SEORANG PRIA keluar dari balik lift, di Hotel Golden City Semarang. Perawakannya tegak dengan tinggi sekira 165 cm. Kain batik coklat keemasan yang dikenakan membuatnya tampak begitu gagah. Sorot matanya tajam. Tulisan “I’m not a terrorist” di masker hitam yang menutupi mulutnya seolah terlihat aneh. Tapi, itu ternyata disengaja.
Hari itu, Rabu 14 Oktober 2020, adalah pertemuan pertama kami dengan Machmudi Hariono alias Yusuf (44), tepat seusai acara seminar dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pengalaman “nyantri” satu tahun di Pesantren Al-Islam milik Amrozi, berperang sebagai jihadis di Mindanao Filipina Selatan, serta dipenjara atas kasus kepemilikan 26 bom rakitan di Semarang, membuatnya kini terus berbagi cerita dalam berbagai forum.
Ya, Machmudi adalah Eks Narapidana Teroris (Napiter). Namun, Machmudi yang sekarang, bukan Machmudi 20-an tahun yang lalu. Pahit getir kehidupan yang telah ia reguk membuatnya sadar, dan tak ingin ada orang lain meminum air yang sama seperti yang ditelannya.
*****
MACHMUDI HARIONO atau lebih sering disapa Yusuf, adalah pria asli Jombang, Jawa Timur. Ketertarikannya dengan khilafah muncul saat ia duduk di bangku kelas 3 SMA. Yusuf muda, saat itu merasa iba dengan sejumlah konflik yang menimpa kaum Muslim di Barat. Bahkan, perasaan itu masih dia bawa selesai dari bangku sekolah.
Yusuf kemudian melanjutkan kuliah sembari “nyantri” di Pondok Pesantren Walisongo Ngabar, Ponorogo Jawa Timur. Di sana, pemikiran tentang negara Islam semakin ia dalami.
Meski begitu, Yusuf hanya bertahan dua semester di jurusan Muamalah Jinayah Fakultas Syariah. Ia mengaku jenuh dengan kuliah yang menurutnya begitu-begitu saja.
Lepas dari rutinitas kampus tak membuatnya berhenti melakukan pencarian. Ia aktif mengikuti sejumlah pengajian, termasuk pengajian Emha Ainun Najib. Materi pengajian yang membahas soal politik membawanya mengenal Amrozi dan mendatangi pondoknya di Lamongan, Jawa Timur.
Awalnya, Yusuf merasa heran saat pertama kali melihat pondok milik Amrozi. Bagaimana mungkin ada pondok di tengah hutan? Yang membuatnya tambah keheranan juga, pondok itu tak memiliki masjid seperti yang ada pada umumnya tempat pengejaran agama Islam di Jawa.
“Saat saya mulai menimba ilmu, kebanyakan guru yang memberi materi adalah lulusan Afganistan,” kata kepada Amanat.id.
Pengajaran yang diterima Yusuf lebih banyak soal jihad. Konflik agama di Ambon dan Poso yang memanas waktu itu dijadikan sarana untuk memupuk empati dan membantu sesama saudara muslim yang berada di sana.
“Lalu apakah saya, menentang? Ndak, karena saya terbawa arus. Di situ kami dipompa, kita harus menjadi Umar bin Khattab, tegas, kuat, Amerika sikat,” katanya dengan suara dalam.
Setelah kurang lebih satu tahun berada di pondok Amrozi, Yusuf diperintahkan untuk berangkat ke Poso pada tahun 2000. Tetapi ternyata di tengah perjalanan, ia malah diberangkatkan ke Filipina Selatan.
Di sana, Yusuf dilatih memegang pelatuk senapan serbu AK-47, M-16, roket, serta merakit bom. Ia berperang melawan pemerintah Filipina. Konfliknya, para penganut Kristen tidak senang suku Melayu yang didominasi Muslim menguasai daerah Mindanao.
Setelah dua setengah tahun di Filipina, tepatnya pada tahun 2002, Yusuf kembali ke Indonesia untuk ikut “berjihad” di Poso. Sialnya, niat itu urung terlakasana.
Pada 20 Desember 2001 pemerintah membuat deklarasi Malino yang berisi perjanjian damai antara umat Kristen dan Muslim di Malino, Poso.
Tepat 11 bulan setelah deklarasi itu dibuat, sebuah bom dengan berat sekitar 1,1 ton meledak di Bali. Kabar itu membuatnya tersentak. Pasalnya, semua tersangka yang terlibat merupakan teman-teman Yusuf saat di pondok Amrozi.
Dari situ Yusuf berpikir, mengapa di negara damai ini konflik yang terjadi di luar dibawa-bawa ke Indonesia. Bahkan ia menyayangkan banyak orang yang tak bersalah menjadi korban.
Peristiwa Bom Bali I menewasakan sebanyak 202 orang dan ratusan korban luka-luka. 38 orang korban meninggal asal Indonesia, sementara yang terbanyak 88 orang dari Australia dan lainnya dari sejumlah negara termasuk 28 orang korban dari Inggris.
