Keadilan ialah suatu frasa yang dirasa sebagian orang hanya ada di dunia idealnya Plato. Nilai-nilai keselarasan strukturalnya begitu abstrak, kompleks, dan tak terjangkau realita. Namun, sebagian lain membantah dunia ideal Plato yang abstrak, seperti John Rawls dan John Stuart Mill. Dengan gagasan yang lebih relasional dan mereka menolak struktur kaku dan universal, seperti yang diusulkan Plato. Dualisme keadilan itu mencuat di zaman sekarang saat memosisikan nilai dari keadilan. Kondisi hukum yang berlaku menjadi ujung dari perdebatan substansial akan nilai keadilan pada penerapannya.
Sebagai sampel, putusan yang dijatuhkan pada Harvey Moeis hanya berupa hukuman 6,5 tahun penjara, denda 1 miliar, dan uang pengganti sebesar 210 miliar jika dikomparasikan dengan kasusnya yang merugikan negara dan masyarakat sebesar kurang lebih 300 triliun rupiah. Banyak pihak termasuk jaksa penuntut umum tidak puas akan vonis dari Harvey. Mengutip dari Kompas.com, alasan hakim membuat putusan demikian ialah posisi struktural Harvey dalam keterlibatannya bersama PT. Timah bersama lima perusahaan lain. Artinya, dalam kasus ini (jika tak melibatkan unsur politik) terjadi dualisme antara hakim dan jaksa beserta sebagian besar masyarakat. Salah satunya ialah perbedaan pandangan terhadap duduk perkara kerugian yang sebenarnya sangat fundamental. Salah satu pihak mempertimbangkan kerugian dan pihak yang berlawanan mempertimbangkan aturan dan prosedur yang digunakan.
Sebagai sampel yang berlawanan, Nenek Asyani, seorang paruh baya yang divonis hukuman 1 tahun penjara dan denda 500 juta lantaran telah mencuri tujuh batang kayu jati di kawasan hutan produksi Perhutani. Nenek Asyani didakwa oleh jaksa melanggar pasal 12 Juncto Pasal 83 Ayat 1d UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusak Hutan. Posisi Nenek Asyani sebagai warga biasa dan juga dituduh menngambil 80 papan kayu jati untuk membangun rumahnya tersebut terdengar menggelikan bagi banyak pihak. Artinya, lagi-lagi putusan yang hakim keluarkan menimbulkan dualisme yang hampir sama dengan kasus Harvey Moeis. Dualisme yang secara fundamental berporos antara keberpihakan keadilan dan kenetralan keadilan.
Mengutip dari laman Amanat.id, Gojali menuturkan salah satu argumennya tentang dilematis keadilan. Diterangkan dalam artikel tersebut, Siswanto sebagai seorang dosen hukum menjelaskan bahwa pada dasarnya dalam realitas hukum, nilai-nilai prosedural hukumlah yang membuka jalan mendekati keadilan yang abstrak.
Secara tak langsung Gojali juga setuju dengan pendapat Siswanto tentang nilai prosedural dengan memaparkan dilema-dilemanya dalam menafsirkan keadilan dan mengamini pendapat Aristoteles. Melalui pendekatan seperti apa keadilan bisa disifati absolut ataupun partikular. Sedangkan, pada dasarnya keduanya juga membawa celah bagi keadilan yang abstrak itu sendiri. Jika melihat dua sampel di atas serta dualisme yang terjadi selama berabad-abad, agaknya nilai prosedural bukan poin utama untuk hukum membangun keadilan.
Seperti cara berpikir Kierkegaard yang menolak abtraksionisasinya Hegel, penolakan juga harus tertuju pada dualisme nilai keadilan yang berlarut-larut serta mengabstrakkan diri. Sangat tak etis juga apabila keadilan yang abstrak itu dibicarakan di depan anak-anak korban perang atau masyarakat yang kehilangan rumahnya akibat digusur pemerintah. Keadilan selalu ada di sisi korban. Korban dalam artian mereka yang dihakimi dua kali, pertama oleh pengadilan formal dan kedua melalui superstruktur yang tak memberlakukan kesetaraan dan saat posisi pihak yang dirugikan disalahkan oleh pengadilan, maka gelombang masyarakat yang berada di pihak yang sama akan melakukan kontra-keadilan.
