
Menjelang datangnya bulan November yang identik dengan Hari Pahlawan, pemerintah akan menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada beberapa tokoh. Pada tahun 2025, Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos) dengan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), telah mengusulkan 10 nama untuk diusulkan menjadi pahlawan nasional.
Salah satu nama di antara daftar tersebut adalah Presiden ke-2 Republik Indonesia, yaitu Jenderal Besar TNI (Purn.) H.M. Soeharto. Namun, permintaan tersebut dinilai kontroversi, pasalnya Presiden Soeharto memiliki catatan kelam semasa kepemimpinannya.
Sebenarnya, pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional sudah berlangsung lama. Wacana ini sudah muncul ketika Prolegnas Partai Golkar di Bali pada tahun 2016 silam. Pertentangan selalu mengiringi rencana pengusulannya. Namun, agenda ini kembali muncul kepermukaan ketika TAP MPR XI/1998 dicabut pada akhir September 2024 lalu.
Sebelumnya, keberadaan TAP MPR XI/1998 menjadi penghalang besar dari rencana pengusulan nama Soeharto menjadi pahlawan nasional. Hal ini didasari oleh isi dari ketetapan MPR tersebut. Didalamnya mengamanatkan pemberantasan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) secara tegas dan menyeluruh, termasuk Presiden Soeharto beserta orang-orangnya. Dengan dicabutnya TAP MPR tersebut, nama Soeharto secara tidak langsung dipulihkan dari cap sebagai pemimpin korup.
Fakta dan kontroversi
Fakta sejarah kelam Soeharto yang terlibat dalam “pembersihan” orang berhaluan komunis. Ia disorot atas peristiwa kelam berupa kekerasan dan pembunuhan masal kepada mereka yang dicurigai atau terafiliasi dengan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Soeharto juga menjadi pemicu terjadinya peristiwa krisis moneter tahun 1998. Katalisatornya adalah adanya kebijakan Pakto 88 yang di setujui Soeharto. Alasan dibalik adanya kebijakan ini adalah untuk memulihkan perekonomian yang sempat melambat akibat penurunan migas.
Pemerintah mengambil langkah dengan menurunkan batas modal untuk mendirikan bank. Ketika itu pemilik usaha yang ingin membuka bank diharuskan memiliki modal awal sebesar Rp 10 miliar. Namun, disaat para pemodal asing banyak menarik modal dari pasar Asean, banyak pengusaha properti gagal bayar dan terjadi kredit macet. Pada akhinya, beberapa bank harus ditutup dan sisanya menerima dana likuiditas dari negara.
Meski begitu, Soeharto juga memiliki peranan besar dalam membantu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di militer, Soeharto tergabung dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Di mana dalam peristiwa tersebut, pihak militer Indonesia dapat mengambil alih Kota Yoyakarta dari pijakan kolonial Belanda. Setelahnya, karir militer Soeharto naik pangkat menjadi Mandala dalam Operasi Pembebasan Irian Barat.
Perlu diakui, Soeharto memang memiliki peranan besar dan berkontribusi tinggi pada perjuangan juga pertahanan kemerdekaan bangsa. Namun, untuk menjadi pahlawan nasional diperlukan juga beberapa syarat yang harus dipenuhi. Persyaratan ini tercantum dalam peraturan UU No. 20 Tahun 2009. Di dalamnya memuat beberapa persyaratan umum, seperti:
- WNI atau seorang yang memperjuangkan wilayah NKRI.
- Memiliki integritas moral dan keteladanan.
- Berjasa terhadap bangsa dan negara.
- Berkelakuan baik.
- Setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara.
- Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancamkan pidana penjara paling singkat 5 tahun.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Bayu Dwi Anggono menilai Soeharto tidak dapat memenuhi persyaratan mengenai integrasi moral dan keteladanan serta juga ketentuan untuk berkelakuan baik.
Perlu adanya gelar khusus
Seandainya Soeharto mendapatkan gelar pahlawan nasional, maka dapat menimbulkan kontradiksi hukum. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan, bagaimana bisa orang yang memiliki catatan kejatan HAM dan represi terhadap kebebasan pers diberi gelar pahlawan nasional.
Kasus seperti ini tidak hanya dialami oleh Soeharto, tokoh seperti Syafrudin Prawiranegara misalnya. Ia telah dicap sebagai tokoh ektrim karena melakukan pemberontakan melalui Pergerakan Pemerintah Revolusioner Republik Rakyat Indonesia (PRRI) tahun 1958. Namun, di lain sisi ia juga seorang tokoh dengan peran besar dalam memimpin pemerintahan darurat selama Agresi Militer Belanda.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Agus Suwignyo menyarankan perlu adanya gelar khusus. Hal ini dapat mempermudahkan dalam memberikan gelar dengan catatan dan konteks tertentu.
Penulis: Hikam Abdillah