Tahun 2017 lalu, permainan online Blue Whale Challenge berhasil mengguncang jagad raya. Ada lebih dari 100 anak yang menjadi korban bunuh diri di Rusia. Bukan karena ancaman melainkan terpengaruh permainan online tersebut.
Blue Whale Challenge merupakan game online yang meminta pemainnya menuntaskan 50 tugas selama 50 hari. Tugas tersebut bermacam-macam, mulai dari menonton film horror yang menyeramkan, menyakiti diri sendiri bahkan berakhir dalam kematian.
Kasus di atas hanyalah sepenggal kisah dari upaya bunuh diri yang belakangan ini marak terjadi di Indonesia. Upaya-upaya bunuh diri tersebut mengarah pada sebuah bentuk perilaku bernama self harm.
Jenny, S. (2016) dalam bukunya Understanding Self Harm. Mind mendefiniskan self harm sebagai suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu untuk mengatasi tekanan emosional atau rasa sakit secara emosional dengan cara menyakiti dan merugikan diri sendiri tanpa bermaksud untuk melakukan bunuh diri.
Mengikisnya kepedulian manusia terhadap sesamanya mengakibatkan tak sedikit dari kita yang abai terhadap masalah ini. Pengetahuan masyarakat akan kesehatan mental sangatlah minim. Besar kemungkinan jika mereka tidak tahu apabila self harm merupakan bagian dari gangguan mental.
Lantas apakah mereka juga tahu jika tindakan melukai tubuh dengan benda tajam atau benda tumpul dan sengaja menelan sesuatu yang berbahaya adalah bentuk-bentuk dari perilaku self harm?
Sebenarnya jika dikaji secara mendalam, kita akan mengetahui bahwa pelaku self harm melakukan langkah yang keliru untuk melindungi dirinya dari trauma psikologis masa kecil. Dokter spesialis kesehatan jiwa di RSUD dr Soetomo, Yunias Setiawati menyampaikan bahwa dalam seminggu rata-rata sepuluh pasien remaja datang dalam kondisi sudah menggores tangan, mencakar, ataupun membenturkan diri ke tembok.
Para remaja tersebut rata-rata berusia 13-15 tahun. Jumlah riil pelaku self harm pun sulit untuk diidentifikasi. Pelaku yang akhirnya mencari pertolongan baik dengan mendatangi rumah sakit ataupun lembaga kesehatan mental diperkirakan tidak mencapai 50% dari total pelaku self harm.
Fenomena ini tak ubahnya seperti gunung es, di mana kasus yang belum terungkap jumlahnya sangat besar. Bahkan, jumlah remaja yang diketahui memiliki perilaku self harm ini pun tidak menutup kemungkinan untuk bertambah. Hal itu tak lepas dari adanya stigma negatif mengenai self harm yang mengakibatkan para pelaku tidak segera mendapatkan pertolongan yang dibutuhkan.
Agaknya, fenomena self harm ini menjadi perhatian khusus masyarakat jika tidak ingin orang terdekat mengalami hal semacam ini.
Penulis: Saffina Qurrotunnida Faizati