kamu saja yang masuk. Saya di sini.”
“Kamu dapat undangan kan?” Antah mengangkat tangannya yang menggenggam secarik undangan berwarna hijau. “Lantas, kenapa tidak mau masuk?”
Alih-alih menjawab, Antah justru menundukkan kepala hingga dagunya membentur dada. Ia menekuri kaki tak berbungkus yang bersebelahan dengan sepasang kaki berjari lentik terbalut sepatu rajut.
Si betina–yang memang memiliki kepekaan tingkat dewa–menyadari maksud Antah. “Kamu malu, Antah? Kamu takut jika mereka mengejekmu?”
Antah tidak mengangguk, tidak menggeleng, juga tidak mendongak.
“Kamu tahu? Sebenarnya aku malas datang ke acara seperti ini.” Si betina mulai menceracau. “Satu-satunya alasan aku datang adalah untuk bertemu denganmu. Dan kamu menjadi orang pertama yang kulihat dan kutemui. Beruntung sekali aku memergokimu di sini, sebelum sempat berdesak-desakan di dalam petak.”
Antah belum juga mengangkat kepala. Namun, sesaat kemudian, tindakan yang dilakukan oleh rekan di sampingnya berhasil membuatnya terenyuh. Sebelum ia menyelesaikan tindakannya, Antah buru-buru mencegah.
“Saya tidak akan senang jika kamu melepas sepatumu. Pakailah!”
“Kan kamu yang dulu bilang, kita ini sama. Selamanya akan tetap sama. Kalau kamu tidak pakai sepatu, atau alas kaki apa pun itu, aku juga.”
“Pakai sepatumu, Pari. Dan masuklah ke petak. Jangan hiraukan saya.”
“Tidak. Untuk apa aku masuk? Berisik dan membosankan. Apalagi di dalam tidak ada kamu.”
“Kehadiran maupun ketiadaan saya tidak berpengaruh di sana.”
“Mungkin … Tapi, ada dan tidaknya kamu memberikan efek besar untukku.”
Akhirnya, Antah memberanikan diri menatap lekat sepasang manik yang sedari tadi sudah menunggu balasan tatap darinya. Dari masing-masing netra, terpancar kerinduan yang mendalam. Rindu yang memicu keinginan untuk saling merengkuh, tapi terhalang oleh rikuh.
****
Setelah acara saling tatap tanpa kata berlangsung selama lima belas menit, Pari memutuskan mengajak Antah pergi. Lebih tepatnya, memaksa. Meski sebenarnya, tanpa dipaksa pun, Antah tidak akan menolak.
Tangan kirinya menenteng sepatu rajut, sedangkan yang kanan mengapit lengan kiri Antah. Ada sedikit kemajuan, meski belum bisa saling rengkuh, setidaknya gengsi di antara keduanya sedikit melebur.
Pari duduk di gubuk beratap daun kelapa yang teronggok tak jauh dari petak reuni. Antah mengikuti, ragu-ragu menjatuhkan pantat di samping Pari. Takut jika sang gubuk tak lagi kuasa menahan beban, kemudian reot dan roboh di saat yang tidak diinginkan.
Antah memberi sedikit jarak, masih minder. Mengetahui hal tersebut, Pari segera memepet Antah. Tak peduli meski yang dipepet merasa risih. Sampai akhirnya pundak Antah membentur dinding gubuk, menimbulkan bunyi “kriyet”. Ia sontak terdiam, takut tertimbun gubuk sekaligus karena tidak ada sisa ruang untuk menjaga jarak.
Mata berlapis bulu lebat milik Pari terpejam. Kerut di dahi perlahan pudar. Dinikmatinya terpaan bayu yang menenangkan.
“Jangan memandangiku seperti itu, An.”
Antah, yang ketahuan mencuri pandang, buru-buru mengalihkannya. Mencari pemandangan lain yang sekiranya lebih menarik. Meski sebenarnya, itu percuma. Toh, Pari sudah tahu kalau Antah telah memandangnya tanpa permisi.
Pari terkekeh. “Tidak perlu menampik. Kamu sudah ketahuan.”
Semilir angin menerbangkan helai rambut yang menghias paras Pari, membuatnya tampak lebih cantik. Lagi-lagi, Antah berusaha keras mengalihkan pikiran dan perasaannya.
“Daripada diam-diam mencuri pandang, coba kamu ikuti apa yang aku lakukan. Nikmat, An.”
“Tidak.” Antah menjawab singkat. Kemudian, “Percuma. Sesejuk dan senikmat apapun oksigen yang menerpa, nyatanya, saya tetap kesulitan bernapas saat berada di dekatmu. Kamu seperti lubang penyedot oksigen yang secara egois membuat saya megap-megap. Dari dulu, selalu begitu.”
Pari menyemburkan tawa mendengar kalimat panjang Antah. Terapi-terpaan-udara-sejuknya seketika terhenti. “Hey, sejak kapan Tuan Antah bertransformasi menjadi pujangga ulung begini?”
Antah ikut terkekeh. “Sepertinya … tidak pantas, ya, kata-kata seserius itu diucapkan oleh saya yang kumuh begini?”
Hening. Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing.
Ketika Pari mengamati lonceng yang berbunyi tertiup angin, Antah menjatuhkan pandang ke lokasi reuni. Tidak terlalu luas, tetapi cukup untuk menampung peserta reuni yang tidak seluruhnya hadir. Permadani cokelat becek tergelar di bawahnya, siap sedia menampung hentakan kaki yang sedang pesta pora.
“Pari,” panggil Antah, lirih. Gumaman yang tak kalah lirih terdengar sebagai jawaban. “Apakah saya boleh tahu, ke mana saja kamu selama ini?”
