
“Selagi muda carilah pengalaman sebanyak-banyaknya.”
Pernyataan ini selalu digaungkan kepada anak muda di manapun. Mereka yang percaya, akan berlomba-lomba mencari pengalaman untuk mengisi masa muda mereka. Didukung kemudahan teknologi untuk mengikuti berbagai kegiatan seperti webinar, volunteer, maupun magang. Tidak hanya satu kegiatan, mereka juga bisa mengikuti lebih dari lima dalam satu waktu. Namun, ternyata terlalu bersemangat melakukan berbagai pekerjaan berlebihan bisa membuat terjebak dalam toxic productivity.
Psikolog klinis dari Inggris, Dr. Julie Smith mengatakan toxic productivity merupakan sebuah obsesi mengembangkan diri dan merasa bersalah apabila tidak bisa melakukan banyak hal. Toxic productivity muncul dari kebiasaan yang menjunjung tinggi produktivitas. Melihat
pencapaian dan aktivitas orang lain yang sangat banyak membuat kita seolah tertinggal jauh.
Dalam dunia perkuliahan, mahasiswa tidak luput dari toxic productivity demi mengejar nilai IPK atau kesuksesan sebuah acara organisasi. Bahkan demi produktivitas yang tinggi mereka merelakan waktu tidurnya yang menyebabkan kesehatan menurun. Media sosial sempat ramai dengan postingan yang menyinggung kebiasaan mahasiswa dalam mengejar tugas, “Nugas sewajarnya kalo sakit terus mati kan keluarga yang sedih…”
Secara psikologis, toxic productivity yang dialami oleh seseorang dapat menyebabkan burnout
dan mereka cenderung hanya melihat apa yang belum mereka lakukan bukan apa yang sudah
ia kerjakan. Di samping itu, hal ini juga bisa memengaruhi hubungan sosial seseorang.
Sebagai pembuktian diri
Tuntutan akademik dan pemikiran “aku harus produktif” membuat seseorang tidak bisa beristirahat. Namun, mereka seringkali membagikan momen yang mereka lakukan di media sosial sebagai eksistensi diri. Berbagai respon positif maupun negatif tidak bisa terhindarkan. Respon positif yang sering diterima biasanya berupa kalimat pujian dan menanyakan bagaimana cara mencapai hal serupa. Di sisi lain, ia sering diberi slogan seperti si ambis, caper, si paling sibuk, dan sebagainya
Lalu apa kebiasaan yang termasuk toxic productivity? Bekerja berlebihan dan mengabaikan sekitar, menanamkan ekspektasi tidak realistis kepada diri sendiri, dan merasa kesulitan beristirahat. Terkadang tanpa sadar membuat kita melupakan sampai mana batas diri sendiri. Mindset yang sudah tertanam dalam diri mereka seolah sulit diganggu gugat oleh siapapun termasuk lingkungan sekitarnya.
Adapun beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi toxic productivity seperti menanamkan ekspektasi realistis, tahu akan batas kemampuan diri, dan menentukan prioritas apa yang hendak dilakukan. Perlu apresiasi terhadap diri sendiri agar tidak menuntun diri sendiri untuk bekerja berlebihan.
Apakah salah menambah pengalaman? Tentunya tidak, setiap orang berhak melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Seseorang harus mampu memahami kemampuan dan batas dirinya sendiri. Jika diibaratkan seperti meletakkan tanda baca kita harus cermat dan tepat, di mana tanda koma sebagai penentu jeda dan titik sebagai pemberhentian. Jika suatu kalimat dipaksakan akan menjadi kemubaziran dan tidak tepat.
Penulis: Nur Aeni Safira