By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Amanat.idAmanat.idAmanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Buku
    • Film
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
  • Cerpen
  • Puisi
Reading: Ketika Sastra Tidak Dibaca
Share
Notification Show More
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Amanat.idAmanat.id
  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Advertorial
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Kontak
Search
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Buku
    • Film
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
Have an existing account? Sign In
Follow US
(Sumber gambar: tirto.id)
Kolom

Ketika Sastra Tidak Dibaca

Last updated: 5 Desember 2018 8:34 pm
Sigit A.F
Published: 5 Desember 2018
Share
SHARE
(Sumber gambar: tirto.id)

Tingkat literasi di Indonesia memang rendah. Itu sudah dipaparkan oleh pelbagai Lembaga survei, baik nasional maupun internasional. Apalagi soal literasi sastra. Nasibnya tentu lebih mengenaskan.

Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Lembaga Survei Indonesia akhir 2017 lalu, jumlah pembaca sastra usia 17 tahun ke atas di Indonesia hanya 6,2 persen. Sebuah angka yang membuat kita geleng-geleng kepala dan bertanya, setidak penting itukah karya sastra di bumi Indonesia?

Selama ini, sastra di Indonesia memang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Ia tidak pernah menjadi kebutuhan massal, yang digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kondisi tersebut tidak terjadi begitu saja. Ada skema besar, dalam kurikulum pendidikan nasional yang mengkonstruk semua itu.

Ya, lagi-lagi kembalinya ke pemerintah. Semacam ada pengaburan terhadap kesusastraan, dari generasi ke generasi. Ini imbas dari politik pendidikan di Indonesia, yang seolah membuang karya sastra dari sekolah-sekolah. Padahal, dalam sistem pendidikan saat negeri ini masih dijajah Belanda, siswa di Algemene Middlebare School (setingkat SMA) diwajibkan membaca dan membahas 25 novel. Sayang, politik pendidikan seperti itu tidak diterapkan lagi pasca kemerdekaan. Yang terjadi selanjutnya adalah, karya sastra semakin diabaikan, terpinggirkan, dan hampir-hampir jatuh ke jurang tak berlembah.

Memang, literasi tidak hanya diukur dari seberapa banyak membaca buku. Literasi dalam pengertian yang sederhana bisa diartikan sebagai cara membaca. Apakah dalam membaca, ada pemaknaan yang didapat. Indikator keberhasilannya adalah, dari pembacaan pertama timbul sebuah tanda tanya baru yang mendorong orang untuk melakukan pembacaan selanjutnya. Tidak harus dalam bentuk buku. Itu nanti yang akan sangat berguna untuk dikontekstualisakan pada realitas sosial di zamannya. Lalu, bagaiamana jika sastra tidak dibaca?

Manusia tanpa rasa

Domain sastra adalah mengolah sensibilitas, imajinasi, dan perasaan halus manusia. Menghidupkan nurani kemanusiaan. Ini sejalan dengan pandangan yang mengatakan bahwa sastra merupakan derivasi (turunan) dari agama yang tugasnya adalah memperindah akhlak manusia. Ia berbeda dengan bacaan yang domainnya mengolah nalar manusia, seperti kimia, matematika, atau biologi.

Akan menjadi sebuah anomali jika, lembaga pendidikan hanya mengolah nalar manusia dan mengabaikan pengolahan perasaan. Besar kemungkinan yang dihasilkan hanya manusia-manusia tanpa rasa. Karenanya bukan menjadi jaminan, tingginya pendidikan seseorang, meniscayaan dia tidak akan melakukan tindakan yang menciderai nurani. Itu dibuktikan dengan masih banyak pejabat publik yang bisa tersenyum saat ditangkap polisi (tak tahu malu). Atau, masih maraknya kasus pelecehan seksual di lembaga pendidikan. Seolah apa yang menjadi peringatan Pramudya Ananta Toer terjadi; “kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” Ironis!

