Deburan ombak terdengar santer ditelinga. Terbawa angin yang mulai berhembus kencang. Rumah-rumah penduduk, satu persatu mulai rapat tertutup,gelap tanpa cahaya. Dengkuran – dengkuran terdengar. Hewan-hewan laut mulai merangkak ke daratan, membuat lubang yang esoknya akan hilang tersapu ombak.
Seakan tahu bahwa diseberang pasir pantai, ada seorang perempuan yang menggali untuk ditutup esoknya. Ningrum sedang mencumbui kerinduannya yang terakhir. Cinta dalam senyuman yang selama ini ia lakukan, kini harus berakhir tanpa pengucapan. Tidak ada lagi kegiatan saling mencuri pandang, atau saling melempar senyum. Tidak ada lagi kegiatan mengendap-endap di dapur pondok, untuk sekedar melihat. Semuanya akan berakhir besok.
Kaffa harus dikubur secara paksa olehnya, karena besok ia akan diikat oleh sebuah hubungan. Kaffa terlalu sempurna untuknya, setidaknya itulah yang dikatakan sang Kiyahi.
**********
Keadaan rumahnya pagi ini serba semrawut,terutama di bagian dapur. Ibu-ibu berlalu lalang,keluar masuk dapur membawa tampah-tampah yang berisi jajanan. Berteriak memanggil dengan kencang. Sedangkan kaum bapak hanya duduk santai sambil udud dengan kaki jlegrang di depan rumah.
Lain halnya dengan Ningrum, ia sudah terpoles halus dengan beberapa bedak. Dia duduk sendiri didalam bilik menghadap cermin. Abaya biru tua membalut tubuhnya dengan kain panjang berwarna hitam yang menjadi penutup kepala. Celak hitam di garis bawah matanya mempertegas keindahan. Namun garis itu tak mampu mengusir wajah suram yang terlukis jelas.
Karena lompatan kenangan mengenai drama sang kiyai, kini seakan menari-nari di depan cermin. Membuatnya harus membuang muka dari kaca putih itu. Sebuah drama yang berakhir dengan kekalahan sang hamba sahaya. Betapapun dia masih ingat saat sang Kiyai tertawa lebar mendengar penuturan Ningrum yang diam-diam jatuh cinta dengan putranya, Kaffa.
Sambil tersenyum dia menuturi Ningrum bahwa tidak ada putra Kiyai yang menikah dengan santri dari keluarga biasa, Kewajiban untuk meneruskan generasi yang alim dan sholeh hanya bisa didapatkan ketika sang Kiyai berbesan dengan Kiyai. Bukan berbesan dengan nelayan. Dia mendesak Ningrum untuk menerima keputusannya. Keputusan untuk menikah dengan seseorang yang meminta dicarikan pasangan oleh sang Kiyai.
Waktu memang tepat, seolah ini sudah berada dalam satu garis takdir. Ningrum tak bisa menolak, karena di dalam pondok diajarkan untuk berkata iya pada setiap perintah sang Kiyai. Kehidupan yang penuh dengan barokah menjadi upahnya. Upah karena mengiyakan permintaan sang Kiyai. Ajaran itu sudah terpatri dalam hatinya, selama 10 tahun ajaran itu selalu di dengungkan, sehingga tanpa sadar dia mengiyakan permintaan tersebut.
Dia resah setiap kali mengingat kejadian itu. Kepalanya berdenyut kencang, napasnya sesak. Ia tidak mau hatinya goyah untuk keseratus kalinya. Cukup dengan 99 kali saja, ia berharap kegoyahan itu akan menjelma sebagai do’a indah, layaknya keindahan 99 nama sang pencipta. Namun hati tak bisa membohongi, kekhawatiran itu menjelma menjadi sebuah pertanyaan yang sarat dengan ketakutan.
