Kejahatan seksual terhadap anak tak jarang menjadi berita pokok di media dewasa ini. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pada 2019 menemukan sebanyak 350 perkara kejahatan seksual pada anak. Tak kunjung membaik di awal 2020, sejumlah kasus kejahatan seksual pada anak masih mencuat. Di antaranya, kasus kejahatan seksual pada dua belas siswi SD di kecamatan Seyegan, Sleman, Yogyakarta oleh guru.
Kasus-kasus tersebut terjadi sebab anak-anak belum mengetahui dunia seksual, sehingga tidak sadar bahwa dirinya adalah korban. Ironisnya, para guru yang merupakan pelaku pun memanfaatkan kepolosan anak-anak tersebut untuk kepentingan pribadi.
Dilansir dari tempo.co, modus pelaku kejahatan seksual di sekolah bermacam-macam. Di antaranya ialah korban diajar mata pelajaran hingga suasana sepi, diajak menonton film porno saat jam istirahat, korban diancam akan mendapat nilai jelek, diberi uang oleh pelaku, hingga dipacari dan dijanjikan akan dinikahi.
Melihat fakta miris tersebut, kualitas pendidik agaknya perlu diperhatikan kembali. Guru seharusnya menjadi orang tua di sekolah, bukan justru menjadi pelaku kejahatan seksual. Dengan adanya tindakan tersebut, bukan mustahil psikis anak akan terganggu dan mereka akan menghadapi trauma seumur hidup.
Guru dalam tradisi Jawa merupakan akronim dari “digugu lan ditiru” yang artinya, orang yang dipercaya dan diikuti. Tanggung jawab guru bukan hanya mengajar mata pelajaran kepada siswanya, melainkan juga mencontohkan sikap yang baik. Lantas, bagaimana jika guru justru melakukan tindak tidak bermoral seperti kejahatan seksual? Tidak menutup kemungkinan hal itu dapat menyeret serta siswanya untuk melakukan hal sama.
Mencegah terjadinya kejahatan seksual di lingkungan sekolah, bisa dimulai dengan adanya pengawasan ketat terhadap perilaku guru. Perlu pula dikuatkan Bimbingan Konseling (BK) sebagai penyeimbang dalam pengawasan proses belajar mengajar siswa.
Membangun komunikasi antara siswa dengan guru, dan orang tua dengan anak pun harus dilakukan. Agar ketika terjadi kejahatan seksual, anak tidak sungkan untuk bercerita dan melapor.
Anak adalah aset emas masa depan bangsa. Oleh sebab itu, kita harus menjaganya. Bila semua pihak berperan aktif mencegah terjadinya kejahatan seksual, maka harapan akan Indonesia bebas kejahatan seksual anak bisa terealisasi setahap demi setahap.
Penulis: Umi Salamah