
Fenomena stecu sebagai tren berjoget di media sosial seperti TikTok telah menjadi semacam panggung virtual bagi remaja, terutama perempuan untuk menampilkan tubuh dan identitas mereka secara visual dan masif. Dalam konteks ini, pakaian, gestur, serta irama tubuh bukan sekadar ekspresi personal, tetapi bagian dari logika visual yang ditata oleh algoritma dan konsumsi maskulin.
Stecu menjadi praktik budaya digital yang mereproduksi struktur visual klasik mengenai tubuh perempuan sebagai objek pandang, sebagai to be looked at ness dalam istilah Laura Mulvey. Dengan pendekatan reflektif. Jadi, kurang lebih fenomena ini bisa dilihat sebagai bentuk baru dari voyeurisme digital dalam lanskap post sinematik.
Tubuh perempuan dalam tren Stecu, tidak hadir dalam narasi besar, tetapi dalam narasi kecil yang mengulang, tidak ada bencana dalam cerita, justru narasinya sendirilah yang menjadi bencana.
Perempuan terutama remaja menjadi bagian dari sirkulasi gambar yang tak putus, tubuh mereka bergerak sesuai irama, diiringi caption menggoda, efek visual, dan loop algoritmik.
Namun, di balik itu semua, pertanyaannya tetap sama, siapa yang melihat, siapa yang mengatur, dan siapa yang menikmati?
Scopophilia Digital dan Panggung Algoritma
Laura Mulvey dalam Visual Pleasure and Narrative Cinema menulis bahwa dalam sinema klasik, perempuan dihadirkan untuk dipertontonkan ditata secara visual demi efek erotis dan pada akhirnya menjadi objek dari tatapan laki-laki. Hal ini tidak hanya tetap hidup di TikTok, melainkan semakin liar karena dorongan algoritmik.
Dengan sistem yang secara otomatis mengangkat video-video dengan engagement tinggi, tubuh perempuan dalam berbagai bentuk representasinya, entah dengan pakaian terbuka atau bahkan yang berhijab namun berpakaian ketat didorong ke garis depan layar. Pilihan busana seperti crop top, tank top, atau gamis ketat dengan jilbab menjadi bahasa tubuh digital yang dipahami sebagai menjual. Entah sadar atau tidak, perempuan sedang tampil dan penonton laki-laki menatap, menilai, menyukai, dan menyebarkan.
Penonton tidak hadir secara fisik, namun ia ada, bahkan hadir secara lebih dalam ia mengintip dari layar, mengontrol dari jarak jauh, dan merasa memiliki kekuasaan atas tampilan. Di sini lah voyeurisme menemukan bentuk barunya: sunyi, tanpa disadari, namun sangat intens.
Dispositif stecu
Tidak seperti film yang butuh alur dan narasi, Stecu cukup dengan gerak dan visual. Tubuh tidak perlu menjelaskan siapa dirinya, cukup menari dalam durasi lima belas detik. Pakaian dalam tren ini bukan lagi alat pelindung atau ekspresi jati diri, melainkan visual filter yang menyamakan semua tubuh dalam logika viralitas.
Crop top bisa menjadi simbol kebebasan, tetapi ia juga bisa menjadi simbol konsesi pada tatapan. Begitu pula kerudung yang dikenakan dengan baju ketat mungkin berniat tampil “sopan”, tetapi tetap menyodorkan bentuk tubuh sebagai pusat visual. Gestur tangan, lirikan mata, lenggokan pinggul semuanya menjelma narasi mikro yang dirancang untuk menarik perhatian dalam sekali gulir. Tak ada ruang untuk narasi personal, tubuh menjadi potongan yang bisa ditampilkan, diedit, diputar ulang.
Dalam film, sutradara mengarahkan segala adegan, tetapi di dunia Stecu, pengarahnya adalah algoritma. Ia yang menentukan mana tubuh yang menarik, mana pakaian yang layak ditampilkan, mana yang akan diangkat ke For You Page dan yang lebih rumit, algoritma tidak bisa disalahkan.
Remaja perempuan di sini berperan ganda, mereka adalah kreator sekaligus korban. Mereka membuat video untuk dilihat, namun juga dibentuk oleh harapan visual yang ditanamkan melalui like dan komentar. Dalam masyarakat patriarkal yang kini mendapat mesin distribusi luar biasa, tubuh perempuan direduksi menjadi tontonan digital yang siap viral, siap klik.
Fetishisme baru, close-up, dan potongan tubuh
Christian Metz berbicara soal fetishisme teknis dalam sinema kecenderungan kamera untuk menunjukkan bagian tubuh tertentu sebagai objek kenikmatan. Fenomena ini hidup subur dalam Stecu, banyak video diambil dari sudut rendah, dekat, atau fokus pada bagian tubuh yang spesifik, perut rata, lekuk pinggul, paha tertutup legging, atau wajah bening berfilter.
Tubuh perempuan, bahkan yang tertutup sekalipun, tidak luput dari pembingkaian visual yang menggoda. Ia tidak lagi menjadi satu kesatuan utuh yang menyampaikan makna, tapi serpihan visual yang dipilih karena “layak tayang”. Tubuh yang dibagi-bagi, direkam, diputar ulang semua demi viralitas. Maka fetisisme di sini bukan hanya soal objek tubuh, melainkan pada kecepatannya untuk dikonsumsi: kecepatan untuk disebar, dinilai, dan ditatap.
Mungkin di awalnya Stecu lahir sebagai bentuk ekspresi tubuh yang ringan dan merdeka. Tapi dalam dunia digital yang ditentukan algoritma dan dibentuk dalam kerangka patriarki, Stecu berubah jadi panggung yang memantulkan kembali kekuasaan tatapan laki-laki. Pakaian bukan lagi sekadar gaya, tetapi sinyal visual. Tubuh yang berjoget bukan lagi untuk diri sendiri, tapi untuk tatapan publik yang tak terlihat, tapi selalu hadir.
Tubuh perempuan dalam Stecu menjadi semacam “brand personal” yang dikurasi oleh likes dan views.
Maka sekali lagi, perlu kita pikir-pikir bersama, siapa yang sebenarnya berjoget? Apakah perempuan itu sendiri, atau algoritma yang sudah lebih dulu menari di belakang layar?
Penulis: Ahmad Kholilurrokhman