
Indonesia dengan kemajemukannya memiliki enam agama yang diakui secara legal menurut Undang-Undang (UU). Keenam agama ini memiliki posisi yang sama tinggi di mata hukum.
Namun, hingga saat ini masih ada masyarakat yang merasa superior terhadap agamanya hingga harus mendiskriminasi agama lain dan akhirnya bersikap intoleran. Salah satu sifat intoleran yang sering terjadi adalah adanya penolakan pembangunan rumah ibadah di lingkungan masyarakat.
Setiap agama tentunya membutuhkan tempat ibadah untuk memenuhi kebutuhan rohaninya. Rumah ibadah adalah tempat yang sangat disucikan dan menjadi simbol keberadaan agama itu sendiri.
Seiring perkembangan zaman, rumah ibadah berkembang menjadi pusat banyak kegiatan, seperti pusat perkembangan masyarakat, tempat bakti sosial, dan juga tempat belajar.
Dalam Jurnal “Analisa Potensi Tempat Ibadah Untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat” (2023) menyebutkan rumah ibadah tidak hanya sebagai tempat untuk berdoa kepada Tuhan, melainkan memiliki fungsi dan kegunaan lain, termasuk dari sisi ekonomi. Hal ini membuktikan seberapa penting keberadaan rumah ibadah di lingkungan masyarakat.
Kontradiksi aturan
Paling terkenal dalam kasus penolakan pendirian rumah ibadah adalah yang terjadi di Cilegon, Banten. Pendirian rumah ibadah Gereja HKBP Maranatha mendapatkan penolakan dari warga sekitar karena dianggap tidak memenuhi syarat pendirian rumah ibadah. Juga, yang paling terbaru adalah adanya penolakan renovasi Gereja Katolik Santo Paulus di Desa Jatibarang Kidul, Brebes hingga hampir menimbulkan konflik.
Pendirian rumah ibadah seharusnya menjadi hak para penganut agamanya karena pada dasarnya rumah ibadah tidak terpisahkan dengan sebuah agama. Adanya pelarangan dan penolakan pendirian rumah ibadah dapat menyebabkan standar ganda dan diskriminasi terhadap agama lainnya.
Polemik rumah ibadah tidak hanya muncul pada aspek sosial saja, prosedural yang tidak sesuai dengan hak masyarakat untuk mendapatkan kenyamanan dan perlindungan beragama menjadi alasan lain pendirian rumah ibadah menjadi sangat sulit.
Pengimplementasian UU Pasal 281 Ayat 2 tidak sesuai dengan realita. Contohnya pada 2013 lalu, terdapat penutupan Gedung Majelis Tafsir Al-Quran di Grobogan oleh Satpol PP Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Grobogan dengan alasan belum mempunyai Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagaimana disebutkan dalam jurnal Dinamika Pembangunan Rumah Ibadah Bagi Warga Minoritas Di Jawa Tengah (2016).
Dari kasus di atas, penolakan, pertentangan, dan hal lain yang menyulitkan pendirian rumah ibadah memang sudah menjadi kasus serius dan harus ditangani dengan bijak.
UU Pasal 4 Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan juga Pasal 22 memberikan fakta yang jelas bahwa hak beragama dan beribadah adalah hak yang tidak dapat dikurangi begitu saja dan juga negara harus menjamin perlindungannya
Menurut pasal tersebut juga, tidak boleh ada satupun, baik masyarakat sipil maupun pemerintah yang dapat menghalangi pendirian rumah ibadah.
Melonjaknya intoleransi
Staf Khusus Kepala Bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Romo Antonius Benny Susetyo sendiri menyebutkan bahwa kasus intoleransi di Indonesia terus meningkat. Faktor penyebabnya adalah sulitnya pembangunan tempat ibadah serta hak-hak minoritas.
Diskriminasi dan standar ganda yang tercipta akan membentuk sifat intoleransi ini. Kasus-kasus yang terkait dengan masalah perizinan haruslah diselesaikan dengan jelas dan adil agar tidak ada rasa iri dalam pendirian rumah ibadah. Kasus yang sampai mengindikasikan adanya intoleransi, seperti kasus di Cilegon sudah harus mendapatkan penanganan lebih lanjut dari pemerintah daerah maupun pusat.
Salah satu faktor lain dari sulitnya pendirian rumah ibadah karena adanya prosedural pemerintah yang sulit. Maka pemerintah harus dapat mempermudah izin administrasi dalam pembangunan rumah ibadah karena pada dasarnya rumah ibadah tidak diperuntukkan bagi perorangan dan manfaatnya dirasakan oleh seluruh masyarakat di lingkungan tersebut.
Pemerintah juga dapat memberikan penyuluhan dan edukasi langsung kepada masyarakat bahwa semua agama memiliki tempat dan posisi yang sama di Indonesia terlepas dari mayoritas ataupun minoritas.
Penanganan secara menyeluruh diperlukan untuk menghilangkan sifat-sifat tercela demi kerukunan bangsa Indonesia yang majemuk. Kemajemukan Indonesia mulai dari agama, kepercayaan, dan suku daerah merupakan sebuah harta berharga yang perlu dijaga.
Penulis: Gojali