Sensibilitas penting dalam kehidupan. Rasa yang sudah menjadi bawaan manusia sedari lahir harus diolah supaya kepekaan terhadap realitas (hidup, lingkungan, masyarakat, dll) ada. Semakin tinggi kepekaan seseorang terhadap realitas, semakin tinggi pula rasa kemanusiaan dalam dirinya. Ini akan menjadi anti-thesis__menggunakan teori Karl Marx__di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang semakin ke sini semakin individualistik-matrealis. Sehingga, apa yang menjadi peringatan Jean Boudrillard tentang berakhirnya kehidupan sosial tidak akan (belum) terjadi.

Arogansi

Di zaman kemajuan teknologi informasi hari ini, terjadi perubahan sikap sosial yang memprihatinkan. Kita tidak lagi mempunyai standar nilai lagi di media sosial. Semua orang seperti dalam kedudukann yang sama, bisa mengolok-olok yang lebih tua, menyepelekan yang lebih muda. Bebas; chaos.

Ini terjadi di semua lini, keagamaan, budaya, dan yang paling parah di ranah politik. Kita akan begitu mudah menemukan berita hoaks (yang isinya menjatuhkan lawan politik), ujaran kebencian di media sosial. Bahkan, kata-kata yang sebenarnya indah (dalam agama) menjadi sebegitu mengerikan untuk didengar. Selalu basisnya adalah curiga, benci dan tidak percaya. Itu yang membuat hidup seorang yang mendengarnya terasa tidak nyaman. Ada dimensi yang begitu subtansial namun diabaikan. Semua itu adalah cerminan wajah Indonesia; masyarakat yang tidak memperhatikan sastra.

Penulis jadi teringat perkataan Ahmad Tohari ketika melakuakan wawancara, Kamis (1/11/2018) lalu . Ia merenungi kondisi keberagamaan dan kebangsaan kita hari ini. Di mana agama tidak dipahami dan sastra tidak dibaca.

 

Penulis: Sigit AF

Budaya Ngopi Mahasiswa dan Manfaatnya Bagi Tubuh
Intelektual
Silent Walking, Rileksasi untuk Kembali Pada Inti Diri
Mahasiswa Bergerak, Militer Menembak
Menghapus Cita-cita Kemajuan
TAGGED:karya sastraliterasi sastramasyarakat tanpa sastrastandar nilaiujaran kebencian
Share This Article
Facebook Email Print

Follow US

Find US on Social Medias
FacebookLike
XFollow
YoutubeSubscribe
TelegramFollow

Weekly Newsletter

Subscribe to our newsletter to get our newest articles instantly!
[mc4wp_form]
Popular News
Film

[Resensi Film] ‘Mukti utowo Mati’

Zulfiyana Dwi
14 April 2019
Sibuk Skripsi, Khusniawati Sempatkan Jualan Buket saat Wisuda UIN Walisongo
“Kantin Kejujuran” di UIN Walisongo Tidak Diperbolehkan, Ini Alasannya!
Peduli Lingkungan, Mahasiswa KKN Gandeng Komunitas Gesang Buat Taman Teratai di Rawa
Puasa Tidak Jadi Halangan Mahasiswa Gelar Aksi Duduki Rektorat Jilid II
- Advertisement -
Ad imageAd image
Global Coronavirus Cases

Confirmed

0

Death

0

More Information:Covid-19 Statistics
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Buku
    • Film
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
  • Cerpen
  • Puisi
Reading: Ketika Sastra Tidak Dibaca
Share

Tentang Kami

SKM Amanat adalah media pers mahasiswa UIN Walisongo Semarang.

Kantor dan Redaksi

Kantor redaksi SKM Amanat berlokasi di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Lantai 1, Kampus III UIN Walisongo, Jalan Prof. Hamka, Ngaliyan, Kota Semarang, dengan kode pos 50185

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Advertorial
  • Kontak
Reading: Ketika Sastra Tidak Dibaca
Share
© Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?