Amanat.id– Kembali mengadakan Studi Pentas, kali ini Teater Mimbar mengusung cerita berjudul “Retno Manggali” yang bertempat di Auditorium I Kampus 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Selasa (26/11/2024).
Sutradara Studi Pentas Teater Mimbar, Muhammad Amru Abid mengatakan bahwa Studi Pentas kali ini bercerita tentang perlawanan dari seorang yang tertindas.
“Retno Manggali, karya Hanindawan menggambarkan seseorang yang tertindas dan ingin melawan,” katanya.
Lanjutnya, jika harga diri seseorang diganggu oleh orang lain, maka harus dipertahankan hingga mati.
“Salah satu bentuk perlawanan orang Jawa, ketika harga diri, martabat, dan wilayahnya disentuh orang, maka ia akan mempertahankan hal tersebut sampai mati,” ucapnya.
Ia juga menceritakan bahwa peran ibu dalam cerita tersebut selain menjadi tempat melahirkan seseorang, juga dimaknai sebagai rumah.
“Adapun yang dimunculkan dalam pentas ini adalah sosok ibu. Walaupun sudah meninggal, sosok ibu selain menjadi asal dan usul seseorang, juga diartikan sebagai rumah, wilayah, dan tanah,” ungkapnya.
Amru juga menjelaskan bahwa isu seperti pergeseran nilai turut disampaikan melalui karakter tokoh penjaga kuburan yang memiliki emosi tinggi.
“Isu-isu pergeseran nilai pada pementasan ditunjukkan oleh tokoh penjaga kuburan yang mudah marah, menggambarkan karakter masyarakat yang mempunyai emosi tinggi,” tuturnya.
Selain itu, sambung Amru, adegan menerima uang adalah bentuk pergeseran sosial yang dianggapnya sebagai bentuk pelecehan.
“Pergeseran nilai sosial kemasyarakatan itu layaknya pelecehan. Ketika kita diberi uang lalu menerima begitu saja tentu hal itu dapat menyebabkan idealisme menghilang,” ujarnya.
Pimpinan Produksi, Ucok mengatakan bahwa tokoh Calon Arang dalam naskah Hanindawan memberinya inspirasi hingga terciptanya naskah yang sama dengan sudut pandang Retno Manggali.
“Terinspirasi dari kebudayaan Calon Arang terus dibuat naskah Hanindawan versi Retno Manggali,” katanya.
Sambung Ucok, meskipun layaknya penyihir jahat, Calon Arang tetaplah sosok ibu yang menginginkan anaknya menikah.
“Calon arang dianggap jahat seperti penyihir, walaupun begitu ia ingin sekali anaknya menikah, meskipun yang dicintai anaknya adalah musuh Calon Arang,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa dalam pementasan “Retno Manggali” juga disajikan alur yang membahas dualisme yang sering terjadi di lingkungan sosial.
“Dari cara bertutur kata antar tokoh menunjukkan adanya dualisme perbedaan derajat sosial yang tinggi dan rendah, antara petinggi dan pesuruh, baik dan buruk, miskin dan kaya, ” ujarnya.
Tak hanya itu, naskah “Retno Manggali” juga mengangkat isu politik, seperti sengketa tanah kuburan di Solo, 2012 silam.
“Ada juga ditampilkan isu politik tahun 2012 di Solo kala itu, tentang penggusuran tanah kuburan untuk dibangun gedung-gedung infrastruktur,” jelasnya.
Ucok menyebutkan bahwa pesan yang ingin disampaikan pada isu-isu tersebut dibawakan dalam bentuk semiotik dan sarkas.
“Pesan-pesan yang disampaikan tidak bersifat gamblang melainkan bersifat semiotika ataupun sarkasme,” tuturnya.
Oleh karena itu, sambungnya, diperlukan pencernaan dan pengolahan pikiran bagi penonton untuk memahami pesan yang disampaikan.
“Perlu pencernaan dan pengolahan pikiran untuk memahami pentas ini,” akhirnya.
Reporter: Dwi Khoiriyatun
Editor: Eka R.