
Sejumlah poster putih betulisan hitam mencolok, “#September Hitam” sempat terpampang di tiang listrik Dekanat Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (FUHUM) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Tidak ada penjelasan lebih dalam pada poster tersebut hanya bertuliskan “#September Hitam.”
Bagi sebagain orang yang melihatnya, frasa “September Hitam” akan terasa asing dan tidak bermakna. Namun, di balik dua kata tersebut tersimpan kisah-kisah penting mengenai sejarah kelam perjuangan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Frasa “September Hitam” merupakan manifestasi dari upaya masyarakat untuk merawat ingatan serta menuntut keadilan atas peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu. Indonesia sendiri hingga saat ini masih setengah hati dalam menuntaskan pelanggaran HAM.
Dalam Catatan Akhir Tahun 2024 Hak Asasi Manusia di Indonesia oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia bahkan mencatat dan menangani 2.305 kasus dugaan pelanggaran HAM dari seluruh Indonesia maupun luar negeri. Angka yang cukup tinggal sebagai negara yang menganggap dan menggembor-gemberokan negara demokrasi.
Banyak runtutan kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada sepanjang bulan September. Sejarah mencatat September menjadi bulan yang hitam bagi Indonesia bahkan pasca kemerdekaan. Berikut beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
1. Pembunuhan Salim Kancil (26 September 2015)
Seorang petani sekaligus aktivitis bernama Salim tewas saat aktif dan sangat keras menolak adanya tambang di Pesisir Desa Selo Awar-Awar, Kabupaten Lumajang. PT IMSS diketahui menjadi penanggung jawab atas tambang seluas 872,1 hektar di tahun 2011, namun penambangan ilegal telah dilakukan jauh sebelum hak operasi tambang diberikan.
Tambang tersebut merusak pertanian warga Pesisir Desa Selo Awar-Awar, khususnya pada lahan padi yang telah diprogram Salim bersama warga dengan merubah rawa. Lahan padi tersebut sangat membantu dan menjadi penunjang ekonomi warga. Kedatangan PT IMSS dengan operasi tambangnya merusak lahan pertanian warga, Salim, Tosan bersama warga membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir dengan tuntutan menghentikan tambang PT IMSS.
Salim, Tosan, dan forumnya diintimidasi. Satu-persatu mengundurkan diri dan tersisa hanya Salim dan Tosan. Naasnya, sebuah kelompok preman yang bernama “Tim 12” mengeroyok Salim dan Tosan. Tosan dibacok dan dipukuli hingga tidak sadarkan diri. Namun, Tosan berhasil diselamatkan warga lain. Berbeda nasib dengan Tosan, Salim yang sedang menggendong cucunya di rumah ditangkap, ditarik, dibacok, dan dipukuli hingga tewas.
Aparat keamanan menangkap pelaku pembunuhan, yaitu Haryanto dan Kepala Desa Selo Awar-Awar yang terlibat dalam kelompok tersebut. Namun, putusan yang didapatkan para pelaku dinilai tidak sebanding terhadap penderitaan yang dirasakan oleh Salim Kancil.
2. #ReformasiDikorupsi (24 September 2019)
Gerakan yang kerap disingkat dengan istilah “Gejayan Memanggil” ini merupakan aksi penolakan beberapa RUU kontroversial, khususnya RUU KPK yang dinilai akan mengancam nilai dari agenda reformasi. Terjadi demonstrasi diberbagai kota besar, terutama Jakarta dan diikuti oleh berbagai mahasiswa dari perguruan tinggi, bahkan para Guru Besar dari berbagai kampus juga mengirimkan surat untuk meninjau kembali RUU yang kontroversial.
Demontrasi tesebut pecah dan terjadi kekerasan serta penangkapan masaal. Bahkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat terdapat 5 massa aksi yang meninggal dunia, yaitu Immawan Randi dan Yusuf Kardawi yang merupakan mahasiswa Universita Halu Oleo Kendari, seorang pemuda asal Tanah Abang yang bernama Maulana Suryadi, serta dua orang pelajar bernama Akbar Alamsyah dan Bagus Mahendra.
3. Pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani (19 September 2020)
Di tengah operasi militer di Intan Jaya, Papua, Sabtu sore (19 September 2020, Pendeta Yeremia tewas mengenaskan, bukti penyiksaan nampak jelas pada tubuh Pendeta Yeremia bahkan dirinya tewas di kandang babi miliknya di Kampung Bomba, Distrik Hitadipta, Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Amnesty Indonesia mendapat kesaksian bahwa kekerasan dan pembunuhan tersebut dilakukan oleh aparat TNI. Tentu, pihak berwenang, baik polisi dan TNI membantah keras dugaan tersebut dan berdalih bahwa kasus tersebut dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Penyidikan pun dilakukan, Tim Pencari Fakta Gabungan (TPFG) di bawah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) saat itu, dan tim investigasi independen aktivis dan tokoh masyarakat Papua yang tergabung dalam Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya serta tim yang dibentuk oleh Gubernur Papua, semuanya menyimpulkan bahwa kasus pembunuhan Pendeta Yeremia dilakukan oleh aparat keamanan. Namun, hingga saat ini pelaku masih belum diketahui dan ditangkap.
4. Penggusuran Rempang (7 September 2023)
PT Makmur Elok Graha (MEG) bersama dengan polisi serta TNI mulai masuk ke Desa Rempang, Batam, Kepulauan Riau dan mulai mengintimidasi warga untuk pindah dari rumahnya. Hal tersebut dilakukan oleh polisi dan TNI karena PT MEG hendak membangun Rempang Eco-City.
Masyarakat Adat menolak keras pembangunan tersebut karena mereka telah hidup ratusan tahun di tanah Rempang. Catatan historis pada kitab Tuhfat An-Nafis karya Raja Ali Haji, disebutkan para warga telah menghuni pulau-pulau tersebut sejak 1720. Masyarakat adat dan warga wilayah Rempang enggan direlokasi karena Rempang telah dihuni bahkan sebelum Indonesia merdeka dan memiliki nilai historis yang kuat.
7 September 2023 menjadi hari pecahnya konflik antara masyarakat adat dengan pihak PT MEG, polisi dan TNI. Tembakan gas air mata oleh polisi dan TNI bahkan masuk ke area sekolah, puluhan siswa pingsan. Enam orang ditangkap, puluhan luka-luka, dan anak-anak mengalami trauma serius. Hingga saat ini masyarakat adat bersama dengan forum tetap menolak proyek Rempang Eco-City. Begitu juga penyerangan tetap terjadi di posko yang masyarakat adat dan forum buat.
Kasus-kasus di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Keadilan para korban masih menjadi hutang besar yang hingga kini belum dibayar lunas oleh pemerintah. Lebih pahitnya lagi, pemerintah justru terus mengulangi pelanggaran-pelanggaran HAM hingga saat ini.
KontraS memaparkan jika terdapat indikasi penurunan indeks kebebasan sipil di Indonesia. Dalam periode Januari-Juni tahun 2025, KontraS mencatat terdapat 503 orang yang telah menjadi korban kekerasan. Mereka mendapat tindakan kekerasan, seperti intimindasi, kekerasan fisik, serta psikis yang dilakukan oleh oknum aparat Polisi dan TNI.
Angka ini mengalami peningkatan selama periode 1-30 Agustus 2025. Menurut pencatatan Amnesty International Indonesia, ditemui setidaknya 1.821 ditanggap, 68 mengalami kekerasan fisik, 202 terkena gas air mata dan 10 orang meninggal dunia.
Pemerintah terus mengulangi pola lama yang mengingatkan akan bayangan masa lalu kelamnya pelanggaran HAM di Indonesia. Penembakan gas air mata, pukulan serta pentungan keras sering diterima oleh para pendemo. Menutupi pelanggaran HAM dengan narasi justifikasi yang sesat dan berlindung dibalik tugas menjaga kondusifitas.
Penulis: Hikam Abdillah