
Amanat.id- Suasana tegang terjadi ketika Kelompok Studi Mahasiswa (KSMW) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo menggelar diskusi di samping Auditorium 2 Kampus 3, Senin (14/4/2025).
Sebelumnya KSMW UIN Walisongo bersama Forum Teori dan Praksis Sosial (FTPS) menggelar diskusi bertemakan “Fasisme Mengancan Kampus: Bayang-Bayang Militer bagi Kebebasan Akademik.”
Tak berselang lama, seorang pria berperawakan agak gempal dengan kaos hitam dan celana jeans meminta untuk mengikuti forum diskusi tersebut.
Ketua KSMW UIN Walisongo, Ryan Wisnal berpendapat bahwa pria tersebut diduga merupakan intel.
“Ketika kami menggelar diskusi, ada orang asing dengan identitas tak dikenal. Kami sempat menanyakan asal instansi namun tidak digubris,” ujarnya saat diwawancarai oleh tim Amanat.id, Senin (14/4).
Mahasiswa yang akrab disapa Wisnal itu menceritakan, setelah pria yang diduga sebagai Intel pergi, datang Satpam dengan satu anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa).
“Kemudian datang satpam bersama anggota militer, dan orang asing tadi,” jelasnya.
Ia mengaku dimintai keterangan identitas pribadi.
“Dimintai identitas pribadi seperti nama, tempat tinggal, semester,” akunya.

Sebelumnya, lanjut Wisnal, pihak militer sudah menyisir area sejak jam tiga sore.
“Konfirmasi satpam, intel dan Babinsa sudah ada dari jam 3 sore,” katanya.
Menurutnya adanya intervensi militer merupakan dampak dari RUU TNI.
“Kami kaget, militer masuk ke ruang-ruang akademik dan ini merupakan efek dari RUU TNI,” ucapnya.
Ia menuturkan adanya intervensi tersebut jelas mengancam kebebasan akademik.
“Jika merujuk pada pemikiran demokrasi deliberatif Jurgen Habermas, RUU TNI cacat secara prosedural tanpa ada partisipasi publik. Kebebasan akademik mutlak dan tidak ada intervensi,” tuturnya.
Wisnal menegaskan akan terus membangun gerakan kolektif.
“Secara praksis, kami akan bangun jaringan dan gerakan kolektif,” ujarnya.
Ia menjelaskan belum ada rencana untuk menghubungi pihak UIN Walisongo.
“Kami belum berencana menghubungi pihak kampus,” ucapnya.
Wisnal beralasan bahwa dirinya belum sepenuhnya percaya kepada kampus.
“Kampus itu jaringannya hierarkis. Kami khawatir kalau memang kebebasan akademik terancam dari atas,” katanya.
Salah satu peserta diskusi, Rangga (bukan nama sebenarnya) merasa aneh dengan adanya intervensi militer dalam ruang akademik.
“Saya merasa aneh, karena di pasal tertentu KUHP menjelaskan adanya pelarangan penyebaran ideologi leninisme, komunisme, dan fasisme kecuali untuk kegiatan akademik,” ujarnya.
Menurutnya adanya intervensi militer justru merupakan bentuk fasisme.
“Justru dengan mereka intervensi, maka yang sebenarnya fasis adalah aparat,” ucapnya.
Ia menuturkan wacana militerisme hadir karena pemerintah ingin adanya stabilitas politik.
“Negara umurnya sudah tidak panjang, negara bisa melakukan apa saja untuk menjalankan stabilitasnya,” imbuhnya.
Rangga memaparkan negara akan menggunakan aparatus untuk mobilisasi masyarakat.
“Kalau menurut Althusser, aparatus ideologi digunakan melalui pendidikan. Ketika sudah usang, aparatus represif itulah yang digunakan,” tutupnya.
Reporter: Moehammad Alfarizy