“Kalau aku menjawab ‘tidak’, kamu akan tetap memaksa kan?”
“Berarti boleh?” Pari tidak menjawab, tetapi bibirnya tersenyum. “Ya sudah.”
“‘Ya sudah’ apa?”
“Ya sudah, jawab, ke mana kamu selama ini?”
Dada Pari membusung beberapa senti, rakus menampung pasokan oksigen. Ia terdiam beberapa detik, mencoba memilah bagian mana yang harus dikatakan dan mana yang tidak.
“Petak tempat keluargaku tinggal kena gusur. Untuk pembangunan proyek rel kereta api. Keluargaku mendapat ganti rugi yang lumayan tinggi, bisa untuk membeli petak baru yang lebih luas.” Pari mengambil jeda, kembali membusungkan dada.
“Penggusuran lahan malam itu terjadi begitu cepat. Serba mendadak. Mungkin memang sudah lama direncanakan, hanya saja aku baru mengetahuinya malam itu. Maklum, saat itu aku masih terlalu kecil untuk memahami situasi.”
Antah memasang telinga baik-baik, saksama mendengarkan setiap kata yang Pari jelaskan.
“Maaf, An. Setelah ‘mereka’ mendatangi petakku, kami diminta pergi sebelum pagi. Tidak ada pilihan lain, aku dipaksa berkemas. Maaf karena tidak sempat memberi tahu, atau bahkan meninggalkan pesan untukmu. Kupikir, percuma. Surat yang kutinggalkan pasti ikut tergilas, lalu tertimbun berbagai material rel.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, ini bukan kesalahanmu. Saya lega. Meski sempat khawatir, setidaknya sekarang saya tahu kalau kamu baik-baik saja. Bahkan, kalau kamu tidak berbohong, kondisimu sekarang lebih tepat ditafsirkan ‘sejahtera’.”
“Secara materi memang serba cukup, lebih malah. Tapi soal hati, tidak bisa dipungkiri, tidak ada hari yang kulalui tanpa memikirkanmu.” Pari menyibak anak rambut yang dimainkan oleh angin. Kemudian, “Jadi, sekarang giliranmu.”
“Tidak ada yang perlu diceritakan.”
“Setidaknya, untuk membuktikan bahwa kekhawatiranku selama ini salah. Buat aku tenang di pertemuan ini, An. Karena kita tidak pernah tahu, apakah esok lusa bisa kembali bersua.”
Antah menatap ke depan. Kepalanya saja, sedangkan pandangannya menerawang jauh ke masa beberapa tahun lalu.
“Kamu ingat, tidak jauh dari tempat tinggal saya, terdapat tempat pembuangan sampah. Makin hari, sampah tersebut makin menggunung. Di tahun yang sama ketika keluargamu pergi, sedang terjadi perang politik tingkat desa. Pihak atas sibuk kampanye agar bisa menjabat dua periode. Tidak ada yang peduli dengan kondisi TPA yang tak keruan itu. Bahkan, ketika akhirnya sampah merambat ke pemukiman.” Antah mengembuskan napas lelah, prihatin dengan keadaan yang menimpa keluarganya saat itu.
“Sebagian besar tetangga memilih pindah. Saya sudah mengusulkan, orangtua menolak. Kami tidak ada biaya untuk membeli petak baru. Saat saya ingin menemuimu untuk meminta bantuan, walau sekadar saran, petakmu sudah kosong. Rata dengan tanah. Saya mencoba berpikir, kemudian teringat ternyata tidak ada keluarga yang bisa ditumpangi.”
Ekspresi wajah Antah berubah. Matanya kosong, tetapi Pari bisa melihat ada cairan yang mencoba meringsek keluar. Dan, seperti biasa, Antah bersikeras menahannya.
“Saat pulang, gubuk sudah hangus terbakar, beserta kedua orangtua saya. Tidak ada yang tersisa. Panas akibat kemarau panjang, panas karena perang politik, serta panas sebab uap amarah yang mendidih, semua berkonspirasi dalam kepala, membuat saya terluka dan tersiksa. Saya tidak punya siapa-siapa lagi.”
Mulut Pari ternganga, matanya berkaca-kaca. “Masalah sebesar ini … Kenapa tidak ada yang memberitahuku? Kenapa teman-teman diam dan seolah tidak tahu apa yang terjadi denganmu?”
“Begitulah pertemanan, Ri. Pertemanan yang tulus tidak pernah memandang status. Akan tetapi, sangat sulit menemukan hubungan seperti itu di era kini.”
“Lalu, sekarang kamu tinggal di mana?”
“Di mana saja. Kamu lihat kaki saya? Jangankan membeli petak atau menyewa gubuk reot, membeli sepatu pun saya tidak mampu. Tapi … saya percaya, alam semesta tidak pernah membiarkan penghuninya menderita. Ada bumi yang selalu sedia menyelimuti dan ada langit yang dengan senang hati memayungi.”
Isak pilu keluar dari mulut Pari. Perasaannya berkecamuk. Teman jenis apa dia sampai tidak tahu kalau selama ini temannya luntang-lantung tanpa naungan atap?
“Maafkan aku, An.” Antah menepuk pundak Pari, mengusapnya pelan. Ia membiarkan Pari memuaskan diri dengan air mata, meski sebenarnya ia tidak tega. Setelah dirasa puas, Pari berkata, “Air hujan dan zat hara yang kauperoleh secara alami, aku yakin, akan membuatmu lebih subur dan unggul. Suatu saat nanti. Cepat atau lambat.”
Semarang, 14 Maret 2020
Rizkyana Maghfiroh
Penulis adalah warga Kampoeng Sastra Soeket Teki SKM Amanat