
Tahta, perjuangan dan cinta, adalah tiga hal yang biasa. Namun, apabila dipadukan akan menjadi sesuatu yang menarik. demikianlah Hanung Bramantyo berusaha memadukan tiga hal tersebut ke dalam film terbarunya dalam genre drama kolosal.
Sebuah kisah tentang perjuangan Raden Mas Rangsang yang diperankan oleh Marthino Lio, untuk menyatukan Nusantara, Kisah asmara Sultan Agung dengan Lembayung seorang putri kepala desa yang diperankan oleh Putri Marino pun turut mewarnai kisah ini.
Cerita dikemas dengan apik dan menarik, sosok gigih dan bijaksana digambarkan oleh Sultan Agung ketika memimpin pasukan kerajaan Mataram. Mereka menyerbu Veerenigde Oostindische Compagine (VOC). Sebab, sang Sultan tetap kukuh tak menerima tawaran kerjasama VOC dan memilih jalan perang. Meskipun, pertumpahan darah tak bisa dielakkan. Berikut salah satu kutipan dialognya:
“Aku ngga peduli orang mau nulis apa tentang diriku, kabeh sejagad iki oleh nulis apa saja tentang diriku, tapi satu hal yang harus diketahui, penyerangan ke Batavia itu bukan untuk hari ini tapi untuk ratusan tahun ke depan. Dunia harus tahu, kalau kita itu bukan bangsa yang lemah, anak dan cucu kita akan mencatat itu.”
Dari dialog tersebut dapat kita pahami bahwa sosok Sultan Agung adalah seorang pemimpin yang tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, namun ia juga berfikir untuk masa depan bangsanya. Dengan gigih, ia ingin menyatukan Nusantara dan tak ingin bangsa ini dianggap sebagai bangsa yang lemah.
Memang film tentang sejarah sudah banyak diangkat dari tahun ke tahun, akan tetapi penyajian alur cerita dalam film yang berdurasi 148 menit ini cukup menarik dengan dramatisasi ala film drama dibandingkan kisah-kisah yang sering kita dengar, atau pada buku-buku sejarah.
Kisah asmara Sultan Agung dan Lembayung ini memang tidak tertuang dalam sejarah, namun perjalanan kisah mereka justru mampu mewarnai cerita itu sendiri. Meskipun mereka tidak dapat bersatu karena kedudukan Lembayung sebatas putri kepala desa, jauh dari kedudukan kedaton, akan tetapi Lembayung tetap memendam perasaan terhadap Sultan.
Pada bagian akhir cerita Sultan Agung mulai menghidupakan kembali padepokan yang mati karena ditinggal perang. Dengan diperlihatkan bagian dalam padepokan ketika santri-santri menari, menyanyikan tembang, dan memainkan permainan tradisional menambah kesan budaya jawa yang kental di film ini.
Patut disayangkan, pada penutupan cerita film terdapat scene yang nampak aneh, sebab tidak diperlihatkan jelas bagaimana kemenangan pasukan Mataram terhadap VOC.
Kata ‘Siap mukti utowo mati’, yang artinya menang atau mati sering di ucap oleh Sultan Agung kepada para pasukannya, seolah mampu menyulut rasa nasionalisme yang tinggi. Itu artinya, lebih baik kita memulai perang sebelum sengsara dijajah oleh bangsa asing.
Adapun nilai yang bisa kita ambil dari film ini antara lain, menjadi motivasi diri kita untuk tetap menjunjung tinggi rasa Nasionalisme dalam era ini, dan tetap berjuang hingga cita-cita tergapai.
Judul Film : Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta
Genre : Action, Drama Kolosalhip
Sutradara : Hanung Bramantyo
Penulis naskah : Ifan Ismail, Bagas Pudjilaksono, Mooryati Soedibyo
Durasi : 148 menit
Rilis : 23 Agustus 2018
Resentator : Zulfiyana Dwi Hidayanti