“Siapa dia?, Apakah aku bisa menerimanya?, Apakah aku akan berakhir sebagai seorang istri yang dimadu atau akulah orang tersebut. Apakah akan berujung dengan kekerasan?, Tuhan dia masih sangat samar untukku. Bahkan sujud malam dalam istikharahku tak membuat terang perkara ini. Dan Tuhan kenapa aku begitu bodoh mengiyakan setiap perkataannya, menerima seolah dia adalah ayahku. Sedangkan orangtuaku sendiri tak mempunyai andil untuk hal ini”
Air mata mulai menetes, membasahi pipi yang molek itu. Ningrum bergelut dengan kekalutan. Jiwanya meringkih, menderita, dan meragu. Pembicaraan orang tuanya yang tak sengaja ia dengar, membuat air mata makin kerap menetes. Pembicaraan mengenai masa depan Ningrum yang mereka mimpikan. Bukan yang sang Kiyai inginkan.
Sedangkan para ibu tiduk peduli dengan kekalutan itu, mereka mulai asyik membicarakannya di setiap pojok rumah. Membicarakan bahwa enak sekali menjadi dirinya, dijodohkan oleh Kiyai pasti dijamin bahagia dan sejahtera. Setidaknya itulah yang mereka bicarakan tiap sore setelah ashar. Berita itu menyebar terlalu cepat. Enteng sekali mereka berbicara, seolah melupakan banyak percerain, penderitaan, dan KDRT yang terjadi pada pasangan yang dijodohkan oleh Kiyai sekalipun. Mereka lupa akan hal itu. Sosok Kiyai adalah orang yang paling benar, titik. Itulah pandangan mereka.
Sementara sang tokoh utama tengah bergelut dengan keresahan. Dari luar keramaian mulai tampak. Rombongan keluar dari mobil, bak lebah yang baru keluar dari sarangnya. Senyum manis mereka pertontonkan. Semua yang ada didalam dan diluar rumah, berjejer rapi menyambut mereka. Kecuali Ningrum,yang masih harus bersembunyi dalam biliknya. Satu persatu tamu memasuki rumah, melempar senyum pada sang empunya. Hantaran sebagai simbol kewajiban laki-laki kini telah berpindah tangan, memenuhi sudut ruangan yang tidak dapat terlihat dari depan.
Ning masih duduk memalingkan wajahnya dari cermin. Saat itulah pintu kamar diketuk pelan, ia dihampiri dengan manis oleh dua perempuan yang tak lain adalah sepupunya. Dia ditarik keluar dari bilik, paras ayu terpancar, lewat jilbabnya yang tersulur panjang. Menutupi bagian dada dan abaya yang dia kenakan. Semua pasang mata mengekor pada Ning yang kini duduk di tengah,berhadapan dengan laki-laki yang di jodohkan Kiyainya. Laki-laki yang ia terima secara terpaksa. Karena khidmah atau entah kebodohannya. Laki-laki yang hanya ia tahu namanya, Renjana.
Prosesi utama akan segera dimulai,setelah beberapa sambutan oleh dua keluarga, kini tiba waktunya untuk Ning ditanting. Ditanya apa dia menerima pinangan ini. Ning masih menunduk,dia tidak berani memandang kedepan. Mulutnya gemetar ingin berujar,namun entah mengapa kelu tiba-tiba menyergap. Dia merasa ada yang sakit. Namun tak tahu yang mana. Dia merasa ada yang hilang, namun apa? Dia terisak, cairan bening itu mengalir.
Semua yang hadir saling memandang, bertanya-tanya ada apa gerangan. Dia tidak menyadari jika saat ini, isakannya telah menciptakan suasana hening. Semua mulut terkunci rapat.
Ruangan yang awalnya penuh dengan wajah-wajah sumringah, mendadak menjadi ruangan yang penuh dengan bahaya. Wajah-wajah cemas terlihat. Saling bertanya dan berbisik dengan sebelahnya. Sang ibu menyentuh pundaknya berniat mengingatkan, namun di luar dugaan Ning malah memeluk erat tubuh ibunya itu. Isakan tangis yang awalnya lirih, kini semakin terdengar jelas. Hingga akhirnya sang ibu meminta diri untuk membawa Ning ke kamar.
***********
Ning menangis, bukan lagi terisak. Siluet cemara pantai, terukir di tembok putih kamarnya. Sebuah siluet indah yang tercipta karena pancaran sang surya. Dia duduk di pinggiran kasur, sang ibu menarik kursi pelan. Tangan halus Ning dipegang lembut oleh ibunya.
