
Amanat.id- Program Studi (Prodi) Ilmu Seni dan Arsitektur Islam (ISAI) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Tengah menggelar acara Metamorfosart, di Auditorium II Kampus 3, Sabtu (19/10/2024).
Acara tersebut menghadirkan tokoh kondang, seorang budayawan sekaligus penyanyi, Sudjiwo Tedjo sebagai bintang tamu.
Kerap disapa “Mbah Tedjo”, setelah menyanyikan lagu ‘Demokrasi’, dirinya menerangkan makna lagu tersebut ialah tentang indahnya perbedaan pilihan.
“Dari lagu ini, saya ingin menyampaikan bahwa berbeda-beda pilihan itu lebih indah,” ucapnya.
Mengingat adanya perbedaan pilihan Calon Gubernur (Cagub) masa dulu, Mbah Tejo mengatakan bahwa hal itu kini menjadi kenangan yang menyisakan tawa.
“Dulu ketika kita beda pilihan Cagub, sekarang itu sudah menjadi masa lalu yang kita kenang dengan tawaan,” katanya.
Ia juga mengatakan bahwa Pilkada dan catur, keduanya sama-sama hanyalah sebuah permainan.
“Seserius-seriusnya catur ini hanya permainan, orang yang tidak sadar, akan merasa dendam,” jelasnya.
Dalam setengah tubuhnya, sambung Mbah Tedjo, manusia seperti binatang yang memiliki intuisi dan tidak peduli dengan kata-kata.
“Kata Gus Mus, setengah tubuh kita itu binatang yang punya intuisi dan tidak peduli dengan kata-kata,” tuturnya.
Lantas dirinya mengumpamakan intuisi seekor kobra dengan kondisi manusia saat ini ketika akan menentukan pilihan.
“Sama seperti saat memegang ular kobra, yang didengar itu frekuensi hati. Kalau gelisah kobra menggigit, tapi di zaman sekarang saya suka A, mau menyatakan harus tengok kiri kanan dulu,” lanjutnya.
Dirinya juga mengatakan menjadi orang yang netral karena hanya untuk mencari aman, sebenarnya mereka berada pada posisi yang rawan.
“Orang di tengah itu rawan, paling enak jalan di kiri atau kanan,” ucapnya.
Namun, sambungnya, dengan menjadi pemusik dirinya bisa dekat dengan semua orang.
“Tapi bisa dekat dengan semua orang karena saya pemusik,” paparnya.
Menurutnya, politik memiliki cara kerja yang sama dengan kebudayaan, bahwa bahri banyaknya pilihan, hasil akhir dapat berubah kapan saja.
“Dalam kerja kebudayaan, saat kita mau A jadinya bisa B, begitu juga di dalam politik rencana A jadinya B,” ujarnya.
Ia juga menerangkan bahwa banyak calon yang meminta pada KPU akan berdampak pada tidak adanya orang-orang berprestasi yang tidak mendaftar.
“Sekarang calon yang datang ke KPU, ngemis, jadinya orang-orang yang berprestasi dan pintar malas datang ke KPU untuk mendaftar,” tutupnya.
Reporter: Nailatul Fitroh
Editor: Kumala