
Pemerintah merencanakan program Sekolah Rakyat yang direncanakan akan berjalan mulai tahun ini. Namun, pendiriannya menuai beragam kritik, banyak yang menanyakan mengenai keefektivitasannya dalam memutus kesenjangan di Pendidikan.
Program Sekolah Rakyat merupakan bentuk usaha pemerintah untuk menyelenggarakan sekolah gratis yang dikhususkan bagi masyarakat miskin. Dari program ini, pemerintah berharap dapat memberikan kesempatan bagi mereka yang kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan layak dan berkualitas.
Kementerian Sosial (Kemensos) menargetkan peserta didik Sekolah Rakyat dari kelompok masyarakat dalam desil 1 dan desil 2 berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
Desil 1 mencakup masyarakat dengan pengeluaran rendah atau masuk kelompok 10% dalam kesejahteraan. Mereka umumnya mengandalkan pekerjaan informal atau tidak tetap sebagai sumber pendapatan utama, seperti buruh tani atau pengemis.
Sementara itu, desil 2 berada sedikit di atas desil 1, tetapi masih tergolong miskin atau rentan miskin. Pengeluaran per kapita mereka mendekati garis kemiskinan, tetapi belum cukup stabil. Pendapatan mereka biasanya berasal dari pekerjaan informal atau pekerjaan tetap dengan upah rendah, seperti buruh pabrik atau pekerja sektor jasa.
Selain mengadakan verifikasi status ekonomi, pemerintah juga melakukan seleksi akademik. Hal ini bertujuan untuk menyaring peserta yang benar memiliki keinginan dan memiliki tekad kuat untuk berproses.
Nantinya, Sekolah Rakyat ini akan berada dibawah tanggung jawab Kemensos dan Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai penyedia lahan. Saifullah Yusuf selaku Menteri Sosial mengatakan bahwa saat ini sudah terdapat 53 lokasi yang siap untuk dibangun Sekolah Rakyat.
Dalam sejarahnya, Sekolah Rakyat pernah ada di Indonesia sejak masa penjajahan hingga awal kemerdekaan Indonesia. Pada abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Volkschool, sekolah dasar bagi pribumi dengan kurikulum membaca, menulis, dan berhitung. Namun, pada masa itu akses pendidikan lanjutan tetap terbatas sebab kolonial Belanda ingin membatasi perkembangan intelektual rakyat Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang, sistem pendidikan Indonesia mengalami transformasi signifikan. Pemerintah Jepang menghapus sekolah berbahasa Belanda dan mengubah seluruh sekolah dasar menjadi Sekolah Rakyat (Kokumin Gakko). Kurikulum difokuskan pada indoktrinasi semangat kebangsaan Jepang dan pelatihan fisik, dengan tujuan utama mendukung kepentingan militer Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah melakukan restrukturisasi sistem pendidikan. Sekolah Rakyat diresmikan sebagai lembaga pendidikan dasar 6 tahun, kemudian berganti nama menjadi Sekolah Dasar (SD) pada 1950-an seiring penerapan kurikulum nasional. Perubahan ini bertujuan meningkatkan standar pendidikan melalui penyetaraan kurikulum, peningkatan kualitas guru, dan perluasan akses pendidikan bagi seluruh masyarakat.
Segresi Sekolah Reguler
Niat baik untuk mendirikan Sekolah Rakyat mendapat keraguan dari masyarakat. Pasalnya, sekolah dasar saat ini masih dirasa kurang dalam pemberdayaannya dan bahkan ada yang terbengkalai.
Seperti pada kasus Sekolah Dasar Negeri 38 Kaur, Bengkulu. Mereka memiliki ruang kelas yang rusak berat. Atap seng rusak serta lepas sehingga kelas menjadi terbengkalai dan tidak dapat difungsikan. Hal ini diketahui lantaran Bupati Kaur, yaitu Gusril yang sedang melakukan sidak pada lokasi tersebut. Gusril mengaku khawatir sebab material bangunan yang rusak dapat menciderai anak-anak sekolah. Mirisnya lagi, akibat dari gedung belajar yang rusak membuat sejumlah siswa terpaksa belajar bergabung dengan kelas lain.
Alasan tidak diperbaikinya bangunan sekolah yang rusak tersebut diduga akibat dana perawatan yang tak kunjung disetujui oleh pihak Pemda Kaur. Padahal kerusakan bangunan ini telah berlangsung selama 5 tahun lamanya. Akibat tidak kunjung disetujui, akhirnya gedung dibiarkan rusak dan tak terurus. Padahal di lain sisi sekolah ini mengalami kekurangan kelas untuk murid belajar.
Belum lagi dengan isu ketimpangan yang ada, banyak sekolah di pedesaan kalah saing karena fasilitasnya tidak memadai. Dengan adanya program Sekolah Rakyat ini, dikhawatirkan akan memperlebar ketimpangan kualitas ekonomi antara kelompok bawah dengan menengah.
Jika pengelolaan program Sekolah Rakyat dijalankan secara terpisah dari sekolah reguler, maka yang ada adalah segresi pendidikan, bukan pemerataan. Sementara itu, ada juga program Sekolah Unggulan Garuda yang ditujukan untuk anak berprestasi dan berbakat. Sehingga lengkap sudah pengelompokan siswa di Indonesia, ada yang berdasar kelas ekonomi dan juga intelektualnya.
Jelas ini bertentangan dengan amanat Undang Undang Dasar 1945. Pada pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan. Setelahnya pada ayat 2 berbunyi bahwa pemerintah harus memfasilitasinya.
Terlebih jika melihat rencana untuk mengeluarkan dana rata rata 100 Miliyar per satu sekolah. Rasanya lebih baik dialokasikan untuk peningkatan sekolah negeri yang sudah ada.
Harapannya juga sama, agar semua anak dapat merasakan sekolah berkualitas tanpa melihat latar ekonomi. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan kapasitas guru serta juga memperbaiki fasilitas sekolah.
Penulis: Alia Septi Refalina
Editor: Hikam Abdillah