
Eksplanasi sosial pada gender saat ini sudah sejak lama tercipta model harapan pada tingkah laku ataupun sentimental setiap individu. Terkhususnya di tengah penduduk Indonesia yang masih terpengaruh pada tradisi patriarki. Pria yang selalu mendapatkan tekanan untuk menjadi pribadi yang kuat, tidak sentimental, serta tangguh disegala situasi.
Representasi ini menciptakan sebuah kendala dalam berekspresi pada emosi pria serta dampak yang melebar luas terhadap kesehatan mental dan lingkaran sosial mereka.
Pembatasan ekspresi emosional pria di Indonesia ialah sebuah aktualisasi dari budaya patriarki yang telah lahir dalam masyarakat. Dari masa kecil anak laki-laki selalu diberikan pemahaman untuk dapat menahan emosional mereka dan dilarang untuk memperlihatkan sebuah kelemahan, misalnya menangis. Hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan citra maskulinnya laki-laki.
Data dari Buletin Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN) memperlihatkan persentase bias gender, sebanyak 69,1% orang tua cenderung memiliki bias gender yang rendah dan sebanyak 10,8% memiliki bias gender yang tinggi dengan melihat bahwa anak laki-laki dilarang untuk menangis. Tekanan ini berlanjut hingga mereka dewasa, disinilah pria diharapkan agar selalu tampil tangguh dan dilarang untuk memperlihatkan perasaan karena itu berakibat negatif pada psikis mereka.
Stereotip mengenai pria yang harus tahan banting serta memperlihatkan emosional yang tidak gampang telah melebur pada masyarakat dalam cara berpikirnya.
Menurut Penelitian dari Royyan Julian pada jurnal Maskulinitas, (2022) memperlihatkan mengenai pria lebih condong untuk menahan pengungkapan ekspresi emosi penyebabnya dari kompresi sosial, berlainan dengan wanita yang lebih leluasa dalam mengekspresikannya.
Hal ini memperlihatkan bagaimana ekspresi emosi bukan hanya melulu tentang biologis, melainkan juga terlahir dari standar sosial yang telah memberikan penyekatan untuk pria dalam memperlihatkan perasaan semacam kesedihan serta kekecewaan.
Studi yang diteliti Cantika Mulia (2023) mengamati bagaimana pria muda kebanyakan merasakan kesusahan dalam memperlihatkan emosi karena standar maskulinitas tradisional yang menyebarluas dalam kalangan masyarakat.
Beban ini membentuk kecenderungan agar tidak memperlihatkan perasaan, terlebih dalam lingkungan teman dekat atau keluarga.
Kalangan masyarakat memiliki peran dalam mengendalikan narasi mengenai bagaimana pria seyogianya memberikan respon emosi, serta seringkali beranggapan negatif pada ekspresi emosional pria yang dinilai lemah.
Narasi.tv mengulas dalam budaya patriaki, pria kerap diberikan beban harapan agar selalu terlihat tangguh, tegar, serta tidak memperlihatkan emosionalnya. Gambaran dari maskulin sendiri dianggapp bahwa menangis ialah tanda sebuah kelemahan yang tidak sesuai dengan citranya sebagai pria sejati. Dampaknya, pria sering menahan nangis dan emosi mereka, yang dapat berakibat negatif pada kesehatan mental.
Sebetulnya menangis itu merupakan sebuah respon emosioal yang wajar dan alami bagi setiap manusia, termasuk pria. Menahan suatu emosional agar memenuhi standar maskulinitas malah dapat memperburuk kedamaian psikologis.
Memperlihatkan emosi bukan berarti terlihat lemah, tetapi bagian dari sebuah pengalaman manusia yang sempurna. Setiap pribadi mempunyai hak dalam mengekspresikan perasaaannya dan pria boleh melakukannya. Dengan menghargai emosi serta mengakui pentingnya menangis sebagai bagian dari seluruh manusia, ialah sebuah hal penting dalam kesejahterahan psikologis yang lebih baik.
Penting bagi masyarakat untuk memberikan ruang pada pria agar dapat menunjukkan emosinya tanpa takut akan tuntutan sosial. Budaya patriaki yang didalamnya memiliki standar maskulinitas, kebanyakan dibuat dalam pola yang mendominasi.
Penelitian Irfan Hermawan dan Nur Hidayah (2023) menjelaskan bagaimana standar maskulinitas yang kebanyakan ada pada lingkungan sosial urban Indonesia mengenalkan cara menahan emosional berlebihan yang bahkan berakibat pada penekanan emosi alami. Emosi, seperti takut, kecewa, atau sedih dinilai sebagai peringatan pada sebuah eksistensi maskulin.