Kekecewaan Yusuf pada waktu itu beralasan dan dirasakan banyak jihadis di Indonesia. Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama (Balitbang) Semarang, Joko Tri Haryanto menyebut, peristiwa Bom Bali I adalah titik balik perpecahan terorisme di Indonesia. Banyak kemudian dari jaringan terorisme mengecam aksi tersebut, lantaran banyak korban jiwa dari orang muslim sendiri.
“Bukankah musuh kita itu orang kafir? Kenapa banyak muslim juga yang terbunuh? Seperti itu kurang lebih perdepatan yang terjadi dalam jaringan,” kata Joko menirukan kepada Amanat.id, saat ditemui di kediamannya, Minggu, 18 Oktober 2020.
Setelah di Indonesia, Yusuf kembali ke Jombang. Di desa, keluarganya kaget karena dia meninggal setelah dua tahun tidak ada kabar. Dia pun merasa galau karena rentetan pertanyaan tersebut dan memutuskan menghubungi Abu Tholut.
“Pas ketemu langsung diberi uang Rp20 juta. Kaget saya, kok baru ketemu langsung dikasih uang. Wah, saya langsung survei usaha dan kontrakan. Pernah di Lamper dan Pedurungan, hingga kontrak di Sri Rejeki,” jelasnya.
Beberapa bulan di Semarang, kehidupan Yusuf berjalan seperti biasa. Ia menjual kaos, sandal, sepatu, dan dompet berbahan dasar kulit dan menyetorkannya ke berbagai tempat.
Sampai pada bulan keempat, tepatnya pada April 2003, sebuah mobil box berisi 750 kg bahan peledak, 88 TNT, dan 20 ribu peluru. Pengirim tersebut tak lain adalah Abu Tholut yang memakai nama samaran Musthofa.
“Saya segan menanyakan kepada Abu Tholut. Menurut saya itu untuk berjaga-jaga jika kalau ada konflik lagi,” jelasnya.
Sampai akhirnya, Abu Tholut disergap di Jakarta pada Juli 2003, lalu di bulan yang sama juga Yusuf dicokok di Semarang hingga harus menjalani proses.
“Pengadilan negeri memutuskan 10 tahun penjara,” jelasnya.
*****
AWAL TAHUN 2009, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang digegerkan dengan batu ajaib milik Ponari. Batu itu dipercaya dapat menyembuhkan aneka penyakit. Sontak saja, desa itu menjadi tersohor lantaran diserbu orang dari penjuru Indonesia.
Namun, Januari 2009 itu, kecamatan Megaluh tak hanya heboh dengan “keajaiban” Ponari. Sejarak 8 KM dari desa Balongsari tepatnya di Desa Balonggemek, sebuah berita yang tak kalah besar sembunyi-sembunyi dibicarakan.
Waktu itu, adalah saat dimana Machmudi Hariono alias Yusuf pulang ke tanah kelahiran. Remisi yang dia dapatkan membuatnya bebas sekira 4 tahun lebih cepat dari vonis yang dijatuhkan.
Dua hari pertama kembali ke rumah Yusuf linglung. Tak satupun dari tetangga, kerabat ataupun perangkat di desanya yang menjenguk kepulangannya.
“Mungkin mereka masih takut,” kenangnya, sembari menyeka keringat di kening.
Sampai pada hari ketiga tepatnya pukul 09.00 WIB, sebuah motor berhenti di halaman rumahnya.
Ternyata tamu pertama Yusuf adalah salah satu pimpinan jaringan terorisme dari Lamongan. Tak sekedar bertamu. Yusuf diberi waktu dua tahun untuk bergabung kembali dengan kelompok terorisme.
“Saya dikasih kebebasan cuma dua tahun, memang saya siapa?” katanya dengan nada geram.
Manusia bagaimanapun juga adalah makhluk sosial. Dia tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Tapi bagaiamana jika ada satu individu yang seolah tak diterima kembali di lingkungan sosial tempat ia lahir?
Kurang lebih, itulah yang dirasakan oleh Yusuf di tanah kelahirannya. Yusuf memutuskan untuk membuka lembaran baru dengan merantau kembali ke Semarang. Hal tersebut ia pilih juga untuk menghindari jaringan terorisme dari Lamongan.
Di Semarang hidupnya mulai tertata. Di sana ia menikah dan mendapatkan pekerjaan di sebuah rumah makan bebek goreng. Tapi tak lama kemudian Yusuf dipecat oleh bosnya.
“Salah satu faktornya yang dilihat karena saya mantan napi teroris,” kata Yusuf.
Cobaan hidup Yusuf saat itu lengkap. Lembaran lama yang coba ia tutup rapat-rapat selalu terbuka kembali. Ia pontang-panting.
Namun tuhan telah berfirman dalam Surat Al-Insyirah Ayat 6 yaitu, inna ma’al usri yusra (Sesungguhnya besera kesulitan itu ada kemudahan).
