
Dalam proyek ambisius Kementerian Kebudayaan untuk menulis ulang yang sejarah Indonesia, muncul pernyataan kontroversi dari Menteri Fadli Zon yang mengatakan bahwa pemerkosaan massal 1998 sebagai sebuah rumor semata dan tidak memiliki bukti kuat.
Pernyataan tersebut langsung menuai kritik dari berbagai kalangan. Terutama para aktivis perempuan yang pernah menyaksikan langsung bagaimana peristiwa pemerkosaan massal terjadi pada Mei 1998 silam. Beberapa bukti dipaparkan untuk membalas klaim Menteri Kebudayaan, Fadli Zon yang dinilai telah menyalahi fakta sejarah.
Ironisnya dengan banyaknya bukti dan saksi yang yang telah diberikan, dirasa tidak mencukupi untuk dijadikan fakta adanya sebuah peristiwa yang mengenaskan pada tahun 1998. Adanya penolakan sejarah oleh Fadli Zon mengingatkan pada sebuah fenomena yang disebut dengan denial culture. Di mana adanya penyangkalan terhadap bukti atau fakta yang tidak sesuai dengan kepentingan individu atau kelompok dalam konteks sosial, politik, maupun sains.
Satu di antara para aktivis perempuan yang menentang keras ucapan Fadli Zon adalah Ita Fatia Nadia selaku sosok yang pernah mendampingi langsung para korban. Seperti saat diwawancarai oleh BBC News Indonesia, Ita bercerita pengalamannya ketika menjabat sebagai direktur yayasan Kalyanamitra selaku lembaga pemerhati isu perempuan. Saat itu, Ita begitu sering menerima pengaduan adanya kasus pemerkosaan. Bahkan, korban termuda yang melapor diketahui masih berumur 11 tahun dan meninggal dipelukannya akibat sebuah botol yang dimasukkan ke alat reproduksinya hingga pecah.
Selain itu, kasus kekerasan seksual lain juga menimpa dua mahasiswi Trisakti yang dipaksa masuk ke dalam mobil oleh empat orang pria saat menunggu bus di sekitar Jembatan Slipi, Jakarta Barat. Di dalam mobil mereka dilecehkan, bahkan salah satu pria memotong payudara mahasiswi tersebut.
Berdasarkan laporan akhir Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), jumlah korban kekerasan seksual mencapai angka 168 dan 85 kasus di antaranya telah diverifikasi. Rincian korban yang telah diverifikasi terdapat 52 orang korban perkosaan, 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang korban pelecehan seksual. TGPF juga menemukan fakta bahwa rata-rata kasus pemerkosaan berupa gang rape, yaitu kondisi korban diperkosa secara bergantian oleh beberapa orang dalam satu waktu.
Korban peristiwa pemerkosaan massal Mei 1998, 90%-nya berasal dari perempuan etnis Tionghoa. Mereka diburu karena didasari rasa iri dan benci. Sentimen hadir akibat jarak ketimpangan sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis pribumi. Memicu kekerasan, penjarahan dan tindakan tidak manusiawi yang dianggap mereka sebagai ekspresi kekecewaan.
Ita Martadinata, Saksi yang Dibungkam dengan Kematian
Ingatan mengenai kasus kekerasan seksual Mei 98 tidak bisa dipisahkan dari kisah Ita Martadinata Haryono. Seorang gadis keturunan Tionghoa yang menjadi aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) sejak belia. Ita Martadinata merupakan sosok yang berani mengajukan diri bersama ibunya, Wiwin Haryono untuk memberi kesaksian tentang pemerkosaan masif terhadap orang-orang Tionghoa Indonesia selama kerusuhaan Mei 1998.
Ita Martadinata juga termasuk korban pemerkosaan saat itu, tetapi dia bangkit dan melawan traumanya. Keberaniannya itu menumbuhkan harapan baru bagi bangsa Indonesia terutama para korban kekerasan seksual. Ia dijadwalkan akan bersaksi kepada dunia dalam forum PBB atas apa yang menimpanya dan para korban kekerasan.
Namun, beberapa hari sebelum keberangkatanya ke Amerika, Ita Martadinata lebih dulu ditemukan tewas bersimbah darah di rumahnya sendiri pada tanggal 9 Oktober 1998. Terdapat luka tebasan di lehernya, beberapa tusukan ditemukan di bagian tubuh seperti pada perut, dada, dan ulu hati, sedangkan tangannya memegang kabel.
Di hari kematiannya, beberapa anggota kepolisian dan anjing pelacak dikerahkan untuk melakukan penyelidikan. Hasil otopsi menyatakan Ita Martadinata sebagai pengguna obat-obatan terlarang. Bahkan, ia dituduh sebagai pekerja seks dengan temuan bekas luka pada bagian vital. Tuduhan-tuduhan tersebut langsung ditepis sang ibu yang menduga pembunuhan anaknya disebabkan keikutsertaannya dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK).
Pada akhirnya di hari yang sama dengan kematiannya, pihak kepolisian menggelar konferensi pers. Kasus pembunuhan Ita Martadinata dinyatakan murni sebuah tindakan kriminal dengan tersangka tetangga korban sendiri, yaitu Suryadi. Di hadapan wartawan Suryadi mengaku membunuh Ita karena ketahuan saat hendak mencuri.
Ariel Heryanto dalam “Rape, Race, and Reporting” yang termuat dalam Reformasi: Crisis and Change in Indonesia menyatakan bahwa pembunuhan tersebut sengaja direncanakan dan mengandung unsur politik. Serangan itu merupakan balasan atas kampanye anti-pemerkosaan yang diserukan Ita Martadinata dan upaya pencegahan kesaksian di forum internasional.
Kabar kematian Ita Martadinata menjadi mimpi buruk bagi para korban kekerasan seksual. Mereka semakin menutup diri dan sebagian memilih pergi ke luar negeri untuk melanjutkan hidup yang dianggapnya lebih tenang. Bahkan setiap diminta memberi kesaksian, baik para korban maupun keluarganya selalu mempertanyakan jaminan keselamatan dengan alasan takut dibunuh. Hal tersebut akhirnya menjadi akar terhambatnya penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual massal 1998.
Hingga saat ini tidak diketahui siapa sebenarnya para pelaku tersebut. Namun, berdasarkan temuan Komnas Perempuan, pelaku kekerasan seksual di antaranya merupakan oknum aparat hukum dan pejabat publik.
Penulis: Nijam Alfatul Khasna
Editor: Hikam Abdillah