
Amanat.id- Bak dua sisi mata koin, tradisi merupakan salah satu bagian yang tidak pernah bisa dipisahkan dari keberadaan suatu tempat atau wilayah. Secara praktis, suatu tradisi terbentuk dari adanya kehidupan komunitas masyarakat dalam suatu ruang hidup, melalui kebiasaan atau aktivitas berulang masyarakatnya yang lahir dari budaya setempat. Baik dalam bentuk adat-istiadat, ritual, maupun festival. Hal ini kemudian menjadikan tradisi sebagai salah satu warisan budaya yang mencerminkan identitas kelompok masyarakat maupun wilayah atau tempat.
Di era modernisasi, praktik pelestarian tradisi kian minim, baik di daerah rural, urban, maupun perkotaan. Fakta tersebut sering kali kita temui di berbagai wilayah. Padahal, melalui pelestarian tradisi, tidak hanya nilai filosofis kehidupan masa lalu dan identitas sosial yang bisa dipertahankan sebagai warisan nenek moyang. Akan tetapi juga bisa menjadi langkah alternatif dalam upaya konvervasi lingkungan dan aspek kehidupan lain. Sayangnya, diluar hal itu pelestarian tradisi sebagai konservasi lingkungan kerap melenceng dari kondisi idealnya.
Seperti halnya yang terjadi pada sendang di wilayah Ngijo, Gunungpati, Semarang. Sendang tersebut memiliki tampilannya bak kubangan air sisa pembuangan. Air sendang yang sangat keruh disebabkan oleh adanya ekspansi perumahan di wilayah tersebut. Di tambah, punahnya pepohonan di sekitar turut menyumbang dampak keruhnya sendang di wilayah Ngijo.
Semakin berkembangnya zaman, persoalan tersebut dapat ditemui di mana saja saat ini. Utamanya di area kampung-kota dengan tingkat pembangunan gedung tinggi yang masif. Tak hanya tradisi yang mulai terkikis, perilaku menjaga lingkungan hidup juga semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Oleh karenanya, perlu merekonstruksi ulang budaya melalui tradisi. Sehingga tak hanya makna filosofis yang didapatkan, melainkan sekaligus dengan praktik upaya konservasi ekologi yang berkelanjutan.
Menyikapi isu tersebut, PekaKota Institute menyelengarakan PekaKota Forum ke-76 bertemakan “Upaya Kolektif Merawat Ruang Hidup, Melalui Tradisi Masyarakat”. bertempat di halaman depan Grobak Art Kos Kolektif Hysteria, Jl. Stonen 29, Bendan Ngisor, Kota Semarang, Sabtu (22/3).
Turut hadir juga tokoh penggerak Kampung Tematik Ranting Pelangi Wonolopo, Mulyono dan seorang Dosen Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Muhajir sebagai pembicara dalam forum diskusi tersebut, serta mengundang juga warga dari Kampung Jawi.
Pemaknaan Ulang Tradisi melalui Festival Kampung
Pukul setengah lima sore, tepat selepas hujan reda, perbincangan pun bermula dari tradisi kampung apa saja yang masih sering di selenggarakan.
Mulyono merespons dengan menceritakan proses dirinya dengan teman-teman di Wonolopo pertama kali menyelenggarakan Festival Sobo Roworejo.
Pada mulanya, para penggagas acara tersebut bermaksud menggali tradisi apa saja yang ada di kampung Wonolopo. Setelah melakukan pemetaan tradisi yang memiliki keterkaitan dengan upaya konservasi lingkungan, tradisi-tradisi tersebut kemudian dikemas dalam bentuk penyelenggaraan festival.
“Bagaimana tradisi itu kita rawat, kalau kita lihat potensinya dulu. Kalau ada di kampung itu kita riset, lalu di pilah-pilah,” ujarnya.