Super struktur keadilan
Michel Foucault dalam bukunya Power and Knowledge (1977) dalam bab I, dirinya berdiskusi dengan para Maois dan berpendapat bahwa sepanjang sejarah, terutama di Barat, ada sejumlah kebiasaan kuno seperti perang antar-kelompok, penjarahan rumah, dan kebiasaan orang Jerman memenggal kepala lalu dipamerkan di depan publik sebagai tontonan. Hal ini dilandasi “menurut hukum/aturan yang berlaku” yang bagian dari ciri khas “prapengadilan”. Mereka kemudian menggunakan gagasan tentang kelas sebagai praktik keadilan. Aparat-aparat penegak keadilan mulai dibentuk dan secara relasional sudah terlihat keadilan yang mereka inginkan seperti apa.
Menurut Foucault, peradilan yang berlaku sekarang dibentuk dari keadaan berbasis hukum atau aturan yang bergantung pada kebutuhan kelas sosial. Demikian terjadi karena pengadilan modern sebagai gejala pembiasan ideologi kaum borjuis terhadap masyarakat. Peradilan sebagai kaum netral antara pemberontak (orang-orang yang mendambakan keadilan bagi semua kalangan) dan kaum borjuis (orang-orang yang lebih mendambakan kestabilan ekonomi atas status mereka sebagai orang terpandang). Seperti pada para 8 Taipan yang tetap masuk list 25 orang terkaya versi majalah Forbes 1996.
Mereka tetap stabil di masa permulaan krisis ekonomi global; (Baca, Asian Godfather). Kaum netral ini didominasi oleh kelas dari kalangan kaum borjuis sehingga menciptakan percikan kepicikan di mata masyarakat karena faktor kelas sosial. Pengadilan sebagai pihak ketiga juga dapat menentukan keadilan lewat mana yang benar dan mana yang salah. Maka, asas kesetaraan itu sebenarnya tak pernah benar-benar dilaksanakan kecuali digunakan sebagai pembius masyarakat lewat nilai-nilai prosedural.
Keadilan sebagai makna tunggal yang universal ataupun partikular merupakan miskonsepsi dari idealisme zaman Yunani Kuno. Semenjak post-modernisme peradilan seharusnya memuat nilai dari beberapa ideologi yang otentik nilai keadilannya dan kritisisme terhadap kondisi sosial yang ada. Namun, hal tersebut harus didukung oleh pemerintahan yang jauh dari sifat-sifat Taipan. Ketika tak ada transparansi serta sosialisasi yang jelas maka posisi intitusi netral ini telah dianggap membuat satu pihak menjadi korban.
Seperti yang terjadi di Indonesia belakangan ini berupa pelemahan KPK dan putusan Mahkamah Konstitusi yang secara prosedural memenuhi kriteria. Adanya pihak korban menunjukan bahwa sistem prosedural yang berlaku tak memuat keadilan yang bersifat dialektik antara masyarakat sebagai korban dan rezim sebagai dalang. Hal demikian menunjukan kembali dualisme antara keadilan prosedural dan substansial, antara keberpihakan keadilan dan kenetralan keadilan.
Walaupun pada akhirnya ada pengadilan massa sebagai revolusi institusi (pura-pura) netral. Namun, menurut Foucault, peradilan massa tak memenuhi tiga unsur pihak yang berperkara. Dua pihak yang saling berhadapan dan satu pihak netral. Bagi Foucault peradilan massa hanya ada dua pihak. Pihak yang sakit hati terhadap musuhnya dan si musuh itu sendiri. Mereka yang mempunyai musuh tersebut akan menghukum orang lain yang dikatakan sebagai musuh. Sebagai contoh ialah pengadilan di Bethune, di mana para pekerja tambang yang memutuskan untuk mengeksekusi pejuang Jerman. Lalu, ketika api dinyalakan terdengar suara “Heil Hitler!”, demikian membuat keputusan mengeksekusi merupakan pilihan yang adil bagi orang-orang yang terlibat di sana.
