
Hangatnya pagi belum sempat mencium pundakku.
Namun, kau sudah bertanya
Mengapa aku mengagumimu?
Yang kurasa kau hadir,
Mungkin seperti purnama yang jatuh di cermin,
Lentik, menggores malam,
Melukainya hingga ia meneteskan air mata.
Matamu
Bahkan bukan sekadar tempat untuk kurindu,
Tapi ruang yang mengunciku.
Tapi tak apa, di sini hangat,
Aku dapat mengendus setiap inci jejakmu,
Memeluk erat jari-jari mu, bahkan mengambil paksa sisa waktumu.
Satu lagi, kini sumpah serapah tak pernah terdengar begitu jelas di telingaku,
Setelah pagi itu, saat tatapan sinis dengan bibir manis melontarkan kata “idih”.
Bantul, 25 Desember 2024
Ahmad kholilurrohman (Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki)