
Dalam mencari kesenangan, tak jarang dari kita memperolehnya secara instan dengan berselancar di sosial media. Menonton video-video pendek mengandung humor, yang memberi validasi, atau konten-konten menarik yang membuat kita terus melakukan gulir hingga kehilangan kontrol terhadap diri sendiri.
Meskipun aktivitas tersebut memberikan kesenangan, menonton konten-konten receh dalam waktu lama dapat memberikan dampak buruk terhadap kesehatan otak. Salah satunya adalah pembusukan otak atau dikenal juga dengan brain rot.
“Brain Rot” dirilis Oxford University Press pada Desember 2024. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kemerosotan yang terjadi pada kondisi mental dan intelektual seseorang. Hal tersebut terjadi karena adanya konsumsi berlebih terhadap konten daring yang tidak menantang.
Di tengah membludaknya informasi dan semakin canggihnya teknologi, seseorang akan dipaksa secara tidak sadar untuk terus bersentuhan dengan layar gawai dalam durasi yang tinggi. Jika berkiblat pada laporan Data.ai 2024 mengenai penggunaan gawai, di antara 10 pasar yang di analisis, rata-rata waktu user menggunakan gawainya adalah 5 jam per hari pada tahun 2023. Di mana, Indonesia menduduki peringkat pertama dengan penggunaan gawai tertinggi melampaui 6 jam per hari-nya.
Kondisi ini bila terjadi secara terus-menerus dapat berujung candu. Selain karena netizen senang dengan entertaimen, gosip seleb, video-video short dengan isinya yang receh, atau bahkan game. Platform yang menyediakan konten tersebut secara tak langsung dirancang agar penggunanya menjadi candu. Tombol like, comment, share atau yang lainnya tanpa kita sadari telah membajak sistem kebahagiaan di otak penggunanya.
Kekhawatiran akan hal inilah yang membuat masyarakat modern kemudian menyepakati munculnya istilah brain rot sebagai kondisi mental pasca konsumsi konten sosial media secara berlebihan. Pembusukan otak yang dimaksud dapat ditandai dengan adanya kedangkalan dalam berpikir, nalar yang pendek, sulit fokus pada hal-hal yang membutuhkan pemikiran panjang.
Degradasi Fungsi Kognitif
Akses yang mudah terhadap informasi memberikan kecenderungan setiap individu untuk bergantung pada gawai dalam menyimpan dan mengambil sebuah data. Fakta mengkhawatirkannya, overstimulasi dari gawai seperti produksi konten atau menikmati sesuatu yang instan secara berlebihan dapat memengaruhi fungsi kognitif.
Salah satu penelitian dari Ketie Nelson dan Pamela Miller (2020) menyebutkan bahwa penggunaan sosial media akan memengaruhi memori kerja otak secara negatif dan mengganggu ingatan.
Jika dilihat dari cara kerja memori otak, ada tiga tahapan sebuah informasi dapat diserap. Pertama, informasi akan direkam secara sensorik melalui indra tubuh, kemudian sinyal-sinyal tersebut di catat di korteks prefrontal, dan melalui repetisi barulah informasi dapat bersemayam di long term memory sebagai gudang ingatan yang dapat menyimpan informasi dalam jangka panjang.
Korteks prefontal merupakan bagian otak yang menyimpan informasi dalam jangka pendek. Tahap ini sangat krusial sebagai tempat otak dapat secara aktif memproses informasi dan memahami hal baru. Di tempat ini informasi hanya akan disimpan dalam 20-30 detik saja, hal itulah yang mengharuskan informasi diulang terus-menerus untuk dapat memicu kerja memori jangka panjang dalam menyimpan informasi secara permanen.
Maka bayangkan jika stimulasi berlebih secara abstrak masuk kedalam otak, hal itu dapat menjadi bentuk distraksi yang dapat mengganggu sistem rekaman informasi di otak. Memori kerja yang tidak optimal akan membuat otak kesulitan dalam menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah ada.
Dampaknya, seseorang akan kesulitan dalam memahami dan menganalisis suatu informasi secara mendalam. Begitu juga halnya yang terjadi ketika melakukan scrolling tanpa henti. Overeksposur dari konten hiburan yang tidak menantang dan silih berganti menyebabkan membludaknya informasi.
Bagian otak yang memproduksi jangka panjang jadi tidak terasah, akibatnya hal tersebut dapat mengacu pada hilangnya motivasi atau kemampuan berpikir kritis, kehilangan fokus, dan berkurangnya kemampuan dalam menyaring informasi penting.
Akumulasi dari kegiatan kecil yang kita lakukan tanpa disadari ini lah yang kemudian menjadi penyebab terjadinya brain rot. Dampak neurobiologis membuat brain rot tidak dapat dipandang sebelah mata sekalipun bukan sebagai penyakit medis. Bahkan Henry D. Thoreau dalam bukunya yang berjudul Walden: Life in The Wood (1854) menyinggung istilah brain rot sebagai salah satu persoalan yang penting untuk ditangani.
Fenomena brain rot menjadi momok dari konsekuensi kebudayaan digital saat ini yang memprioritaskan kecepatan dan volume di atas kedalaman dan kualitas. Oleh karenanya, sebagai user kita perlu mengetahui pemicu hingga ke akarnya untuk mengurangi dampak atau gejala brain rot.
Dengan memberikan batasan waktu ketika bersinggungan dengan media sosial, hal itu dapat menjadi langkah awal bagi kita agar terhindar dari siklus konten yang tak ada habisnya dan mengganti dengan kegiatan yang lebih produktif. Seperti membiasakan diri dengan hal-hal yang lebih menantang dapat menjadi terapi untuk diri sendiri agar terhindar dari perasaan stagnasi dan kebingungan eksistensial akibat dari brain rot.
Penulis: Eka R.