Bukan rahasia umum lagi jika Indonesia kaya akan sumber daya alam (SDA). Senior Associate International Institute for Sustainable Development and Principal Midsummer Analytics, Rob Smiths mengatakan bahwa Indonesia selalu masuk 10 besar negara dengan potensi kayu, ikan, batu bara, gas alam, hingga nikel terbanyak dunia. Menjadikannya sebagai aset berharga untuk menunjang kesejahteraan masyarakat.
Namun nyatanya, limpahan SDA tidak selalu baik bagi suatu negara. Bukan membawa berkah melainkan memunculkan bibit petaka. Karena hal itu menjadi lahan subur bagi koruptor untuk beraksi.
Sekitar satu bulan lalu, terjadi skandal korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. Menyebabkan Indonesia rugi Rp271 T, berdasarkan hitungan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Hal ini sebagaimana yang diucapkan oleh Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif.
Adanya skandal ini menambah catatan buruk manajemen ekstraktif Indonesia. Mengutip dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tercatat bahwa sejak 2004-2015, negara sudah rugi sebesar Rp5,714 T. Kerugian ini hanya berasal dari penyelundupan timah tanpa melalui royalti dan Pajak Penghasilan (PPh). Dalam kurun waktu 11 tahun, Indonesia kehilangan 32,473 ton timah per tahunnya.
Situasi berbeda dengan era orde baru. Di mana pemerintah sempat dianggap mampu menghindar dari kutukan SDA. Hal ini terlihat dari menurunnya angka kemiskinan secara signifikan.
Keberhasilan ini dicapai setelah pemerintah menginvestasikan hasil penerimaan SDA untuk membangun infrastruktur ekonomi, pendidikan, industri, dan pertanian. Namun setelah adanya kebijakan otonomi daerah, kutukan SDA kembali muncul di Indonesia.
Keadaan seperti ini terjadi di beberapa daerah yang memiliki penghasilan besar dari SDA, tetapi pembangunan buruk dan produk domestik regionalnya rendah.
Melihat fenomena yang terjadi, dapat dikatakan bahwa SDA yang melimpah selain membawa berkah juga membawa kutukan kemiskinan di baliknya. Dibutuhkan pengelolaan SDA yang kuat, melibatkan perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, dan pengawasan. Juga mencakup inventarisasi sumber daya, analisis potensi, risk management, hingga pengambilan keputusan berbasis ilmiah. Dengan begitu, memiliki kelimpahan SDA tidak lagi membawa petaka bagi masyarakat.
Penulis: Hikam Abdillah
Editor: Revina A