
Amanat.id- Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II menggelar acara Diskusi Buku “Justice and Beauty in Muslim Marriage: Towards Egalitarian Ethics and Laws” karya Musawah di Gedung Teater Rektorat Lantai 4, Kampus 3 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Rabu (23/11/22).
KUPI II menghadirkan empat narasumber sekaligus. Ziba Mir-Hosseini dan Mulki Al-Sharmani yang merupakan editor Buku “Justice and Beauty in Muslim Marriage: Towards Egalitarian Ethics and Laws”, dosen Kajian Al-Qur’an di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an/ Majelis Muswarah (Board) KUPI Nur Rofi’ah, serta Dosen Ilmu Hadis di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Faqihuddin Abdul Qodir.
Sebagai narasumber pertama, Ziba menjelaskan tujuan diciptakannya buku yang ditulis oleh 17 penulis dari 12 negara sekaligus tersebut.
“Buku ini menjelaskan mengenai sebuah eksplorasi holistik tentang bagaimana pernikahan didasarkan pada kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan bersama,” tuturnya.
Banyaknya kasus diskriminasi terhadap perempuan, lanjut Mulki, ada tiga fondasi dalam pernikahan.
“Surah An-Nisa ayat pertama, fondasi menikah ada tiga, yaitu jiwa yang tunggal, takwa, dan samawa, ” imbuhnya.
Kesehatan Biologis Perempuan Perlu Dipertimbangkan
Dalam hubungan pernikahan, keadilan terhadap perempuan sebagai istri sering kali terpinggirkan. Rofi’ah mengawali pembicaraan dengan bertanya kepada audiensi laki-laki mengenai berhubungan badan saat istri sedang Premesntrual Syndrome (PMS) atau nifas.
“Berhubungan badan saat istri lagi PMS, baik tidak? Tidak. Karena laki-laki hanya merasakan enaknya, istri yang merasakan sakitnya. Begitu juga saat istri selesai nifas, pembuluh darah yang belum kering bisa pecah kalau dipaksa berhubungan. Itulah yang dinamakan keadilan hakiki, yaitu perspektif keadilan yang memastikan keadaan biologis perempuan tidak makin sakit, walaupun laki-laki tidak mengalami,” jelasnya.
Ia juga menambahkan mengenai kerentanan sosial perempuan yang sering kali diperlakukan tidak adil oleh suaminya.
“Menduakan dan di duakan rasanya pasti berbeda, seperti memukul dan dipukul. Kenapa perempuan dipukul? Karena dianggap tidak patuh, padahal belum tentu suaminya itu layak dipatuhi. Itu adalah kerentanan sosial bila mana perempuan diperlakukan tidak adil hanya karena menjadi perempuan,’’ ungkapnya.
Sebagai narasumber terakhir, Faqih memberikan satu contoh hadis yang sering disalahgunakan dalam hubungan pernikahan.
“Hadis yang sangat terkenal, bahwa laki-laki yang mengajak istrinya di ranjang, lalu istrinya menolak dan suaminya marah, maka istri itu akan dilaknat. Nah, hadis itu digunakan untuk menakut-nakuti perempuan. Padahal, hadis ini esensinya yaitu pentingnya saling melayani dalam kebutuhan suami istri,”
“Karena itu, dalam konsep mubadalah, jangan mudah marah apabila istri menolak karena suatu sebab. Karena kemarahan akan membuat hidup keluarga penuh laknat,” tuturnya.
Ia juga mengingatkan bahwa menggunakan hadis untuk mendiskriminasi perempuan adalah kesalahan yang besar.
“Orang yang menggunakan hadis untuk mendiskriminasi perempuan, maka salah besar,” pungkasnya.
Reporter: Aissya S