Foucault beranggapan bahwa peradilan massa yang mengantagonisasi pihak lawan tak ada bedanya dengan tindak peradilan zaman kuno. Artinya, peradilan massa sesungguhnya juga memuat aparat peradilan yang sesuai dengan jalannya revolusi dan tidak bertekuk lutut pada penghakiman sepihak. Meskipun kapitalisme dalam kelas sosialnya Lenin atau Mao menjadi antagonis utama, betapa ironinya apabila anak-anak tak bersalah menjadi korban penghakiman peradilan massa. Peradilan massa juga dalam membuat aturan-aturannya dikekang oleh ideologi salah satu pihak sebagai basis massa yang memberontak.
Adanya peradilan yang netral dan peradilan massa telah menjadi siklus keadilan yang selalu berkutat pada kelas sosial. Ketika kapitalisme menjadi dalang dari semuanya, menurut Jurgen Habermas dalam “The Structural Transformation of Public Sphere” mengemukakan bahwa peradilan massa justru menggiring ruang publik yang tidak demokratis dan rasional. Sebagaimana Maxmillien de Robespierre dalam Revolusi Perancis mendalangi pemenggalan ribuan orang yang menolak revolusi. Perilaku-perilaku totalitarianisme merupakan buntut peradilan massa yang tak terkontrol. Jean Paul Sartre menyampaikan kritiknya dalam “Existensialism is a Humanism” terhadap totalitarianisme dan peradilan massa yang merenggut kebebasan individu.
Keadilan jika hanya diletakkan hanya pada satu nilai saja, seperti kelas sosial mempunyai konsekuensi yang besar terhadap kebebasan berpikir dan bertahan hidup masyarakat. Namun, hal demikian tentang keadilan tak hanya berlaku pada latar belakang kelas sosial dan politik saja. Dalam beberapa kurun waktu terakhir, ketika kebijakan serasa dipesan penguasa dengan dalih keadilan ekonomi atau dalam buku Prabowo Subianto yang berjudul “Paradox Indonesia dan Solusinya” disebut sebagai menyejahterakan masyarakat.
Partisipasi sipil dalam mengawal kebijakan jika dilihat sesuai prosedural maka telah sesuai dengan representasi DPR/DPRD dikarenakan populasi atau masalah lain. Namun, ketika berbicara keadilan yang lebih substansial, pemerintahan seharusnya tak menimbang adil berdasarkan baik buruknya saja, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan yang selalu kontradiktif.
Masyarakat mempunyai porsi untuk mengatur penegak hukum dan mekanisme prosedural karena jika kembali mengacu pada nilai-nilai keadilan yang abstrak menurut Aristoteles kondisi hukum yang ideal ialah ketika masyarakat merasa tidak sedang menjalankan aturan. Artinya, para penegak hukum tidak membelakangi pada nilai-nilai kemanusiaan yang selalu berkembang atau bahkan menomorsatukan mekanisme prosedural.
Begitupun dengan hakim juga setidaknya mempunyai pemikiran yang tajam terhadap putusannya bukan yang penting sudah sesuai prosedur dan frasa “keadilan absolut” seharusnya dirubah menjadi “keadilan statis”. Dengan demikian, keadilan yang absolut ialah keadilan yang dinamis sesuai dengan perkembangan nilai-nilai kemanusiaan, hanya keadilan dari tuhan yang statis berbuah keabsolutan. Saat menggunakan keabsolutan Tuhan, maka di Eropa selama Abad Kegelapan telah menjawabnya.
Dalam buku George Orwell yang berjudul “1984”, menunjukan kejujuran suatu struktur institusi masyarakat dan pemerintahan dapat dimonopoli sedemikian mudahnya dalam menciptakan nilai keadilan. Hal ini mengindikasi tentang jalan pikiran kaum borjuis yang memonopoli nilai keadilan demi peperangan yang sebenarnya tak pernah benar-benar berkelahi menggunakan tangan. Kejujuran kaum borjuis yang manipulatif itu terbungkus dalam
“War is Peace
Freedom is Slavery
Ignorance is Strength.”
Artinya
“Perang adalah Perdamaian
Kebebasan adalah Perbudakan
Kebodohan adalah Kekuatan”.
Imamul M.