Sudi Jauzaa Hayaah Kusnandar (2023) dalam Lentera memperluas elemen penting tentang bagaimana maskulinitas yang tidak hanya sebagai perkakas dalam mendominasi, melainkan juga tanggungan sosial bagi pria. Isi dari penelitian studi tersebut memperlihatkan bahwa responden pria mengakui bagaimana mereka menanggung beban luar biasa dari harapan agar senantiasa kuat. Mereka lebih memutuskan untuk menunjukan emosi hanya pada lingkungan aman, misalnya lingkup keluarga atau teman dekat dan lebih condong menutup diri di lingkup publik.
Studi Addis dan Mahalik di Amerika memperlihatkan mengenai pria melalui tahap ketaatan tinggi pada standar maskulinitas tradisional yang segan berusaha pada pertolongan psikologis, walaupun menanggung tekanan mental.
Di Indonesia sendiri, studi yang sama juga diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh Universitas Siber Asia (UNSIA) 2023, yang menjelaskan bahwa 63% pria tidak memperlihatkan kondisi mental mereka serta segan dalam mencari bantuan. Kasus konkret dari studi Lentera mengoptimalkan mengenai akibat serius stigma maskulinitas, korban pembulian dan pelecehan seksual di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengungkapkan sempat merasakan adanya kemauan untuk bunuh diri karena tekanan sosial serta lemahnya penindakan hukum.
Dalam analisis teori Durkheim, kondisi ini bisa dikelompokkan sebagai altruistic suicide, di mana tekanan sosial lebih luas dampaknya daripada dorongan untuk mempertahankan diri.
Dampak mengenai pria yang kemungkinan tidak menjadi korban pelecehan seksual juga ikut memperparah kondisi. Jurnal Lentera memperlihatkan data dari Indonesian Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bahwa 33,3% pria Indonesia pernah mendapatkan kekerasan seksual, akan tetapi sangat minim dari mereka untuk melaporkannya.
Indikasi tersebut berhubungan langsung dengan stigma bahwa pria diharuskan untuk “kuat” dan dilarang menjadi korban. Penolakan sosial atas kemungkinan pria menjadi korban menutupi akses mereka pada keadilan dan pemulihan.
Menerapkan teori solidaritas sosial dari Emile Durkheim, Kusnandar menguraikan bahwa paksaan terhadap pria dalam lingkungan sosial masyarakat modern yang rumit dan individualistik mengakibatkan isolasi emosional.
Dukungan solidaritas tersebut berkurang dan membuat pria segan untuk mengekspresikan diri atau menyatakan sensitivitasnya secara terbuka. Pada kondisi ini, solidaritas sosial yang kecil dapat membuat parahnya tekanan psikologis hingga timbulnya pikiran untuk bunuh diri.
Langkah awal untuk menghapus hambatan ekspresi emosi pada pria adalah membongkar konstruksi sosial mengenai maskulinitas. Literasi mengenai gender harus dikemudikan dengan baik agar tidak hanya berfungsi mempertangguh perempuan, melainkan untuk memberikan kebebasan pria dari ekspektasi yang telah terbatasi.
Studi dari Kusnandar memperlihatkan bahwa kebanyakan pria muda sadar mengenai kekerasan seksual tidak terkhusus terjadi pada perempuan. Akan tetapi, mereka akan merasa aman apabila memperlihatkan diri dalam ruang tertutup, ini tandanya dibutuhkan perubahan standar masyarakat.
Representasi gender yang tegang serta standar maskulinitas tradisional bukan hanya membuat rugi perempuan, melainkan memberikan tekanan pada pria dengan harapan sosial yang tak manusiawi.
Stigma terhadap pria yang tidak memperlihatkan emosionalnya, menjadikan korban kekerasan, serta ketakutan untuk meminta pertolongan psikolog tentang lemahnya rasa emosionalnya.
Hal ini dapat dicegah dengan mempertajam literasi, peraturan publik yang tidak hanya inklusif ke gender, dan perlu melahirkan ruang yang aman untuk semua. Sebab budaya patriarki hanya akan membuat lemahnya tali solidaritas sosial jika tetap dipertahankan dan menimbulkan kesenjangan antara pria dan wanita, yang semestinya sama.
Penulis: Rizka Nur Nahdia Maramis
Editor: Aida Saskia Cahyani