
Tak dapat dipungkiri lagi, ihwal asmara memang menjadi salah satu bagian vital dalam kehidupan. Kehadirannya mampu membuat sebagian orang tunduk terhadap aturan yang telah mereka tetapkan.
Namun, seringkali asmara membuat beberapa pecandunya dirugikan. Ya, seperti salah seorang perempuan, yang telah menjadi korban dari kejamnya percintaan. Pengekangan yang dia dapatkan, menghantuinya setiap malam. bahkan harus membuatnya berhenti dari organisasi yang diikuti, akibat dari perjanjian gelap yang telah ditetapkan.
Pembatasan ruang gerak dalam berorganisasi adalah bukti nyatanya. Perempuan yang dulu terkenal akan militansinya itu, kini justru menghilang di tengah peradaban.
Hal ini tentu berdampak serius terhadap kelangsungan masa depan seorang perempuan. Bayangkan, bagaimana rasanya ketika segala bentuk komunikasi yang dijalani, harus melewati proses penyadapan dan perizinan.
Pengekangan yang terjadi, tentu berbanding terbalik dengan kemerdekaan hak-hak perempuan yang dilantangkan oleh banyak tokoh emansipasi wanita.
Kemerdekaan cinta yang sejatinya didapatkan, berubah menjadi sebuah belenggu kegelapan. Hak-hak wanita pun telah dirampas secara kasar. Sejumlah pembantaian perasaan menjadi rutinitas yang kentara dilakukan.
Apa boleh buat, adanya adagium tentang perempuan sebagai bentuk ciptaan Tuhan yang indah. Namun, di sisi lain sering dianggap remeh, lemah, tak mempunyai kuasa dan dijadikan sebagai alat pemuas syahwat semata.
Arah gerakan feminisme di Indonesia memang masih cenderung terdiskriminasi. Mayoritas dari mereka yang tertindas, tidak berani melawan dan enggan menyuarakan keadilan. Ketakutan akan bayang-bayang superioritas kaum adam menjadi salah satu pemicu diamnya perempuan.
Jika perempuan hanya diam dan tiarap dengan keadaannya yang tertindas, lantas bagaimanakah nasib mereka selanjutnya?
Pelanggaran HAM
Lelaki murahan. Julukan semacam ini nampaknya sangat cocok disematkan kepada mereka (baca: lelaki) yang terlalu berlebihan (over protective) dalam menjalin hubungan asmara.
Pengekangan terhadap pasangan bukanlah solusi yang tepat, dan secara tidak langsung telah membunuh kebebasan berekspresi seseorang. Melakukan pengekangan berarti telah merampas kemerdekaan seseorang, dan termasuk sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Bukan tanpa dasar, bentuk pelanggara HAM jenis ini telah diatur dalam Pasal 333 KUHP. Di dalamnya dikatakan, (1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (3) Jika mengakibatkan mati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.
Sudah jelas bukan?
Penulis: Agus Salim Irsyadullah
Editor: Khalimatus Sa’diyah