Amanat.id- Komunitas Seni Kampus (KSK) Wadas Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo mempersembahkan Pentas Produksi dengan tajuk “Ozone” di Auditorium I Kampus 1, kamis (5/9/2024).
Sutradara Pentas Produksi, Jentil menjelaskan makna dari tema naskah yang diangkat dalam pentas kali ini ialah ketidakpuasan manusia atas nikmat dari Tuhan.
“Tema yang diangkat adalah “Belenggu Angkara Dia yang Dibuat Mati Rasa” bagaimana tiga aktor utama yang selalu tidak puas dengan nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa naskah Ozone sebagai representasi kehidupan manusia di zaman sekarang.
“Naskah ini sebagai perwujudan manusia sekarang yang selalu tidak puas atas pemberian Tuhan dan keinginan untuk selalu abadi,” katanya.
Bukan hanya dari aktor, sambung Jentil, setting dan ilustrasi yang disertakan dalam pentas untuk menambah suasana dari setiap adegan.
“Kita perlu ilustrasi untuk membantu menggambarkan suasana,” tuturnya.
Adapun Asisten sutradara, Wartoyo mengatakan bahwa pesan yang ingin disampaikan dalam naskah Ozone ialah untuk tidak mati rasa sendiri.
“Dalam naskah menjelaskan bahwa kita jangan membuat mati rasa sendiri, dengan kata lain ketika kenikmatan sudah dicabut, orang tidak akan pernah lagi bisa merasakannya,” ujarnya.
Lanjutnya, naskah Ozone juga menceritakan tentang keserakahan yang ada dalam diri manusia.
“Naskah ini membahas tentang keserakahan yang ada dalam diri manusia, mereka selalu merasa kurang atas apa yang sudah diberikan,” tambahnya.
Wartoyo mengatakan bahwa inti dari pentas kali ini terdapat pada karakter bernama Semar.
“Inti dari pentas kali ini terdapat pada karakter bernama Semar, seorang dalang yang juga digambarkan sebagai Tuhan,” katanya.
Wartoyo menjelaskan bahwa naskah Ozone merupakan naskah surealis yang mereka kemas dengan realis agar lebih adaptif dalam pementasan.
“Naskah Ozone aslinya memang surealis, tetapi karena terlalu membosankan dan abstrak, makanya kami adaptasi dengan mencampurkan realis didalamnya,” jelasnya.
Sebab, sambung Wartoyo, hal tersebut dilakukan untuk memahamkan isi pesan kepada penonton.
“Kami tidak hanya ingin menyampaikan isi dari naskah, tetapi kami juga ingin memahamkan apa yang menjadi inti naskah yang dipentaskan,” jelasnya.
Selain itu, Wartoyo menambahkan bahwa naskah Ozone merupakan lanjutan dari serangkaian naskah Arifin C. Noer sebelumnya.
“Naskah ozone itu lanjutan dari naskah Arifin C. Noer sebelumnya yakni Madekur Tarkeni, Umang-umang, Sandek Pemuda Pekerja, baru selanjutnya adalah Ozone,” jelasnya.
Salah satu aktor, Liman menceritakan karakternya sebagai Waska dalam pementasan ialah gambaran seorang pemimpin yang bijak, adil, dan baik.
“Tokoh Waska sebagai pemimpin yang bijak, adil, dan bersikap baik terhadap para anak buahnya, tapi di naskah sebelumnya Waska menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan,” ucapnya.
Lanjutnya, hal yang dapat diambil dari pementasan tersebut ialah pentingnya seorang lelaki agar tidak merasa kuat selagi masih adanya sosok perempuan.
“Pesan yang terkandung untuk laki-laki jangan terlalu merasa kuat, karena perempuan ada sebagai penyeimbang,” tuturnya.
Memerankan tokoh Waska, sambung Liman, mengatur suara menjadi tantangan baginya.
“Bagi saya yang menantang dari pementasan kali ini adalah dari segi suara, dimana saya harus bersuara serak-serak tetapi dengan vokal yang keras,” ujarnya.
Meskipun demikian Liman berharap para penonton bisa memaknai pesan yang terkandung dalam naskah.
“Saya berharap para penonton bisa memaknai pesan yang terkandung dalam naskah,” tutupnya.
Reporter: Faisa Dian Kresna
Editor: Eka R.