Ia menambahkan, festival yang digelar di Kampung Wonolopo bertujuan untuk melestarikan tradisi yang sudah turun temurun melalui medium yang mudah diterima oleh masyarakat. Salah satunya tradisi rutinan masyarakat pada sumber mata air yang terdapat di Wonolopo, ‘Sendang Mbelik’.
Cerita turun temurun seputar Sendang Mbelik serta pemaknaan masyarakat sekitar terkait sendang dijadikan tema besar dalam penyelenggaraan Festival Sobo Roworejo.
“Kita membuat kegiatan di mana bisa merawat tradisi yang ada, terutama nguri-nguri Sendang Mbelik sebagai pengantar dalam Festival Sobo Roworejo,” imbuhnya.
Mulyono juga menilai bahwa saat ini untuk merawat tradisi menjadi tantantangan tersendiri. Namun, Mulyono melihat tantangan tersebut dapat menjadi sebuah motivasi untuk membuat aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan upaya merawat tradisi di kampung Wonolopo. Sebab, dengan melestarikan suatu tradisi melalui kesenian dapat menjadi bentuk upaya merawat ruang hidup yang telah ditinggalkan.
“Meskipun ada tantangan tertentu yang harus dihadapi, itulah yang menjadi alasan kami untuk tetap bertahan. Bahwa melalui jalur kesenian dan tradisi dapat merawat lingkungan hidup kami di kampung,” katanya.
Selaras dengan Mulyono, sebagai seorang Dosen yang meneliti tradisi pada masyarakat, Muhajir melihat bahwa kebanyakan dari apa yang dilakukan masyarakat terhadap tradisi yang turun-menurun, memiliki kaitannya dengan upaya konservasi lingkungan. Meskipun sebagian warga lokal memaknai bahwa menjalankan tradisi tersebut merupakan upaya melestarikan budaya dari nenek moyangnya terdahulu.
“Kalau di daerah Kudus, Pati, Rembang itu masih sangat hidup kaitannya dengan tradisi yang merawat lingkungan, saya amati memang di luar konservasi dan masih sangat hidup,” tuturnya.
Lebih lanjut ia menuturkan bahwasannya cara masyarakat guna melakukan penghormatan pada sesepuh kampung yang telah membuka desa, maka dilakukannya tradisi bernama “Sedekah Bumi”. Hal ini kerap disebut danyang sementara lokasi untuk menjalankan tradisi tersebut dinamai punden. Muhajir mengatakan bahwa keyakinan masyarakat tersebut sama halnya dengan bentuk peribadatan kepada Tuhan.
“Kalau di dalam tradisi ini biasanya ada situs, terus di sana biasanya dilaksanakan semacam sedekah bumi untuk memperingatinya,” tambahnya.
Pergeseran Cara Pandang Dari Mistis Ke Rasionalitas
Melihat kondisi saat ini, Muhajir menerangkan bahwa banyak masyarakat yang tinggal di kampung kota mayoritas merupakan pendatang dengan mata pencarian yang tidak bergantung pada alam sekitarnya. Selain itu, tradisi yang dilakukan masyarakat zaman dulu, kurang bisa diterima masyarakat hari ini yang menekankan pada rasionalitas.
“Apa yang dihadapi sudah berbeda, mobilitas perkotaan juga turut menyulitkan, penduduk juga berubah,” ucapnya.
Melihat permasalahan di mana semakin mengikisnya tradisi-tradisi nenek moyang di masyarakat, Muhajir mengatakan bahwa sebagai upaya merawat dapat dilakukan riset secara mendalam yang berkaitan dengan sebuah tradisi. Jika hal ini bisa direalisasikan, dengan begitu suatu tradisi dapat diterima oleh masyarakat saat ini.
“Coba memakai pendekatan rasional. Dari yang klenik dicari keterkaitan dengan yang logis dan familiar agar dapat diterima karena dibicarakan secara ilmiah,” ujarnya.
Penulis: Yasin Fajar (Asisten Project PekaKota Institute)