
Di tengah kekalutan perpolitikan nasional, proliferasi hoaks dan ujaran kebencian semakin mencapai titik nadir. Terlebih lagi, hegemoni pemilu 2019 yang kian dekat membuat peta perdebatan antar oknum politik semakin sengit dan interaktif. Tak ayal, populasi cebong dan kampret pun semakin menjamur memenuhi ruang publik.
Sengitnya narasi persaingan antar oknum politik tersebut telah melahirkan budaya kebencian yang berkelanjutan. Ya, orientasi demokrasi yang sebelumnya mengarah ke pembangunan dialog dan debat publik, telah beralih dengan menciptakan musuh bersama dan membangkitkan semangat menjatuhkan mereka yang dianggap lawan.
Evolusi demokrasi pun semakin kentara. Spirit demokrasi yang identik dengan kebebasan berpendapat telah bertransformasi menjadi kebebasan menghujat. Yang terjadi selanjutnya, kebenaran tidak lagi didasarkan pada fakta objektif. Hal itu diperparah dengan adanya perebutan dan dominasi wacana sebagai budak dalam percaturan perpolitikan nasional.
Hari ini, hasrat besar untuk berkuasa telah berkembang menjadi embrio politik kebencian yang mencederai nilai-nilai demokrasi. Parahnya, teriakan dukungan yang diboncengi ujaran kebencian juga semakin terdengar merdu dalam dunia virtual.
Melalui berbagai media, pendukung cebong dan kampret bersama-sama membangun dan menggiring opini publik. Lalu, dengan mudahnya saling menebar benih-benih kebencian satu sama lain.
Yang cebong mengatai kampret tidak layak menjadi pemimpin karena tak paham agama. Yang kampret menghina cebong karena hanya mampu ongkang-ongkang melihat rakyatnya tertindas di bawah ganasnya sistem kapitalis.
Pertarungan keduanya pun terus berlanjut mendekati wilayah agama. Agama yang seharusnya menjadi lambang kesucian suatu umat, harus ternodai oleh dosa-dosa oknum politik.
Tak hanya itu, peperangan politik yang lantang berkumandang dalam dunia virtual juga berhasil memicu lahirnya hoaks. Mata rantai hoaks dan ujaran kebencian memang menjadi kolaborasi yang mematikan. Mirisnya, hal tersebut menjadi santapan sehari-hari masyarakat virtual yang kemudian dibagikan secara cuma-cuma kepada tetangganya.
Inilah bukti dari apa yang disampaikan oleh William Gibson bahwa dunia virtual sebagai sesuatu yang enabling, bukan disabling. Apapun bisa dimungkinkan di dunia virtual, yang memungkinkan beroperasinya kekuasaan termasuk hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian yang diproduksi oleh situs-situs siluman itu pun seperti gayung bersambut.
Antara hasrat kuasa dan motif ekonomi
Sulit untuk tidak mengaitkan konten hoaks dengan hasrat kuasa dan ekonomi. Pasalnya, dua motif tersebut menjadi hal yang paling digemari dalam pembuatan dan penyebaran konten hoaks.
Dalam teritorial kekuasaan, penyebaran konten hoaks ditujukan untuk mempengaruhi pembaca tanpa pandang bulu. Ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah seringkali menjadi landasan penyebaran berita palsu tersebut.
Yang paling mengkhawatirkan, hoaks seringkali dibenturkan dengan kenyataan politik di mana, pihak konten kreator hoaks cenderung menstigmatisasi pihak-pihak oposisi yang memang cenderung kritis terhadap kekuasaan.
November lalu, seorang pria berusia 27 tahun ditangkap penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserce Kriminal (Bareskrim) Polri. Tanpa rasa bersalah, ia berani mengaitkan Presiden Jokowi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menyebarkan berita hoaks tersebut ke masyarakat luas (Kompas.com, 24/11/18).
Di sisi lain, motif ekonomi juga mencuat ke permukaan. Dengan mudahnya, pembaca digiring untuk mengakses situs-situs siluman yang membuat rekening mereka (baca: kreator hoaks) bertambah gendut. Tidak mengherankan, jika kemudian banyak oknum yang menginginkan pekerjaan semacam ini.
Bagi pemilik situs penyebar hoaks, Google Adsense adalah salah satu program penghasil uang yang sangat gurih. Jaringan periklanan berbasis Pay Per Click (PPC) ini terbukti menjadi metode yang tepat untuk menghasilkan uang dari trafik yang dijaring dari berita bohong dan provokatif.
Tak ayal, orientasi mereka bukan lagi menulis dengan sepenuh hati melainkan menulis dengan sepenuh gaji.
Jika pola yang demikian terus berlangsung agaknya kita harus menghapus cita – cita kemajuan negeri ini. Indonesia yang dibangun atas dasar kejujuran dan semangat keberagaman telah dirusak oleh serangkaian cara – cara primitif dalam bernegara.
Penulis: Agus Salim I.