Firman itu juga berlaku untuk Yusuf. Di tengah kegusarannya menjalani kehidupan, ia dipertemukan dengan temannya yaitu Noor Huda Ismail, pendiri Yasasan Prasasti Perdamaian (YPP) sebuah yayasan yang aktif memberikan pembinaan kepada mantan napi teroris. Huda menyarankan untuk membuka sebuah usaha, dan siap mencarikan pinjaman modal.
Tawaran itu disambut riang oleh Yusuf. Ia kemudian menghubungi tiga temannya. Keputusan mereka bulat membuka usaha kuliner. Tepat pada 2011 Dapoer Bistik di Semarang berdiri, kemudian di Solo.
“Banyak teman-teman sesama eks napiter yang sulit mencari pekerjaan. Saya ingin membantu sedikit agar mereka juga bisa mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang baik,” jelasnya.
*****
Pada 2013, perang membara di Irak dan Suriah. Sebuah gerakan yang ingin mendirikan kekhalifahan dunia yang dipimpin oleh pemerintahan keagamaan (religius) di bawah pemimpin agung yang diyakini sebagai pengganti Nabi Muhammad, terbentuk. Kelompok itu menamai diri mereka Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).
Visi gerakan, yang jauh melewati batas-batas negara itu sampai di Indonesia. Data dari Institute for Policy Analysis of Conflict pada 2015 menyebut, sekira 2000 orang di Indonesia telah berbai’at kepada ISIS.
Tak heran kemudian, rentetan bom terus meledak di Indonesia. Di antaranya, Bom Thamrin (2016), Aksi bom bunuh diri di Markas Polresta Surakarta (2016), bom bunuh diri di Kampung Melayu (2017), lalu bom di Surabaya (2018) yang menyentak publik Indonesia bahkan dunia, lantaran melibatkan anak-anak sebagai “tumbal”.
Menurut Peneliti Balitbang Semarang Joko Tri Haryanto, kemunculan ISIS merubah konsep gerakan radikal di Indonesia. Joko mengatakan, gerakan radikal di Indonesia memiliki akar sejarah yang lama bahkan bisa ditemukan sebelum kemerdekaan. Namun, wacananya dari dulu hingga sebelum ISIS muncul yakni sama, yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara Islam seutuhnya.
“ISIS muncul dengan membawa wacana kekhalifahan dunia. Itu sangat bertolak belakang dengan gerakan radikalisme di Indonesia. Maka dari itu, banyak jaringan terorisme di Indonesia yang mendukung namun tak sedikit pula yang menentangnya,” terangnya.
Yusuf misalnya, meskipun bertahun-tahun terlibat dalam jaringan terorisme, namun ia menganggap kemunculan ISIS hanya bualan belaka.
“Mereka berjuang untuk siapa? Membela Islam mana? Kalau kita dulu jelas, dari konsep dan pergerakan. Tidak membabi buta,” ujar mantan anggota Jam’iyah Islamiyah (JI) itu, seperti dikutip dari cnnindonesia.com, (24/11/2015).
Niat awal Yusuf, supaya masyarakat tak terpengaruh paham radikal yang menjurus pada aksi teror saat seolah diuji. Gelombang terorisme semakin naik dan usaha bistiknya di Semarang yang digunakan untuk menampung eks Napiter, berhenti beroperasi.
Saat itu, ia berpikir harus ada wadah yang lebih luas untuk dapat menjawab problem radikalisme dan terorisme secara tuntas.
“Eks Napiter harus dibina supaya tidak kembali ke jaringan lamanya,” ungkapnya.
Berbekal luasnya jaringan kawan-kawan lama eks Napiter dengan visi yang sama, ia berpikiran untuk membentuk sebuah yayasan sebagai rumah tempat kembali para pelaku terorisme yang sudah menjalani masa hukuman. Tepatnya, pada 8 Maret 2020, Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani) didirikan.
“Sebenarnya ide untuk membuat wadah bagi para napiter tersebut sudah lama, namun baru dapat terealisasikan di tahun 2020,” katanya.
Mereka biasanya menjemput para napiter yang keluar dari penjara dan mengajaknya untuk ikut bergabung ke yayasan Persadani. Hingga per Kamis (05/11/2020), terdapat 26 anggota aktif Persadani dengan status eks Napiter Jawa Tengah.
“Orang yang melupakan sejarah, dikutuk untuk mengulanginya.”
Agaknya, kata-kata itulah yang kini coba diterapkan oleh Yusuf. Ia tak lagi mencoba untuk melupakan lembaran lama di hidupnya. Namun, ia menjadikan lembaran itu sebagai sarana untuk membuka lembaran baru yang lebih baik untuk dirinya, keluarga, dan orang-orang yang pernah mengalami nasib serupa.
“Saya kecewa sama golongan tapi saya tidak pernah kecewa sama Allah. Saya tidak sendiri. Saya ikhlas karena Allah. Saya beramal untuk Islam,” pungkas Yusuf mengakhiri pertemuan yang tanpa terasa sudah berlangsung 4 jam lebih.
Reporter: Afridatun Najah
(Mahasiswa Prodi PBI UIN Walisongo Semarang)