
Kasus pelecehan seksual masih menjadi noda hitam dalam dunia pendidikan Indonesia. Salah satu yang terbaru, yakni kasus yang melibatkan dosen berinisial LR di sebuah universitas di Kota Mataram. Dilansir dari kicknews.today, diduga LR telah mencabuli 22 orang termasuk mahasiswa dan alumni. Modus operandi yang digunakan LR diantaranya menyebarkan doktrin palsu untuk membujuk korban agar melakukan tindakan tidak senonoh dengan dalih keagamaan. Kasus ini menjadi contoh dari banyaknya faktor yang memungkinkan pelecehan seksual terjadi dalam lingkungan pendidikan yang lebih kompleks dari sekadar tindakan individu pelaku.
Dikutip dari Jurnal Intelek dan Cendikiawan Nusantara yang berjudul Tinjauan Kriminologis Terhadap Kekerasan Seksual pada Perempuan, penyebab utama terjadinya pelecehan seksual dalam dunia pendidikan tidak hanya terletak pada perilaku pelaku, melainkan faktor struktural dan psikologis yang membentuk kerentanan korban. Salah satunya adalah kesepian dan isolasi sosial yang sering dialami mahasiswa. Banyak mahasiswa yang merasa terpisah dari teman-teman atau keluarga, terutama ketika mereka berada jauh dari rumah. Rasa kesepian ini sering dimanfaatkan oleh pelaku untuk mengeksploitasi korban karena mereka merasa tidak memiliki tempat untuk menggantungkan harapan atau mengungkapkan masalah yang dihadapi. Dalam kondisi seperti ini, korban cenderung lebih mudah dipengaruhi dan diperdaya oleh pelaku yang menawarkan perhatian atau janji-janji palsu.
Faktor lain yang berperan dari terjadinya pelecehan seksual adalah tekanan akademik. Di dunia pendidikan, mahasiswa seringkali berada di bawah tekanan untuk meraih nilai tinggi, memenuhi harapan orang tua, dan mempertahankan status akademik mereka.
Menurut Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial dan Sains yang berjudul ‘Analisis Relasi Kuasa Michel Foucault: Studi Kasus Fenomena Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi’, dalam kondisi ini, mahasiswa yang kesulitan atau merasa terancam akan nilai mereka merasa terjebak dalam situasi harus tunduk pada tuntutan oknum dosen yang memiliki kendali atas nilai dan masa depan akademik mereka. Tekanan ini ketika dipadukan dengan ketergantungan pada pelaku, menciptakan kondisi yang rentan terjadinya pelecehan seksual.
Selain itu, manipulasi psikologis yang dilakukan pelaku turut memperburuk situasi. Pelaku tidak hanya memanfaatkan ketergantungan akademik atau sosial, seringkali pelaku menggunakan pendekatan psikologis untuk menanamkan rasa takut atau rasa bersalah pada korban, sehingga mereka merasa tidak bisa melawan atau melaporkan perbuatan tersebut. Dalam kasus LR misalnya, ia memanfaatkan ajaran agama untuk memberikan justifikasi moral bagi perbuatannya yang semakin membingungkan korban, sehingga korban merasa sulit untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Motif pelaku dalam kasus seperti ini seringkali dipengaruhi oleh dorongan untuk merasakan kekuasaan dan kontrol. Sebagai seorang dosen yang memiliki otoritas atas nilai dan masa depan akademik mahasiswa, LR merasa memiliki hak untuk mendominasi kehidupan pribadi dan seksual korban. Dengan memanfaatkan posisi tersebut, LR merasa bebas untuk melakukan pelecehan tanpa takut akan akibat atau pembalasan. Selain itu, dorongan untuk memenuhi kepuasan pribadi, terutama berkaitan dengan kekuasaan atas korban sering kali menjadi faktor yang mendorong tindakan pelecehan. Dalam hal ini, LR mungkin merasa dapat memanfaatkan ketergantungan akademik korban untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa, penting untuk memahami bahwa dukungan sosial adalah salah satu kunci utama dalam pencegahan pelecehan seksual. Mahasiswa harus merasa memiliki jaringan sosial yang solid, baik itu teman, organisasi kampus, atau keluarga yang dapat menjadi tempat mereka mencari bantuan dan dukungan ketika menghadapi masalah. Kesadaran tentang pentingnya membangun hubungan sosial yang positif dan saling mendukung sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi mahasiswa.
Selain itu, mahasiswa juga perlu dilibatkan dalam pendidikan yang menekankan pentingnya integritas dan kewaspadaan terhadap manipulasi, serta memberi mereka pemahaman yang jelas tentang batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar dalam hubungan profesional dan akademik. Kampus juga harus menyediakan saluran yang aman bagi mahasiswa untuk melaporkan kekerasan atau pelecehan tanpa rasa takut akan pembalasan atau stigma.
Pada akhirnya, untuk menciptakan dunia pendidikan yang aman, kita harus menjaga kebersamaan dan saling mendukung sesama. Pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tentang membangun karakter, rasa tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap sesama. Dengan membangun komunitas yang saling peduli dan menjaga integritas, diharapkan kasus-kasus pelecehan seksual yang marak terjadi dalam dunia pendidikan dapat dicegah dan ditangani dengan lebih baik.
Penulis: Meyra Karunia Putri
Editor: Azkiya Salsa A.