Dalam beberapa tahun terakhir, industri musik bengenre pop maupun dangdut terus bernada sendu. Hal itu terlihat misalnya dari, lagu yang dibawakan Didi Kempot dengan sobat ambyarnya yang akahir-akhir ini dinyanyikan dimana-damana, atau Deny Caknan dengan lagu Kartoyono dan Medot janji.
Tak main-main, dalam unggahan lagu Kartonyono oleh Deny Caknan di Youtube saja hingga saat ini telah ditontong lebih dari 124 juta penonton.
Kepopuleran lagu bernada sendu tak hanya terjadi di dunia maya atau media sosial. Dalam setiap konser yang dilakoni oleh Didi Kempot, sering dijumpai kawula muda yang terbawa suasana lalu menitikkan air mata di keramaian. Bahkan para fans Didi Kempot menjulukinya The Godfather of Broken Heart alias bapak patah hati nasional, pemberian julukan itu tak lepas dari konsistensi didi kempot yang selalu menciptakan lagu-lagu yang bertemakan patah hati.
Entah mengapa, akhir-akhir ini kebanggaan sebagai pemuda seolah didapatkan saat mengalah, pasrah, dan terluka. Penulis ingin membawa sejenak pembaca pada khazanah filsafat abad pertengahana untuk melihat fenomena ini.
Leonardo dan Generasi Galau
Siapa yang tak kenal Lonardo da Vinci? Pelukis jenius, yang karyanya lukisan Monalisa-nya dari abad pertengah, hingga sekarang masih dikagumi jutaan pasang mata.
Namun, Leonardo tak sebatas pelukis. Dalam semua bidang ilmu pengetahuan pria kelahiran 1452 M, hampir menguasai semuanya. Bahkan, filosof terkenal asal Jerman FW Nietzche (1900) menyebut Lenardo sebagai orang yang bangun terlalu dini, di tengah kegelapan zaman saat semua orang masih tertidur.
Salah satu pemikiran yang membuat tokoh ini selalu kontekstual yakni pemikiranya soal optimisme hidup yang diwarisakan dari generasi ke genarasi. Leonardo berkata, “aku percaya manusia akan dapat terbang, aku sandarkan asumsi ini pada fakta bahwa tuhan memberi kita fikiran yang mampu mengimajinasikannya. Segala yang bisa diimimpikan akan dapat diwujudkan suatu waktu. Siapapun yang mengatakan sebaliknya, itu hal yang bodoh.”
Ungkapan yang dari mulut Leonardo, tak bisa dianggap biasa. Jika melihat zaman di mana dia hidup, kebebasan berfikir waktu itu begitu dikekang oleh gereja. Galileo Galilei yang hidup hampir sezaman dengan Leonardo bahkan harus rela dibakar lantaran pendapatnya yang berbeda dengan gereja.
Sikap optimis sangat lah penting dimiliki setiap manusia, apabila seseorang tidak memiliki sikap tersebut maka hidupnya akan selalu stagnan, tanpa ada perubahan apapun di dalam hidupnya. Apabila kita melihat, sikap optimisme seakan mulai hilang dikalangan masyarakat, khususnya generasai mudanya.
Ketika seseorang memproleh kegagalan mereka menganggap seolah dunia sudah berakhir, tidak ada cara lain selain meratapinya, apalagi belakangan hari ini jagat indonesia dihebohkan oleh lagu-lagu patah hati, salah satunya yang dinyayikan oleh didi kempot, lagu yang apik yang berisikan kisah seorang yang patah hati seolah mewakili prasaan mereka, hingga para pendengarnya menangis tersedu-sedu karna sebuah lagu.
Jika kita lihat menjamurnya para penikmat lagu lagu patah hati, tak lepas dari dari ungkapan isi hati mereka yang kehilangan optimisme dalam kisah cinta mereka, bagaimana mungkin orang yang memiliki optimisme yang tinggi akan begitu mudah meresapi kegagalanya percintaanya dengan hanya mengekspresikanya dengan menangis ketika mendengarkan lagu-lagu ambyar.
Penulis: Samsul Maarif