Lompatan kenangan pahit kini mulai muncul. Terukir jelas saat kedua orangtuanya tak berdaya menghadapi permintaan sang Kiyahi. Seperti ketidakberdayaannya. Orang tuanya hanya menerima dengan pasrah. Dengan seulas senyum palsu yang mereka pertotonkan. Merek punya rencana sendiri untuk putrinya, namun lagi-lagi mereka haus mengalah, karena beranggapan sang Kiyai adalah orang yang paling tau dan lebih hebat dari mereka.
Ningrum masih menangis dalam peluk ibunya. Kedua matanya memandang tajam melihat jejeran kitab kuning klasik yang terususun rapi dalam kotak buku yang telah menempel 10 tahun lebih di kamarnya. Dia merasa mereka semua tidak ada gunanya. Kitab akhlak yang dia pelajari, syiir-syiirnya yang ia hafalkan setiap hari,rasanya menjadi biang keladi atas masalah yang terjadi. Atas perkataan “iya” yang ia ucapakan untuk tawaran sang Kiyai.
Bukan seperti itu,yang Ningrum inginkan. Tapi tak bisa lagi dia menolak. Kitab telah mengajarinya untuk berkata “iya” pada setiap katanya. Ketenteraman yang mereka dia janjikan, cerita dan mimpi manis yang dia ceritakan. Ning masih ingat, betapa Kiayinya sumringah saat bercerita. Garis wajahnya tertarik sempurna, giginya terlihat jelas. Putih berderet.
Bilik kamarnya ikut sunyi,ibunya diam seribu bahasa. Ning menunduk,tangannya yang dilukis indah dengan warna merah menjadi basah. Pintu kamar berdecit memecah kebisuan, seorang laki-laki setengah tua masuk. Dia menutup kembali pintu itu sebelum menghampiri putrinya yang masih tertunduk disudut ranjang. Tak lagi dihiraukan,sorot cahaya sang surya yang menembus korden jendela. Menatap wajah.
Kini berganti,sang bapak yang duduk di depannya. Ning mendongak,menatap wajah sang bapak melas. Dengan bulir air mata yang masih ada,seakan berbicara bahwa kali ini dia benar-benar terluka.
“Nduk,kenapa kamu menangis?,bukankah bapak sudah bilang untuk diam dan mengangguk saja” tukas bapaknya.
“aku ndak mau Pak!,mereka yang mengatur hidupku. Bapak dan ibu yang lebih berhak untuk itu” jawab Ning dengan sorot mata yang menyala.
“Bukan mereka Nduk yang mengatur hidupmu,tapi kamu sendiri. Kenapa kamu berani mencintai Gus mu (putra dari Kiyainya). Kenapa kamu Nduk? Sepintar apapun,kamu ndak boleh menebar benih yang membuat Gus mu jatuh hati ” jelas Bapak pada Ning.
Seketika itu juga,Ning terdiam. Benar kata bapaknya, namun semangat memberontak masih tersisa, dia bertanya dalam hati erasaan cinta yang belum sempat berkembang mengapa itu yang menjadi alasan? Ning tidak lagi bisa mengelak,pilihan harus tetap diterima. Terlepas sama atau tidaknya dengan impian. Tidak menjadi penghancur dalam keluarga kiyainya adalah hal utama sekarang. Ning hanya bisa menghembuskan napas beratnya,sebelum semuanya menjadi rumit. Sebelum itu juga Ning harus pergi.
Dia paham inilah usiran halus untuk dirinya. Dirinya yang harus terusir karena menyebabkan sang penerus tahta jatuh cinta pada hamba sahaya.
**********
Ning keluar dari biliknya, dengan diapit kedua orangtuanya. Ning kembali kepada ketidakberdayaan. Kepada tutur manis itu yang mengikatnya. Semua orang mengarahkan pandangan pada Ning. Harap-harap cemas,karena tadi. Ning telah duduk pada tempatnya semula, berhadapan dengan Renjana. Dia tersenyum pada orang-orang yang hadir. Seolah memberi tahu bahwa dia tidak apa-apa.
Penulis: Khalimatus Sa`diyah (Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki)